Liputan6.com, Jakarta George Stern, seorang mahasiswa di Texas Tech University yang mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran merasa kesulitan saat menyebrang jalan.
Menurut Stern, mungkin lebih mudah baginya untuk tetap tinggal di rumah daripada bepergian sendiri. Itu karena tidak terpenuhinya desain arsitektur sederhana sehari-hari, mulai dari kurangnya trotoar dan penyeberangan pejalan kaki, hingga tidak adanya sinyal penyeberangan otomatis bagi penyandang disabilitas.
Baca Juga
Untuk menemukan cara yang lebih baik dalam merancang sinyal dan penyeberangan dari perspektif tunanetra, para insinyur melakukan hal ini.
Advertisement
Dilansir dari KCBD, para insinyur lalu lintas yang merancang penyeberangan dan sinyal pejalan kaki berjalan melintasi University Avenue and Glenna Goodacre Boulevard, dua persimpangan tersibuk di Lubbock, dengan kedua mata tertutup.
Mereka menghadapi tantangan yang mungkin belum pernah mereka pertimbangkan sebelumnya.
“Itu seperti tebak-tebakan, apakah aman? Keluar saja dan berharap yang terbaik,” kata Manajer Proyek Insinyur John Denholm.
"Anda tidak tahu di mana trotoar itu, Anda tidak tahu di mana lalu lintasnya," tambah Denholm.
"Saya merasa seperti melintas ke satu sisi atau sisi lain tanpa menyadarinya," kata Insinyur Lalu Lintas Gary Shatz.
Kendala Desain Arsitektur
Dan kemudian mereka menyadari ada kendala desain arsitektur.
"Sistem tombol tekan, hanya ada satu atau dua yang memberi tahu Anda kapan Anda bisa menyeberang," kata Denholm.
“Kami berjalan dan mencoba menggunakan trotoar yang mungkin bukan desain terbaik.” kata Shatz.
Semua untuk membantu memfasilitasi desain jalan dan persimpangan agar lebih mudah diakses dan aman bagi semua orang.
“Tanggung jawab saya adalah membantu orang melakukan perjalanan dari pintu mereka ke dunia dengan aman dan efisien,” kata Shatz.
Advertisement