Liputan6.com, Tanjungpinang Pantang menyerah, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kisah hidup Fahmi, pria tunanetra yang menjadi guru di Sekolah Luar Biasa Negeri I Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
Laki-laki yang lahir pada 15 November 1975 ini sebenarnya normal seperti bayi-bayi lain. Namun malang, pada usia 1 tahun mata kirinya sakit dan tidak bisa disembuhkan. Malang tak dapat ditolak, pada usia 11 tahun mata kanannya terkena lemparan ketapel yang menyebabkan matanya tak bisa melihat.Â
Baca Juga
Menghadapi musibah itu, Fahmi kecil sempat depresi. Hatinya hancur. Ia berhari-hari mengurung diri di kamar meratapi kemalangannya. Namun keajaiban terjadi. Suatu sore seorang tunanetra mendatangi dirinya. Pertemuan itu membangkitkan semangatnya untuk hidup kembali menyala.
Advertisement
Kemudian ia belajar di Sekolah Luar Biasa di Paya Kumbuh selama empat tahun. Selama di SLB itulah keinginannya untuk menjadi guru muncul. Ia ingin mengajari anak-anak yang senasib dirinya.
"Usai dari SLB saya masuk di sekolah umum, namun di situ saya sebatang kara. Selebihnya siswa yang bisa melihat semua," ujarnya.
Karena kondisinya itu, ia mendapat penolakan dari guru-guru di sekolah tersebut. Mereka mengira kehadirannya di sekolah itu dapat merusak citra sekolah.
"Akhirnya saya diperbolehkan ikut pelajaran dengan satu syarat. Jika tidak bisa mengikuti pelajaran seperti anak lain, saya akan dikeluarkan," ujarnya. Fahmi kecil tak menyerah. Agar bisa mengikuti pelajaran ia memakai alat perekam untuk merekam setiap mata pelajaran.
Tak semudah membalik telapak tangan untuk bersaing dengan siswa yang normal. Namun berkat kegigihannya ia menjadi juara kelas.
Dengan prestasi yang ia raih, ia mendapat pujian dari guru-guru dan menjadi penyelamat bagi anak tunanetra untuk masuk di sekolah itu.
"Sejak itu para guru berjanji akan menerima anak tunanetra masuk di sekolah," katanya.
Prestasinya menakjubkan. Ia selalu masuk ranking 10 besar di kelasnya.
Setelah lulus, Fahmi masuk di salah satu Universitas di Bandung mengambil jurusan PLB. Di sini ia juga harus bersaing dengan dengan mahasiswa normal lainnya.
Berkat kegigihannya, ia lulus kuliah pada 2005. Setelah lulus kuliah, nasib baik belum berpihak kepadanya. Selama menganggur, ia mengamen di kereta api Jakarta - Bandung dan di kompleks perumahan.
Pekerjaan itu ia lakukan selama dua tahun. Sampai suatu hari saudaranya memberikan informasi lowongan penerimaan pegawai negeri (CPNS) di Kepulauan Riau.
Untuk bisa diterima, ia harus bersaing dengan 700 pendaftar. Ia menjadi salah satu pendaftar diantara 24 orang yang diterima.
Kini Fahmi telah menikah dan memiliki dua anak.
Meski tunanetra, warga RT 05/ RW 03 No 06 kelurahan Batu IX Kecamatan Tanjungpinang, Provinsi kepulauan Riau piawai mengoperasikan komputer dan menggunakan handphone. Dia juga memakai aplikasi pesan untuk chat dengan kerabat dan koleganya.
Setiap hari ia berangkat ke sekolah memakai jasa ojek. Ia kini mengajar di sekolah Luar Biasa Negeri Negeri I Tanjungpinang, Jalan Kijang Lama Kilo Meter Tujuh.
Saat memasuki gerbang sekolah muka lelaki ini terlihat cerah dan bersemangat. Para siswa menyambut mereka dengan teriakan dan sambutan hangat dan bersalaman. Pak Fahmi menjadi salah satu guru idola mereka.Â
Fahmi mengatakan, orang tua yang memiliki anak tunanetra jangan berkecil hati karena mereka memiliki berjuta kelebihan layaknya orang normal.
"Kita buktikan bahwa kita bisa," ungkap Fahmi.
Ia mengaku akan mendalami ilmu lagi dengan mengambil S2. Namun karena keterbatasan ekonomi, memilih menunda dulu impiannya itu.
Penulis:
Afriadi
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6