Kisah Pengungsi Irak di Indonesia: Saya Rindu Ibu ...

Yasser Abd Muslim merupakan satu dari kurang lebih 7.000 pengungsi yang ada di Indonesia. Tak mudah baginya bisa tiba di Indonesia ini.

oleh Andreas Gerry Tuwo diperbarui 09 Feb 2017, 06:54 WIB
Diterbitkan 09 Feb 2017, 06:54 WIB
Pengungsi Irak di Indonesia
Pengungsi Irak di Indonesia (Foto: Andreas Gerry/Liputan6)

Liputan6.com, Jakarta - "Kami manusia," "Kami bukan teroris". 

Teriakan itu menggema di depan Gedung Ranvindo yang salah satu lantainya dipakai sebagai kantor perwakilan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

Di tengah riuh para pendemo yang mayoritas berasal dari Afghanistan, terlihat seorang bapak yang sedang menggendong anaknya. Ia bukan berasal dari Afghanistan tapi Irak.

Pengungsi Irak di Indonesia bersama sang anak (Foto: Andreas Gerry)

Namanya, Yasser Abd Muslim. Ia ikut demo dengan warga Afghanistan tersebut karena merasa senasib.

Mereka semua adalah penggungsi yang nasibnya terkatung-katung di Indonesia.

Ia berunjuk rasa, karena ingin memastikan nasibnya. Apakah dapat direlokasi ke negara ke tiga atau boleh tinggal di Indonesia dan bekerja di Tanah Air.

Kepada Liputan6.com dirinya bercerita, sama sekali tak mau kembai ke Irak. Situasi Negeri Seribu Satu Malam kini sudah tidak kondusif.

Kenangan buruk bahkan langsung hinggap di ingatan Yasser, kala bercerita tentang tempat kelahirannya di Irak. Aura kesedihan pun langsung terasa kala kata-kata keluar dari mulut Yasser.

"Di sana sangat berbahaya, ayah saya dan saudara laki-laki saya tewas karena banyak bom," sebut Yasser.

Kendati enggan pulang, di dalam hati yang paling dalam Yasser sebenarnya ingin kembali pulang. Ibunya, yang menjadi dasar kerinduannya ke kembali ke kampung halaman.

"Saya sangat merindukan ibu saya dan juga keluarga saya di sana. Tinggal ibu saya di Baghdad, ia sedang sakit sekarang," kata dia.

Ingin Bekerja

Keluarga Pengungsi Irak di Indonesia (Foto: Andreas Gerry Liputan6)


Berbeda dengan kebanyakan warga Afghanistan, yang meninginkan untuk segera meninggalkan Indonesia. Yasser menyatakan dirinya lebih baik berada di Jakarta dari pada pindah ke negara lain.

Alasannya satu: kemananan.

Indonesia bagi dia --yang datang bersama anak dan istrinya-- Indonesia sangat aman. Segala aktivitas sehari-hari bisa dilakukan tanpa rasa takut.

Di Indonesia, ia memastikan tak bakal jadi beban bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, pria 29 tahun ini punya banyak kemampuan.

Bahasa Inggris lancar dan bisa memasak secara profesional, adalah kelebihan Yasser yang tak dimiliki pengungsi lainnya.

"Saya ingin kerja, saya seorang koki saya bisa masak," ucap Yasser.

Jenis masakannya yang bisa dimasak, bukan cuma satu saja. Tapi beberapa kuliner internasional bisa diolahnya.

"Saya bisa masak masakan Arab, Italia," sebut dia.

Yasser bertutur, menjadi koki merupakan pekerjaan utamannya. Dia pun sangat menikmati masa-masa bekerja sebagai juru masak di negara kelahirannya.

Semua kenyamanan kerja Yasser tiba-tiba hilang. Peperangan menyapu bersih kehidupan dan pekerjaannya.

"Saat saya berada di Irak, saya bekerja sebagai koki. Saya punya gaji yang besar dulu, tapi semua hilang," katanya.

"Restoran tempat saya bekerja di bom, hancur luluh lantak berantakan, jika saja kondisi Baghdad baik-baik, saya tak mungkin ada di Jakarta," jelas dia.

Mimpi Yasser memang ingin bekerja di Jakarta. Tapi, karena aturan dan regulasi yang berlaku di Indonesia, ia tak diperkenankan bekerja.

"Saya tidak diizinkan bekerja, saya bertahan hidup karena beberapa orang baik memberi uang kepada saya. Saya ingin kerja," tegasnya.

Lewati Perjalanan Jauh

Pengungsi Irak di Jakarta (Foto: Andreas Gerry)



Bisa sampai di Indonesia dengan selamat, bagi Yasser, merupakan suatu mukjizat. Sebab tak mudah perjalannya kabur dari negara penuh konflik itu.

Ia sudah dua tahun berada di Jakarta. Indonesia pun bukanlah jadi negara pertama yang diinjaknya setelah berhasil kabur dari Irak.

"Saya datang ke Indonesia lewat lautan lepas, saya awalnya ke Malaysia. Lalu ke Indonesia dengan perahu," jelas dia.

Perjalanan laut dengan perahu menuju Indonesia, sangat berbahaya. Masuk ke pelabuhan gelap yang ia tak tahu di mana hingga akhirnya bisa sampai ke ibukota sudah masuk dalam pengalaman hidupnya.

Lebih menyakitkan lagi, untuk bisa naik perahu ke Indonesia, ada harga yang harus dibayar. Jumlahnya uang yang dikeluarkannya pun tidak sedikit.

"Saya bayar ke orang yang punya kapal US$ 500," ucap Yasser mengakhiri cerita hidupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya