Liputan6.com, Jakarta Kementerian Agama (Kemenag) mengatakan bahwa sudah ada 146 madrasah di Indonesia yang meningkatkan fasilitas dan layanan agar ramah bagi penyandang disabilitas.
"Kami telah melakukan penyesuaian regulasi dan aksi nyata agar dapat memberikan layanan terbaik untuk anak berkebutuhan khusus," ujar Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag M Ali Ramdhani pada peringatan Hari Disabilitas Internasional di Serpong, Tangerang Selatan pada Senin, 4 Desember 2023 mengutip Antara.
Baca Juga
Guna mendukung madrasah yang ramah bagi penyandang disabilitas, Kemenag juga telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Islam Inklusif.
Advertisement
"Telah pula dibentuk pokja yang kini tersebar di 43 daerah dengan 2.274 anggota, terdiri dari guru, kepala sekolah, pengawas madrasah, akademisi, fasilitator, dan guru pembimbing khusus," kata Dhani.
Diharapkan dengan perbaikan fasilitas dan layanan serta kehadiran pokja tersebut membuat ribuan penyandang disabilitas bisa mendapatkan pendidikan dengan baik. Hal ini mengingat bahwa para siswa difabel juga berhak mendapatkan pendidikan.
Saat ini jumlah siswa disabilitas di lembaga pendidikan naungan Kemenag mencapai 43.327 siswa, yang tersebar di 4.046 dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Aliyah.
Bergerak Bersama Penyandang Disabilitas
Dhani juga mengatakan bahwa penyandang disabilitas juga bagian dari bangsa yang bisa berperan sebagai aktor pembangunan.
"Difabel adalah aktor pembangunan, bukan obyek. Maka mari kita bergerak bersama meski butuh perjuangan keras," katanya.
Pendidikan Islam Inklusi Harus Jadi Bagian dari Ekosistem Pendidikan
Penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kemenag Eny Retno Yaqut mengatakan perhatian Kemenag pada penyandang disabilitas bukan hanya jargon.
Eny meminta Kemenag tidak hanya menunggu laporan, tetapi menjemput bola memastikan para penyandang disabilitas mendapat akses pendidikan.
Pendidikan Islam inklusi, kata Eny, juga harus menjadi bagian aktif dari ekosistem pendidikan inklusi. Perlu bersinergi dan berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan, seperti para dokter, psikiater, psikolog, tenaga ahli, dan akademisi perguruan tinggi.
"Dengan menggerakkan pendidikan inklusif, kita buy one get five. Dengan mewujudkan pendidikan inklusi sudah otomatis akan menemukan lembaga yang ramah anak, berperspektif gender, anti kekerasan, dan lingkungan humanis," kata Eny.
Advertisement