Liputan6.com, Manila - Sembilan anggota tim keamanan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte terluka setelah terkena ledakan bom saat konvoi. Satu orang dilaporkan dalam kondisi kritis akibat peristiwa yang terjadi di Marawi, bagian selatan Mindanao.
Laporan lainnya menyebut, korban sebanyak luka tujuh orang. Presiden Duterte sendiri tidak berada dalam iring-iringan itu.
"Truk yang membawa petugas keamanan presiden terkena ledakan bom. Tidak ada baku tembak," demikian pernyataan Menteri Pertahanan, Delfin Lorenzana seperti dikutip dari Reuters, Selasa (29/11/2016).
Advertisement
Sejumlah orang yang tergabung dalam tim media resmi kepresidenan juga berada dalam konvoi tersebut. Namun mereka tidak terluka.
"Kami menjamin, untuk pasukan kami baik yang pria maupun wanita yang mempertaruhkan nyawa mereka dalam bertugas, dan panglima tertinggi negara tidak akan pernah meninggalkan mereka ketika membutuhkan," ujar Juru bicara Duterte, Martin Andanar seperti dikutip dari CNN.
Konvoi yang terdiri atas 50 pasukan itu merupakan tim persiapan rencana kunjungan Duterte ke Marawi pada Rabu 30 November esok. Demikian dijelaskan Kolonel Gene Ponio.
Lebih lanjut, Ponio mengatakan bahwa aksi teror tersebut kemungkinan adalah taktik pengalihan dari Maute, yakni kelompok militan yang berbasis di Mindanao. Maute saat ini tengah menghadapi serangan militer setelah pengepungan ke Butig di Lanao Del Sur pekan lalu.
Pada September lalu, kelompok ini dikaitkan dengan pengeboman di Kota Davao, daerah asal Duterte. Sekitar 14 orang tewas dalam tragedi tersebut.
Menhan Lorenzana telah mengusulkan agar Duterte membatalkan kunjungannya ke Marawi. Meski demikian, anjuran itu tidak diindahkan presiden yang kerap melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial itu.
"Sarannya agar ditunda. Aku katakan tidak, aku akan pergi ke sana. Jika memungkinkan, akan melewati rute yang sama. Mungkin kita bisa terlibat dalam kontak senjata di sana," tegas sang presiden.
Pekan ini, sebuah alat peledak ditemukan di dekat kedutaan besar Amerika Serikat (AS) di Manila. Polisi mengatakan, rangkaian peledak tersebut mirip dengan yang digunakan dalam serangan di Davao.
Terorisme telah menjadi masalah utama di Filipina Selatan di mana wilayah ini menjadi basis kelompok Maute dan Abu Sayyaf. Sebelumnya, Presiden Duterte sempat menyinggung bahwa negaranya potensial menjadi "markas" ISIS.
"Setelah para teroris di Timur Tengah diusir dari daerah 'real estate' di mana mereka bisa tidur...mereka akan mengembara ke tempat-tempat lain dan mereka akan datang ke sini. Kita harus bersiap untuk itu," ujar Duterte seperti dilansir Reuters.
Menurut Sidney Jones, pengamat terorisme, Filipina merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara di mana kelompok yang terhubung dengan ISIS mengontrol sebuah wilayah.
"Ada kekhawatiran bahwa hal ini akan menjadi lebih sulit dibanding yang terjadi di Suriah dan Irak, ISIS akan memutuskan untuk mengirimkan seorang ahli untuk mengajarkan kepemimpinan di sana," kata Sidney Jones.