Liputan6.com, New Delhi - Seorang remaja putri berusia 13 tahun di India, Bhavani Banu 'ditugaskan' mengidentifikasi berbagai persoalan yang dihadapi kaum perempuan di negerinya. Ia juga diminta menemukan solusinya.
Bhavani dianggap berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebagai imbalannya, ia pun diberi kesempatan untuk menjadi kepala kantor polisi Musheerabad di Hyderabad meski hanya untuk waktu yang sangat singkat.
Dalam waktu singkat tersebut ia memimpin empat sesi pertemuan dengan para anggota kepolisian. Mereka membahas subyek yang menjadi perhatian Bhavani, bagaimana penanganan sejumlah kasus yang dialami perempuan dan remaja putri.
Advertisement
Baca Juga
"Saya ingin memberikan mereka beberapa nasihat. Ketika ingin menghentikan kejahatan terhadap perempuan atau menyelamatkan mereka, polisi harus sensitif," ujar Bhavani.
Berbicara di hadapan 95 anggota kepolisian di mana hanya 6 di antaranya perempuan, Bhavani menegaskan persoalan yang dihadapi kaum perempuan di negerinya.
"Anak-anak perempuan terpaksa berhenti dari sekolah. Mentalitas ini harus diubah dan perubahan harus dilakukan dengan cepat," tegas Bhavani.
Identifikasi yang dipaparkan gadis itu disetujui banyak pihak.
Direktur lembaga non-profit CRY, Vijaylakshmi Arora mengaku bahwa polisi 'tidak peka' ketika menanggapi laporan perempuan yang menjadi korban kekerasan. Cara polisi menangani kasus adalah alasan di balik mengapa banyak perempuan tidak selalu melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya.
"Ini bukan hanya polisi, seluruh sistem rehabilitasi membutuhkan orientasi ulang. Banyak polisi yang meminta orangtua korban untuk tidak mengajukan tuntutan dengan alasan stigma," kata Vijaylakshmi.
Menurut para ahli, diamnya korban dan keluarga menandakan bahwa sebagian perempuan tidak dididik tentang hak-hak mereka. Sehingga ini menjadikan mereka sebagai sasaran empuk bagi kejahatan yang lebih serius.
"Jika perempuan mengalami kekerasan atau pelecehan, mereka seringkali diminta diam. Banyak diantara mereka yang rentan terhadap perbudakan dan perdagangan seks di India karena tidak dididik tentang bahaya itu," ujar Koordinator Nasional untuk lembaga advokasi perempuan World Association of Girl Guides and Girl Scouts, Chhavi Goyal.
Sekolah Bukan Hanya Bagi Anak Laki-laki
Sejumlah kasus kejahatan dan kekerasan seksual terhadap perempuan di India membuat kinerja kepolisian disoroti. Tak hanya dari dalam, namun juga dari luar negeri.
Kerentanan perempuan di India dari perilaku kekerasan disebut karena rendahnya pendidikan. Banyak dari mereka terpaksa putus sekolah dengan alasan harus belajar mempersiapkan diri untuk berumah tangga atau justru karena harus menikah.
"Jika seorang perempuan tidak bisa mendapat haknya atas pendidikan, lantas apa yang menjadi tujuan hidupnya?," kata Bhavani itu.
Sementara itu menurut Ghoyal, masalah yang dihadapi perempuan di India 'berakar'. Lebih lanjut ia menambahkan, negara itu tidak mempertimbangkan perempuan sebagai gender yang dapat berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi negara.
"Di beberapa wilayah di India, perempuan dianggap bagian dari 'kelemahan' masyarakat. Keluarga juga mungkin merasa lebih aman jika anak perempuan mereka menikah bukan menempuh pendidikan mengingat kecil kemungkinan dia dilecehkan," kata Goyal.
Ada pula pemikiran bahwa jika harus menyelesaikan pendidikannya maka seorang perempuan dianggap terlalu tua untuk menikah.
Badan perlindungan anak PBB, UNICEF mencatat setidaknya dalam setiap delapan menit terdapat satu anak hilang di India. Kebanyakan dari mereka dipaksa kerja atau dijual sebagai budak.
Jika disebut menikah dapat meminimalisir kekerasan terhadap perempuan maka data UNICEF menunjukkan hal berbeda. Pada periode 2000 hingga 2012 lebih dari 50 persen pria dan wanita membenarkan kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap istrinya.