40 Politikus Partai Demokrat Boikot Pelantikan Donald Trump

Jumlah politikus yang mengumumkan absen dalam pelantikan presiden naik drastis sejak Trump menyerang ikon pejuang hak sipil, John Lewis.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 17 Jan 2017, 17:32 WIB
Diterbitkan 17 Jan 2017, 17:32 WIB
Donald Trump, presiden ke-45 Amerika Serikat
Donald Trump, presiden ke-45 Amerika Serikat (Associated Press)

Liputan6.com, Washington, DC - Mayoritas anggota parlemen asal Partai Demokrat Amerika Serikat (AS) memutuskan akan memboikot pelantikan presiden terpilih, Donald Trump.

Langkah itu ditempuh sebagai bentuk protes atas pandangan Trump terhadap berbagai persoalan dunia dan kritiknya terhadap ikon pejuang hak-hak sipil AS dan juga anggota Kongres asal Georgia, John Lewis.

Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 40 dari 42 anggota parlemen asal Demokrat yang mengumumkan tidak akan hadir dalam pelantikan Trump di Capitol Hill pada 20 Januari mendatang.

Sebelumnya hanya 30 anggota parlemen yang memboikot, tapi belakangan jumlahnya meningkat drastis usai cuitan Trump yang menyerang Lewis dengan mengatakan, ia hanya "bicara, bicara, dan bicara". Menurut Trump, Lewis seharusnya "fokus pada tindakan kriminal yang terjadi."

Seperti dikutip dari

the Washington Post,

Selasa, (17/1/2017), Lewis selama ini berpendapat kemenangan Trump tidak sah menyusul dugaan intervensi Rusia dalam pilpres. Dalam sebuah wawancara dengan

NBC News,

Lewis telah menegaskan tidak akan menghadiri pelantikan Trump.

Lewis dikenal sebagai pemimpin dalam unjuk rasa terkait hak-hak sipil pada 1960-an, termasuk gerakan melintasi jembatan Edmund Pettus di Selma, Alabama pada 1965. Kala itu, polisi disebut-sebut menyerang kerumunan dengan brutal.

Salah seorang anggota Kongres yang mengumumkan akan memboikot pelantikan Trump adalah Keith Ellison. Ia merupakan calon ketua Komite Nasional Demokrat dan warga muslim pertama yang terpilih sebagai anggota kongres.

Tak lama setelah menyerang Lewis, presiden ke-45 AS itu mendapat kunjungan dari Martin Luther King III, anak tertua dari Martin Luther King Jr, seorang pendeta yang juga pejuang HAM dan penerima Nobel Perdamaian.

Sekitar 50 menit setelah pertemuan keduanya berlangsung, King III muncul dari lift dan berbicara kepada awak media. Disinggung alasan di balik kunjungannya ke Trump Tower ia hanya mengatakan, "Kita harus bergerak maju."

William Wachtel, seorang pengacara di New York, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan, mereka membahas partisipasi pemilih dan bagaimana meneruskan warisan King Jr, yakni dengan memudahkan setiap orang untuk menggunakan hak suara mereka.

"Presiden terpilih, Trump, telah berkomitmen untuk bekerja dengan kami," kata Wachtel seperti dikutip dari

The Guardian.

Pada 2013, Mahkamah Agung memutuskan untuk mencabut keabsahan elemen kunci dari UU Hak Pemungutan Suara 1965. Padahal UU tersebut dinilai sebagai prestasi dari gerakan hak-hak sipil yang dirancang untuk melindungi pemilih minoritas.

"Presiden yang satu ini mungkin berada dalam semangat yang sama dengan UU tersebut dan sekali lagi membuat semua rakyat Amerika lebih mudah untuk menggunakan hak bersuara mereka," tegas Wachtel.

Sementara itu, ketika disinggung terkait sikap Trump kepada Lewis, King III mengatakan, kedua belah pihak tengah dalam emosi tinggi.

"Pada beberapa titik, bangsa ini harus bergerak maju. Dan saya akan mengevaluasi komitmen Trump untuk mewakili seluruh rakyat Amerika," ungkap King III.

"Menurut saya, ayah saya akan sangat prihatin tentang 50-60 juta yang hidup dalam kemiskinan. Tak dapat diterima bahwa kita memiliki orang miskin di negara ini," imbuhnya.

Aksi boikot yang ditempuh mayoritas anggota parlemen asal Partai Demokrat tersebut menuai sejumlah reaksi. Namun sebagian besar memuji keputusan tersebut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya