'Terlalu Tajir', Pria Ini Akhirnya Membelot dari Korut

Kabur dari Korut menuju Korsel bermula dari sekotak rempah yang membuat pria ini menjadi terlalu kaya.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 13 Jul 2016, 06:45 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2016, 06:45 WIB
Korea Utara
Foto yang diambil oleh pria berkebangsaan Prancis saat berkunjung ke Korea Utara. (sumber: Facebook Eric Lafforgue)

Liputan6.com, Seoul - Dzhon Khen-mu memutuskan untuk memalsukan kematiannya. Setelah itu, ia kabur dari Korea Utara. Dan semua itu bermula dari sebuah kotak cindera mata. 

Bekerja sebagai manajer sebuah hotel di Pyongyang, Khen-mu adalah satu dari sedikit orang Korut yang boleh berinteraksi dengan tamu asing yang berkunjung ke negara paling menutup diri di muka Bumi itu.

Pada suatu hari, ia memberikan sekotak gingseng sebagai suvenir yang kemudian 'ditukar' dengan tip sebesar US$ 300 atau Rp 3,9 juta sebagai tanda terima kasih. Dan, semenjak saat itu, uang tersebut mengubah hidupnya selama-lamanya.

Kisah tersebut ia ceritakan di Korea Selatan, di mana Khen-mu tinggal dari tahun 2003.

Aktivitas komersial di Korut sangat dilarang. Namun, pada tahun 1990-an tatkala kelaparan membunuh ratusan ribu warga, pasar gelap menggila.

Baru pada tahun 2004, Korut membuka kawasan industri pertamanya yang membuat warganya melakukan bisnis.

Dengan uang US$ 300 itu, Khen-mu turut 'berpartisipasi' di pasar gelap. Ia mulai mengimpor baju, sepeda, dan barang-barang dari China.

Foto yang diambil oleh pria berkebangsaan Prancis saat berkunjung ke Korea Utara. (sumber: Facebook Eric Lafforgue)

Tak lama kemudian, ia mendapatkan keuntungan sekitar US$100 ribu atau Rp 1,3 miliar. Jumlah yang luar biasa besar jika dibandingkan rata-rata gaji Korut tahunan yang hanya kurang dari US$ 1.000 atau atau Rp 13 juta per tahun. Demikian dilansir Liputan6.com dari The Guardian, Selasa (12/7/2016).

Saat belanja barang-barang kebutuhan dasar akhirnya diperbolehkan pada awal tahun 2000-an, kebanyakan warga masih bergantung pada bantuan pemerintah -- terutama untuk baju dan makanan.

Baju dalam dan kaus kaki dibagikan pemerintah tiap 3 bulan sekali. "Sementara sepatu yang tersedia lebih jarang. Semua barang yang diserahkan kepada warga dicatat dengan teliti," kata dia.

Bisnis Khen-mu itu membantu pelanggan mendapatkan barang-barang di luar jatah mereka. Aktivitas itu kemudian membuat pria itu kaya raya, tapi juga menempatkan dia dalam bahaya besar.

"Sejumlah besar mata uang asing di tangan swasta macam aku menimbulkan ancaman bagi pemerintah, terutama jika uang ini tidak diserahkan pada negara seperti yang diinginkan," ia menjelaskan.

Dan, saat kolega bisnisnya menghilang, ia menjadi takut.

"Ini persoalan waktu saja, besok atau besoknya lagi, atau seminggu kemudian, mereka bisa datang mencidukku," ujar Khen-mu.

Ia percaya akan sangat berbahaya kalau nekat menyeberang perbatasan bersama keluarganya, jadi Khen-mu memutuskan untuk kabur sendirian. Demi melindungi istri dan anaknya, ia pun memalsukan kematiannya.

Sertifikat 'Kematian'

Dengan uang US$ 50, ia mengatur membuat sertifikat kematian yang menyebut kalau ia tewas dalam kecelakaan mobil.

"Ini satu-satunya pilihan aman bagi keluargaku. Andai mereka tahu kalau aku masih hidup dan kabur, jelas keluargaku akan dihukum berat."

Khen-mu kabur lewat perbatasan China di mana ia pura-pura sedang melakuan perjalanan rutin untuk membeli kebutuhan belanjaannya. Namun, pria itu tak pernah kembali.

Selama di Tiongkok, ia 'bersembunyi' selama 4 bulan sebelum mengajukan suaka di kedutaan Korea Selatan.

Sesampainya di Seoul, Khen-mu bertemu dengan intel dan diberikan semacam kursus singkat. Sebagaimana jadi pembelot, ia mendapatkan pelatihan untuk bisa hidup di Korsel.

"Sangat sulit bagi orang yang biasa hidup di negara sosialis tinggal di negara kapitalis. Di Utara, pemerintah mendikte apa yang harus Anda lakukan, tak perlu mengambil keputusan apapun. Namun, di Selatan, kita dihadapi dengan pilihan sendiri. Dan di awal-awal kehidupan sebagai pembelot, itu jelas susah," kenang Khen-mu.

Khen-mu kini berusia 60 tahun. Ia bekerja sebagai penyiar di National Unity Radio.

Radio itu sekaligus pemberi pesan untuk warga Korut -- menentang segala propaganda rezim.

Bendera China dan Korut di Depan Restoran Korut di Ningbo, China (Reuters)

Ia tak pernah menikah lagi dan tak pernah mengontak keluarganya di Pyongyang.

"Kalau partai tahu aku masih hidup, dan di Korsel, keluargaku dalam masalah besar. Selama aku 'mati', mereka akan hidup. Itu yang aku pikirkan setiap hari."

Khen-mu melanjutkan hidupnya dengan penuh rendah hati. Tak pernah punya media sosial. Ia pun mengubah namanya semenjak membelot dan menolak untuk difoto.

Meski telah kabur selama 13 tahun, ia kerap kali didatangi mimpi buruk ditangkap pasukan rahasia Korut.

"Aku pikir... ketakutan ini akan terus ada selama aku hidup."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya