Liputan6.com, Chennai - India dikenal sebagai pusat "sewa rahim" di dunia, tujuan bagi pasangan yang mengalami infertilitas atau tidak mampu menghasilkan keturunan. Dalam beberapa tahun terakhir, praktik tersebut meningkat di Chennai, bagian selatan negara itu.
Lebih dari 12 rumah sakit siap melaksanakan prosedur "sewa rahim" terhadap 150 perempuan. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga miskin yang rela menggandung "bayi orang lain" demi mendapat bayaran.
Baca Juga
Meski demikian tak sedikit dari para perempuan itu mengaku memiliki ikatan emosional dengan bayi yang mereka kandung. Seperti dilansir BBC, Senin (15/8/2016) berikut kisah tiga perempuan "penyewa rahim" yang menuturkan pahitnya kenyataan ketika harus menyerahkan bayi yang telah mereka kandung selama sembilan bulan.
Advertisement
1. S. Sumathi
Perempuan ini tinggal di kawasan kumuh Vyasarpadi, Chennai. Ia bekerja sebagai buruh pabrik pembuatan tas kulit di mana setiap bulannya ia dibayar 6.000 rupee atau setara dengan Rp 1,1 juta.
Suaminya adalah seorang sopir bajaj dengan penghasilan sekitar 8.000 rupee atau senilai dengan Rp 1,5 juta setiap bulannya. Dan profesi tukang "sewa rahim" dimulainya sejak tujuh tahun lalu.
"Tujuh tahun yang lalu, masa-sama yang sulit bagi keluarga saya. Kami meminjam 100.000 rupee atau sekitar Rp 19,5 juta untuk membiayai sekolah anak-anak dan membayar sejumlah hutang," ujar S. Sumathi.
Ia menjelaskan, ketika itu ia bertemu dengan seorang pria yang bekerja sebagai agen di sebuah klinik. Laki-laki itu mengatakan, Sumathi bisa mendapatkan 200.000 rupee atau setara dengan Rp 39,1 juta dengan menjadi ibu pengganti.
"Ada dua perempuan di lingkunganku yang menjadi ibu pengganti. Maka aku pun setuju. Aku pikir, aku sudah memiliki empat anak dan sekarang diberi kesempatan untuk membantu orang lain. Sempat berpikir, bagaimana kalau putriku sendiri yang tidak bisa melahirkan. Aku percaya setiap orang harus memiliki anak dan aku ingin membantu," tutur perempuan itu.
Sumathi mengaku, ia tak pernah bertemu dengan orangtua dari bayi yang dikandungnya bahkan ia tak pernah tahu siapa mereka. "Aku tidak tahu apakah mereka berkulit putih atau hitam, apakah mereka orang India atau asing. Aku bahkan tidak tahu bayi yang kulahirkan perempuan atau laki-laki!," jelas Sumathi.
Pernah satu kali ia menanyakan pada sang dokter tentang bayinya. Namun ia tak mendapat jawaban. "Anda adalah ibu pengganti, Anda tidak seharusnya bertanya hal-hal seperti ini," tutur perempuan itu menirukan kata-kata dokter.
Perempuan itu mengaku, tiga bulan pasca-melahirkan ia kesulitan untuk tidur. Ingatannya terus melayang-layang ke bayi itu bahkan tak jarang ia harus mengonsumsi obat-obatan untuk menenangkan diri.
Dan setiap 4 November, Sumathi dan keluarganya merayakan ulang tahun sang bayi. "Aku melakukan ritual yang sama seperti yang kulakukan terhadap anak-anakku yang lainnya. Selalu ada pertanyaan, seperti apa ia sekarang. Aku kehilangan seorang anak dan akan kulakukan apa pun agar bisa melihatnya sekali saja," kata wanita berusia 38 tahun itu.
Namun ia tak pernah berhenti berharap bahwa sang anak hidup bahagia. "Kami adalah keluarga miskin dan menjalani masa-masa yang sulit. Ada baiknya saya berharap bahwa anak itu dibesarkan dalam keluarga kaya," imbuhnya.
Anandi Chelappan
2. Anandi Chelappan
Bekerja di sebuah toko, Anandi Chelappan, memiliki penghasilan 150 rupee atau senilai Rp 29 ribu per hari. Sementara sang suami bekerja sebagai tukang cat di mana upah per harinya hanya 500 rupee atau setara dengan Rp 97 ribu per hari.
Pasangan ini memiliki dua anak, laki-laki berusia 11 tahun dan perempuan berusia 10 tahun. Ia berkisah, tujuh tahun lalu keluarganya dihadapkan pada persoalan finansial hebat.
Suaminya kala itu dalam kondisi sakit. Mereka pun terpaksa meminjam 150.000 rupee atau setara dengan Rp 29,3 juta untuk membayar sewa rumah.
"Ketika aku mengusulkan kepada suami bahwa aku bisa mendapat 200.000 rupee dengan menjadi ibu pengganti, dia marah. Dia berpikir aku akan melakukan tindakan tak bermoral. Namun ketika prosedurnya dijelaskan, ia mengerti dan menyetujui," ujar perempuan berusia 34 tahun.
Anandi menceritakan selama proses itu ia tinggal di sebuah asrama. Keluarganya hanya diizinkan berkunjung sekali dalam sebulan.
"Salah seorang anakku berusia empat tahun kala itu. Dia bertanya apakah aku akan punya bayi. Yang kukatakan adalah bahwa aku sedang sakit, itulah mengapa perutku membengkak dan harus dirawat di rumah sakit," jelasnya.
Perempuan itu pernah memohon kepada dokter agar diizinkan melihat bayi itu sekali saja. Namun ia harus menelan kecewa.
"Dokter mengatakan, itu hanya akan membuat aku merasa semakin bersalah," ujar dia.
Pada bulan pertama pasca-melahirkan, Anandi mengatakan ia kerap menangis. Namun sang suami tak henti mengingatkannya bahwa itu bukan bayi mereka dan ia melakukannya demi uang.
"Aku paham bahwa bayi itu milik orang lain dan aku hanya menyewakan rahim, namun kami bersama selama sembilan bulan dan akan menyenangkan bila mengetahui siapa orangtuanya. Aku tidak akan berinteraksi dengan anak itu, hanya ingin melihatnya dari kejauhan," ungkap Anandi.
Namun kini keluarga mereka memutuskan untuk tidak lagi membahas soal bayi itu di rumah.
"Dengan uang yang aku dapatkan, kami berhasil melunasi semua hutang dan membayar sewa dalam jangka panjang. Namun tahun depan sewanya akan segera habis dan aku berpikir kembali menjadi ibu pengganti untuk kedua kalinya," imbuhnya.
Advertisement
Jothi Laksmi
3. Jothi Laksmi
Bekerja sebagai buruh pabrik, Jothi Laksmi menghasilkan 3.500 rupee atau setara dengan Rp 684 ribu per bulan. Sang suami adalah seorang sopir becak dengan penghasilan 5.000 atau setara dengan Rp 978 ribu per bulan.
Pada 2008, pasangan ini bertengkar hebat yang berujung pada hengkangnya sang suami dari rumah. Jothi pun merasa tak mampu menghidupi ketiga anaknya yang saat ini masing-masing berusia 12, 10, dan 7 tahun.
Sebelumnya, saya pernah menyumbangkan sel telur kepada sebuah klinik kesuburan, jadi saya memutuskan untuk melakukannya kembali demi mendapat uang. Namun ternyata dokter meminta saya untuk menjadi ibu pengganti.
"Ibu kandung dan ibu mertuaku marah dengan tindakanku, mereka tidak pernah bicara sepanjang kehamilanku," ujar Jothi.
Sama seperti dua kasus sebelumnya, Jothi juga tidak diberi kesempatan untuk melihat bayi yang dilahirkannya.
"Menurutku itu yang terbaik, karena jika tidak aku akan merasa sangat bersalah," jelas perempuan berusia 30 tahun itu.
Ia tak dapat memungkiri ada ikatan emosional yang kuat dengan sang bayi.
"Selama dua hingga tiga tahun pertama, aku merasa sangat buruk bahkan kehilangan banyak berat badan. Namun sekarang, aku tidak lagi berkeinginan melihatnya. Aku bahkan mencegah suamiku untuk membahas hal ini karena aku tahu dia milik orang lain. Dan aku telah berdamai dengan diriku," imbuhnya.