China Protes Percakapan Telepon Presiden Taiwan dengan Trump

Kementerian Luar Negeri China mengajukan protes diplomatik tak lama setelah Presiden Tsai menghubungi Trump. Apa sebabnya?

oleh Khairisa Ferida diperbarui 04 Des 2016, 07:04 WIB
Diterbitkan 04 Des 2016, 07:04 WIB
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen melakukan pembicaraan via telepon dengan Donald Trump di kantornya
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen melakukan pembicaraan via telepon dengan Donald Trump di kantornya (Reuters)

Liputan6.com, Taipei - Tiongkok mengajukan protes diplomatik kepada Amerika Serikat (AS) setelah presiden terpilih negara itu, Donald Trump berbicara melalui sambungan telepon dengan Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen. Atas peristiwa tersebut, China menuding Taiwan melakukan pergerakan kecil.

Perbincangan telepon antara Trump dengan Presiden Tsai berlangsung selama 10 menit. Ini merupakan sambungan telepon pertama yang dilakukan presiden terpilih AS sejak Presiden Jimmy Carter mengalihkan pengakuan diplomatik AS dari Taiwan ke China pada tahun 1979.

Sejak saat itu, AS mengakui bahwa Taiwan sebagai bagian dari kebijakan "satu China".

"Prinsip 'satu China' adalah dasar politik hubungan China-AS," ujar Kementerian Luar Negeri Tiongkok seperti dilansir Reuters, Minggu (4/12/2016).

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri China, Wang Yi secara tegas memilih menyalahkan Taiwan dibanding Trump.

"Ini hanya pergerakan kecil dari sisi Taiwan, dan tidak dapat mengubah struktur 'satu China' yang sudah terbentuk di kalangan masyarakat internasional. Saya meyakini bahwa hal tersebut tidak akan mengubah kebijakan AS terkait prinsip 'satu China'," kata Wang.

Dalam kesempatan yang sama, Wang juga menyinggung bahwa Presiden Xi Jinping dan Trump telah lebih dulu bicara melalui sambungan telepon. Menurut Wang, Trump bahkan memuji China sebagai sebuah negara besar.

Pembicaraan kedua tokoh itu disebut Wang mengirimkan sinyal positif tentang perkembangan masa depan hubungan kedua negara. Sementara, soal Taiwan tak disinggung sama sekali dalam kesempatan tersebut.

Kantor Urusan Taiwan-China merilis pernyataan senada dengan Kementerian Luar Negeri. Bahwa sambungan telepon Presiden Tsai dengan Trump adalah langkah kecil yang dilakukan Taiwan, namun ditegaskan bahwa hal tersebut tidak akan mengubah status pulau itu sebagai bagian dari China.

"Beijing tegas menentang kemerdekaan Taiwan," ujar pernyataan kantor tersebut.

Sementara itu, melalui media sosial Twitter, Trump mencuit Tsai telah meneleponnya.

"Presiden Taiwan 'MENELEPON' saya hari ini untuk mengucapkan selamat atas kemenangan dalam pilpres. Terima kasih!," tulis Trump.

Juru bicara Presiden Tsai, Alex Huang mengatakan," Tentu saja, kedua belah pihak telah setuju sebelum terjalin sambungan telepon."

Kantor kepresidenan Taiwan merilis pernyataan terkait pembicaraan Trump dan Tsai. Keduanya disebut membahas penguatan interaksi bilateral dan upaya membangun kerja sama yang lebih erat.

Pihak Trump sendiri mencatat bahwa kedua negara selama ini memiliki kedekatan dalam hubungan ekonomi, politik, dan keamanan.

China selama ini menganggap Taiwan sebagai provinsi yang patuh. Namun hubungan antar kedua pihak memburuk sejak Tsai terpilih sebagai presiden pada Januari lalu.

Presiden perempuan pertama Taiwan itu berasal dari Democratic Progressive Party (DPP) yang dikenal memperjuangkan kemerdekaan Taiwan dari China.

Global Times, media pemerintah China memuat dalam laporannya bahwa jika Trump membalikkan prinsip 'satu China' yang dipegang AS selama ini maka langkah tersebut akan memicu krisis di luar dari yang dapat dia bayangkan.

"Kami percaya itu bukan yang diinginkan Trump," tulis media tersebut.

Sementara itu kantor berita China, Xinhua mengatakan, Trump perlu mengetahui bahwa Tiongkok dapat menjadi "mitra kerja sama" selama Washington menghormati kepentingan China, termasuk soal Taiwan.

"China dan AS tidak ditadirkan untuk bersaing," tulis Xinhua.

Dalam beberapa hari terakhir, Trump menerima telepon dari sejumlah pemimpin negara yang selama ini terlibat dalam ketegangan dengan AS. Sebut saja Presiden Filipina, Rodrigo Duterte dan Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya