Liputan6.com, Jakarta - Setiap harinya Bumi yang dihuni oleh manusia semakin 'tua' dan rapuh. Perkembangan infrastruktur dan lingkungan mempersingkat usia planet ke-3 di Tata Surya ini.
Penebangan hutan liar dan pembakaran lahan termasuk ke dalam hal yang dapat menyebabkan dunia 'mati' dan punahnya ekosistem yang berada di lahan tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Pembangunan jalan dan gedung-gedung pencakar langit lainnya pun tidak luput menjadi pemicu punahnya kehidupan di dunia.
Belum lagi, dengan adanya perubahan iklim yang ekstrem akibat efek rumah kaca. Jika hal tersebut terus berlanjut generasi muda di masa depan ditakutkan tidak dapat menikmati 'Bumi' lagi.
Para ahli lingkungan berpendapat bahwa hal-hal tersebut dapat menyebabkan punahnya peradaban manusia dalam beberapa puluhan tahun ke depan.
Jadi apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya hal mengerikan yang mungkin dapat menyebabkan berakhirnya kehidupan di dunia itu
Menanggapi hal tersebut Uni Eropa bersama dengan Prancis, Jerman, Inggris, Denmark, Belanda, dan Swedia, menyelenggarakan Pekan Diplomasi Iklim (Climate Diplomacy Week) dalam rangka memerangi perubahan iklim.
Ditemui oleh tim Liputan6.com pada acara yang diselenggarakan Selasa (13/9/2016), pihak UE mengatakan bahwa Pekan Diplomasi Iklim tersebut adalah sebuah kelanjutan dari keberhasilan KTT Perubahan Iklim di Paris.
Kini program perubahan iklim tersebut akan digelar di Indonesia, untuk mempromosikan bagaimana caranya memerangi perubahan iklim dan menyampaikannya kepada masyarakat luas.
"Eropa telah memiliki kebijakan perubahan iklim yang komperehesif selama bertahun-tahu. Kini kami ingin mengembangkan hukum tersebut hingga maksimal pada 2030," kata Vincent Guerend, Duta Besar Uni Eropa pada sebuah pernyataan tertulis.
"Kita perlu melihat Perjanjian Paris sebagai sebuah langkah baru untuk hidup di lingkungan bebas-karbon. Bersama dengan negara lainnya termasuk Indonesia, Paris ingin kita bersama-sama mendukung upaya ini," kata Duta Besar Prancis, Cronne Bruze.
Diskusi tersebut dilanjutkan dengan tayangan cuplikan film dokumenter. Melalui film yang berjudul 'Tomorrow', UE ingin memperlihatkan kepada seluruh kalangan masyarakat di seluruh penjuru dunia bagaimana cara mencegah 'kepunahan' yang ditakutkan akan melanda manusia di masa depan.
Perperangan Melawan Perubahan Iklim
Tomorrow, disutradarai oleh Melanie Laurent dan Cyril Dion, mendokumentasikan aktivitas beberapa kelompok 'kecil' di berbagai belahan dunia dalam memerangi perubahan iklim.
Sistem Ekologis yang kini dijalani oleh manusia tampaknya tidak menimbulkan masalah apapun. Setidaknya untuk masa ini.
Namun bagaimana dengan 40 tahun mendatang? Apakah generasi muda masa depan dapat menikmati alam? Lalu apakah kita akan memberitahu mereka bahwa tidak ada solusi untuk masalah yang kita hadapi sekarang?
Film Tomorrow memberikan jawaban atas semua pertanyaan itu. Jika kita ingin manusia masih dapat menikmati sumber daya alam yang ada sekarang di masa depan, maka manusia harus mengubah cara mereka memanfaatkan alam.
"Jika kita tidak mengubahnya sekarang, semuanya akan menjadi bencana besar di masa depan," kata Cyril Dion, seorang pendiri NGO pemberdayaan lingkungan.
Tontonan dokumentasi tersebut memperlihatkan bahwa dengan tidak terlalu bergantung dengan infrastruktur canggih, manusia dapat memperlama usia Bumi.
Film tersebut diangkat dari perjalan Melanie dan Cyril bersama tim beranggotakan 4 orang. Mereka bersama-sama melakukan investigasi ke 10 negara untuk memahami apa saja yang dapat menyebabkan musnahnya Bumi.
Hal paling penting dari perjalanan itu adalah bagaimana mereka menemukan 'obat' untuk memulihkan kondisi yang dapat memusnahkan populasi manusia.
Ribuan orang di muka bumi ini menciptakan lingkungan yang lebih lama dan berusaha memulihkan sumber daya alam yang semakin punah.
Seperti salah satunya seorang petani di Detroit. Di tengah-tengah hiruk pikuk kota itu, dia membuat sebuah perkebunan 'ramah'.
Perkebunan yang menyediakan persediaan makanan sehari-hari seperti buah dan sayuran itu, murni menggunakan tenaga manusia.
Pemilik berpendapat bahwa dengan melakukan penanaman secara manual, itu dapat mengurangi polusi yang dapat merusak lapisan ozon atmosfer.
"Aku berpikir, jika kami tidak memulainya dari kota kecil ini, siapa yang akan melakukannya. Setidaknya kami bisa bertahan hidup tanpa merusak alam," kata perempuan pemilik perkebunan kecil itu.
Di tempat lainnya, dua orang suami-istri membuat 'hutan' kecil di halaman belakang rumah mereka. Hal tersebut dilakukan untuk mengembalikan kehijauan di daerah tempat tinggalnya.
"Butuh waktu hingga 7 tahun untuk kami berdua menggarap tempat ini. Ternyata sejauh ini kami bertahan dan berkembang," kata istri petani itu.
Film tersebut ditayangkan pertama kali pada 2015 dan telah menginspirasi banyak kalangan untuk hidup lebih 'hijau' dan bebas-karbon.
Advertisement