Tak Hanya Kekerasan Fisik dan Seksual, KDRT pada Penyandang Disabilitas Meliputi 8 Hal Ini

Data Office for National Statistics mengungkap bahwa perempuan disabilitas hampir tiga kali lebih rentan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ketimbang non disabilitas.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 06 Okt 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2022, 18:00 WIB
Ilustrasi disabilitas
Ilustrasi disabilitas. Freepik.

Liputan6.com, Jakarta Data Office for National Statistics mengungkap bahwa perempuan disabilitas hampir tiga kali lebih rentan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ketimbang non disabilitas.

Di masa pandemi COVID-19, potensi ini naik beberapa kali lipat. Tak hanya kekerasan fisik dan seksual, penyandang disabilitas juga rentan mengalami 8 bentuk KDRT berikut:

- Pelecehan verbal dan psikologis

- Ancaman dan intimidasi

- Penelantaran

- Menahan pemberian obat

- Mengisolasi korban

- Merampas akomodasi fisik yang diperlukan korban

- Merusak alat bantu korban

- Mengeksploitasi korban secara finansial dan menyalahgunakan uang korban.

“Kelompok disabilitas termasuk yang rentan mengalami KDRT. Banyak hambatan yang dijumpai oleh korban penyandang disabilitas ketika ingin atau akan melapor tindakan KDRT,” mengutip unggahan Instagram komunitas disabilitas Koneksi Indonesia Inklusif (Konekin), Kamis (6/10/2022).

Bahkan, penyandang disabilitas lebih rentan mengalami diskriminasi, termasuk dalam kehidupan rumah tangga ketimbang non disabilitas.

Menurut National Coalition Against Domestic Violence, 70 persen responden penyandang disabilitas pernah mengalami beberapa bentuk pelecehan. Baik oleh pasangan intim, anggota keluarga, pengasuh, kenalan, atau orang asing. Hasil ini didapat dari survei yang dilakukan oleh Spectrum Institute Disability and Abuse Project.

Prevalensi KDRT pada penyandang disabilitas yang tinggi ini belum ditambah dengan kasus-kasus yang tidak dilaporkan. Pasalnya, kekerasan dalam rumah tangga terhadap penyandang disabilitas seringkali diabaikan.

Menurut data Domestic Violence and Disability, 70 hingga 80 persen kasus KDRT tidak dilaporkan.


Hambatan Pelaporan

Menurut Konekin, meski korban yang menyandang disabilitas melaporkan KDRT yang dialaminya, tapi polisi kurang menanggapinya.

"Walaupun dilaporkan, polisi cenderung kurang menanggapi KDRT yang dilaporkan oleh korban penyandang disabilitas dibandingkan kasus KDRT yang dilaporkan oleh korban non-disabilitas," kata Konekin.

Hambatan-hambatan yang menghalangi penyandang disabilitas untuk melaporkan tindakan KDRT di antaranya:

- Korban sangat tergantung kepada pelaku KDRT yang juga merupakan pendamping sehari-hari

- Korban tidak berani melapor karena berisiko kehilangan bantuan pelaku jika melaporkan KDRT tersebut

- Minimnya akses komunikasi, interpretasi, transportasi, dan pelayanan pelaporan.

Untuk itu, masyarakat perlu tahu cara yang tepat dalam membantu penyandang disabilitas yang menjadi korban KDRT.

"Salah satu cara yang paling efektif untuk membantu korban KDRT dengan disabilitas adalah dengan menyediakan sumber daya, layanan dan fasilitas yang lebih inklusif.”

Penyandang disabilitas penyintas KDRT juga perlu diajak berdiskusi dan mencari solusi bersama sebagai garis depan untuk menghentikan tindak KDRT terhadap disabilitas.


Tanggapan KemenPPPA

Terkait KDRT, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyampaikan, perempuan dan anak memang rentan menjadi korban kekerasan di ranah domestik.

KDRT semakin mungkin terjadi di Indonesia karena dalam komunitas masyarakat Indonesia, sistem patriarki masih berpengaruh besar.

“Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah tindak kekerasan yang serius. Selama ini kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga lingkup terkecil yaitu keluarga,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati mengutip keterangan pers, Kamis (6/10/2022).

“Dalam kelompok masyarakat, perempuan dan anak adalah kelompok rentan sehingga kita semua wajib melindungi dan menghindarkan mereka menjadi korban kekerasan,” tambahnya.

Sebetulnya kasus KDRT banyak terjadi di lingkungan masyarakat, lanjut Ratna, hanya saja para korban KDRT biasanya tidak mau melaporkan kasus yang dialaminya dengan banyak alasan. Misalnya takut dengan pelaku KDRT yang notabene adalah keluarga korban. Di sisi lain, korban menganggap KDRT merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar.


Berdampak Serius

Ratna menuturkan bahwa KDRT menimbulkan dampak sangat besar, baik bagi si korban maupun keluarganya. Kondisi ini bisa diperparah dengan lingkungan sekitar yang kurang tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya. Sebagian masyarakat cenderung menganggap KDRT sebagai masalah domestik sehingga apabila ada kejadian KDRT, mereka enggan ikut campur.

Padahal, KDRT bisa berdampak fatal bagi korban. Selain menimbulkan luka fisik dan psikis berkepanjangan, peristiwa kekerasan akan terekam dalam memori otak anak-anak yang menyaksikannya.

“Jangan heran jika anak-anak yang menyaksikan dan bahkan menjadi korban KDRT akan melakukan hal serupa dengan teman sebaya mereka dan ke anak-anak mereka kelak.”

Anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mengalami KDRT cenderung akan meniru ketika mereka dewasa. Anak perempuan yang melihat ibunya dipukul ayahnya dan ibunya diam saja, tidak melapor atau melawan, maka anaknya cenderung memiliki reaksi yang sama ketika mengalami KDRT saat berumah tangga.

Infografis Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya