Citizen6, Jakarta - Banyak kelompok civil society di Papua maupun di luar Papua yang menilai bahwa saat ini masih berlanjut kompleksnya masalah Papua antara lain, kemiskinan, ketidakadilan dan pembungkaman ruang berekspresi/demokrasi di tanah Papua), sehingga tidak mengherankan jika kemudian pada 7 Oktober 2013 di Gapura Uncen Atas Perumnas III Waena dan Kantor DPRD Papua, sekitar 100 orang dari kelompok yang mengatasnamakan Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Uncen berunjuk rasa dan melakukan pemalangan kampus Uncen Perumnas III Waena mendesak Pemerintah Pusat dan provinsi membuka ruang demokrasi bagi rakyat Papua, mereka juga meminta DPRP membuka kebisuan rakyat dalam menyampaikan pendapat di muka umum, dan meminta Pemerintah Pusat tidak memenjarakan para aktivis HAM dan demokrasi di Papua. Mereka juga meminta Pemerintah Pusat membuka kesempatan demokrasi kepada media internasional ke Papua, dan menolak kebijakan Pemerintah Prov. Papua memberlakukan Otsus plus.
Sebelumnya, pada 6 Oktober 2013, tiga orang aktivis pendukung Papua Merdeka memasuki pagar Kantor Konsulat Jenderal Australia di Renon, Denpasar, Provinsi Bali, guna mendesak Pemerintah Australia menekan Pemerintah Indonesia membebaskan semua tahanan politik di Papua dan memperbolehkan wartawan asing masuk ke Papua. Ketiga orang aktivis itu adalah Markus Jerewon (29 tahun), Yuvensius Goo (22 tahun) dan Rofinus Yanggam (30 tahun). Menyikapi aksi lompat pagar tersebut, Komunitas Masyarakat Adat Papua Anti Korupsi (Kampak) Papua meminta aparat penegak hukum RI agar ketiga mahasiswa yang merupakan aktivis Papua tidak disiksa dan dibebaskan. Kampak Papua menilai ketiga mahasiswa Papua tersebut hanya menuntut kebebasan demokrasi di tanah Papua dan meminta perhatian dunia internasional atas ketidakadilan hukum bagi orang asli Papua, di mana wartawan asing tidak diizinkan masuk ke Papua, termasuk pembebasan terhadap 55 tahanan politik Papua Merdeka di seluruh tanah Papua. Kampak Papua menyerukan kepada lembaga-lembaga kemanusiaan, seperti KontraS, LBH, Ikohi, Imparsial dan lainnya agar membantu advokasi kasus kemanusiaan tersebut.
Aksi mahasiswa Papua tersebut juga menjadi komoditas politik Partai Buruh Demokratik Australia yang berusaha “merusak” hubungan harmonis Australia-Indonesia. Di Sydney, Senator Partai Buruh Demokratik atau Democratic Labor Party, John Madigan (7/10/2013) mengecam pernyataan PM Australia bahwa "Warga di Papua Barat lebih baik sebagai bagian dari Indonesia, yang saat ini terus menunjukkan kemakmuran, kuat, dan dinamis,". Madigan juga mendesak Pemerintah Australia untuk memberikan suaka kepada mahasiswa Papua yang melakukan aksi di Konsulat Australia, pada 6 Oktober 2013.
Perang Wacana dan Propaganda
Sengkarut permasalahan di Papua semakin sulit dipecahkan karena beberapa pihak terus saling menyalahkan, membuat wacana dan propaganda yang saling menjatuhkan atau dengan kata lain kekronisan permasalahan di Papua disebabkan karena meluasnya ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap para pemimpin di Papua yang sebenarnya sudah diberikan kewenangan penuh oleh Pemerintah Pusat untuk mengelola Papua sebaik-baiknya melalui pemenuhan dana Otsus dll. Kalaupun terjadi penyelewengan, berarti moral hazard di Papua juga mencemaskan.
Kondisi tersebut dimanfaatkan berbagai kalangan di Papua untuk terus mendinamisasi dan mempolitisasinya. Salah seorang tokoh telah mengeluarkan himbauan terbuka kepada Gubernur Papua dan Papua Barat Lukas, yang intinya perlu segera diadakan sensus jumlah penduduk asli Papua, melibatkan gereja-gereja, LSM, di Papua untuk membuktikan berapa jumlah penduduk asli Papua yang sebenarnya. Menurut tokoh tersebut, pemekaran-pemekaran itu adalah operasi militer, operasi transmigrasi, politik pecah belah orang asli Papua yang dilaksanakan Pemerintah RI untuk pemusnahan etnis Papua. Pernyataan ini sebenarnya sangat disayangkan dikemukakan oleh tokoh berpengaruh tersebut, karena sejatinya dia harus dapat menenangkan suasana bukan dengan memanasinya.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok pendukungnya akhirnya kegirangan dan semakin intensif melancarkan propaganda. Sebuah organisasi “kemerdekaan Papua” bahkan merencanakan acara sosialisasi, konsolidasi dan pemetaan kekuatan pendukung pergerakan Papua Merdeka, dan pergerakan penolakan Papua Merdeka di Kabupaten Fakfak pada akhir Oktober 2013 di Kampung Pasir Distrik Fakfak. Disamping itu, mereka akan mengadakan perayaan HUT ke II, Deklarasi Pemulihan Bangsa Papua Barat pada 19 Oktober 2013, walaupun masih kekurangan dana sehingga harus meminta sumbangan dana dari masyarakat.
Disamping itu, sangat disayangkan pernyataan Perdana Menteri Vanuatu pada saat Sidang Umum PBB pada 28 September 2013 yang terkesan “mengada-ada” karena menyamakan kasus di Suriah dengan yang terjadi di Papua, tujuannya jelas untuk asosiasi dan glorifikasi terhadap permasalahan Papua, padahal masyarakat Papua seharusnya menyadari permasalahan yang dihadapi mereka telah dijadikan “amunisi politik” oleh PM Vanuatu yang konon harus memperbaiki citranya, karena semakin dekatnya Pemilu di Vanuatu.
Penulis sendiri sepakat dengan pernyataan PM Australia, Tony Abbott dan PM Kepulauan Solomon, Gordon Darcy Lilo yang intinya “Papua akan semakin aman, sejahtera dan demokratis bersama dengan Indonesia”. Namun, manuver dan politisasi masalah Papua juga tetap menjadi atensi dan perlu dikelola secara baik oleh instansi yang berwenang untuk meredusirnya, baik melalui pendekatan persuasif yang perlu dilakukan Kemenlu RI terhadap aktivis Papua Merdeka di Jerman, Belanda, Inggris dan Australia, termasuk memberikan sikap yang tegas kepada beberapa negara yang konon katanya mendukung NRFPB.
Tidak ketinggalan, jajaran Kementerian Kominfo perlu mengajak kalangan nasionalis dan para wartawan yang dedikasinya kepada negaranya tidak diragukan lagi untuk bersama-sama menyuarakan atau memberitakan secara intens tentang status Papua sebagai bagian integral NKRI dan keberhasilan pembangunan pemerintah di Papua. Last but not least, aparat keamanan harus semakin sabar, profesional dan terukur dalam menyikapi gejolak yang ada di Papua. Emosionalitas dalam menyikapi masalah Papua akan membuat semuanya berantakan.
*) Penulis adalah pemerhati masalah Papua dan alumnus Udayana, Bali.
Sebelumnya, pada 6 Oktober 2013, tiga orang aktivis pendukung Papua Merdeka memasuki pagar Kantor Konsulat Jenderal Australia di Renon, Denpasar, Provinsi Bali, guna mendesak Pemerintah Australia menekan Pemerintah Indonesia membebaskan semua tahanan politik di Papua dan memperbolehkan wartawan asing masuk ke Papua. Ketiga orang aktivis itu adalah Markus Jerewon (29 tahun), Yuvensius Goo (22 tahun) dan Rofinus Yanggam (30 tahun). Menyikapi aksi lompat pagar tersebut, Komunitas Masyarakat Adat Papua Anti Korupsi (Kampak) Papua meminta aparat penegak hukum RI agar ketiga mahasiswa yang merupakan aktivis Papua tidak disiksa dan dibebaskan. Kampak Papua menilai ketiga mahasiswa Papua tersebut hanya menuntut kebebasan demokrasi di tanah Papua dan meminta perhatian dunia internasional atas ketidakadilan hukum bagi orang asli Papua, di mana wartawan asing tidak diizinkan masuk ke Papua, termasuk pembebasan terhadap 55 tahanan politik Papua Merdeka di seluruh tanah Papua. Kampak Papua menyerukan kepada lembaga-lembaga kemanusiaan, seperti KontraS, LBH, Ikohi, Imparsial dan lainnya agar membantu advokasi kasus kemanusiaan tersebut.
Aksi mahasiswa Papua tersebut juga menjadi komoditas politik Partai Buruh Demokratik Australia yang berusaha “merusak” hubungan harmonis Australia-Indonesia. Di Sydney, Senator Partai Buruh Demokratik atau Democratic Labor Party, John Madigan (7/10/2013) mengecam pernyataan PM Australia bahwa "Warga di Papua Barat lebih baik sebagai bagian dari Indonesia, yang saat ini terus menunjukkan kemakmuran, kuat, dan dinamis,". Madigan juga mendesak Pemerintah Australia untuk memberikan suaka kepada mahasiswa Papua yang melakukan aksi di Konsulat Australia, pada 6 Oktober 2013.
Perang Wacana dan Propaganda
Sengkarut permasalahan di Papua semakin sulit dipecahkan karena beberapa pihak terus saling menyalahkan, membuat wacana dan propaganda yang saling menjatuhkan atau dengan kata lain kekronisan permasalahan di Papua disebabkan karena meluasnya ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap para pemimpin di Papua yang sebenarnya sudah diberikan kewenangan penuh oleh Pemerintah Pusat untuk mengelola Papua sebaik-baiknya melalui pemenuhan dana Otsus dll. Kalaupun terjadi penyelewengan, berarti moral hazard di Papua juga mencemaskan.
Kondisi tersebut dimanfaatkan berbagai kalangan di Papua untuk terus mendinamisasi dan mempolitisasinya. Salah seorang tokoh telah mengeluarkan himbauan terbuka kepada Gubernur Papua dan Papua Barat Lukas, yang intinya perlu segera diadakan sensus jumlah penduduk asli Papua, melibatkan gereja-gereja, LSM, di Papua untuk membuktikan berapa jumlah penduduk asli Papua yang sebenarnya. Menurut tokoh tersebut, pemekaran-pemekaran itu adalah operasi militer, operasi transmigrasi, politik pecah belah orang asli Papua yang dilaksanakan Pemerintah RI untuk pemusnahan etnis Papua. Pernyataan ini sebenarnya sangat disayangkan dikemukakan oleh tokoh berpengaruh tersebut, karena sejatinya dia harus dapat menenangkan suasana bukan dengan memanasinya.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok pendukungnya akhirnya kegirangan dan semakin intensif melancarkan propaganda. Sebuah organisasi “kemerdekaan Papua” bahkan merencanakan acara sosialisasi, konsolidasi dan pemetaan kekuatan pendukung pergerakan Papua Merdeka, dan pergerakan penolakan Papua Merdeka di Kabupaten Fakfak pada akhir Oktober 2013 di Kampung Pasir Distrik Fakfak. Disamping itu, mereka akan mengadakan perayaan HUT ke II, Deklarasi Pemulihan Bangsa Papua Barat pada 19 Oktober 2013, walaupun masih kekurangan dana sehingga harus meminta sumbangan dana dari masyarakat.
Disamping itu, sangat disayangkan pernyataan Perdana Menteri Vanuatu pada saat Sidang Umum PBB pada 28 September 2013 yang terkesan “mengada-ada” karena menyamakan kasus di Suriah dengan yang terjadi di Papua, tujuannya jelas untuk asosiasi dan glorifikasi terhadap permasalahan Papua, padahal masyarakat Papua seharusnya menyadari permasalahan yang dihadapi mereka telah dijadikan “amunisi politik” oleh PM Vanuatu yang konon harus memperbaiki citranya, karena semakin dekatnya Pemilu di Vanuatu.
Penulis sendiri sepakat dengan pernyataan PM Australia, Tony Abbott dan PM Kepulauan Solomon, Gordon Darcy Lilo yang intinya “Papua akan semakin aman, sejahtera dan demokratis bersama dengan Indonesia”. Namun, manuver dan politisasi masalah Papua juga tetap menjadi atensi dan perlu dikelola secara baik oleh instansi yang berwenang untuk meredusirnya, baik melalui pendekatan persuasif yang perlu dilakukan Kemenlu RI terhadap aktivis Papua Merdeka di Jerman, Belanda, Inggris dan Australia, termasuk memberikan sikap yang tegas kepada beberapa negara yang konon katanya mendukung NRFPB.
Tidak ketinggalan, jajaran Kementerian Kominfo perlu mengajak kalangan nasionalis dan para wartawan yang dedikasinya kepada negaranya tidak diragukan lagi untuk bersama-sama menyuarakan atau memberitakan secara intens tentang status Papua sebagai bagian integral NKRI dan keberhasilan pembangunan pemerintah di Papua. Last but not least, aparat keamanan harus semakin sabar, profesional dan terukur dalam menyikapi gejolak yang ada di Papua. Emosionalitas dalam menyikapi masalah Papua akan membuat semuanya berantakan.
*) Penulis adalah pemerhati masalah Papua dan alumnus Udayana, Bali.
Mulai 16 Oktober-1 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "6 Alasan Aku Cinta Indonesia". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.