Liputan6.com, Washington, DC - Rumana Ahmed diterima bekerja di Gedung Putih setelah lulus kuliah pada tahun 2011. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Keamanan Nasional (NSC). Tugasnya adalah untuk menegakkan dan melindungi nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Amerika Serikat.
Istimewanya, Rumana adalah satu-satunya muslimah berhijab di West Wing Gedung Putih, dan pemerintahan Obama selalu membuatnya merasa diterima dan dilibatkan, demikian penuturan Rumana kepada majalah Atlantic dan dikutip oleh Liputan6.com pada Selasa (28/2/2017).
Baca Juga
Seperti halnya Muslim Amerika lain, Rumana merasa cemas saat melihat Donald Trump menjelek-jelekkan komunitasnya selama masa kampanye 2016. Meski demikian, atau karena Trump, ia tetap bertahan bekerja sebagai staf NSC.
Advertisement
"Namun aku hanya bertahan delapan hari, setelah Trump masuk ke Gedung Putih," kata Rumana.
Saat Trump mengisukan larangan masuk untuk warga dari tujuh negara yang mayoritas Muslim serta semua pengungsi Suriah, Rumana tidak sanggup lagi bertahan dan bekerja untuk pemerintahan yang melihat dirinya dan orang-orang seperti dirinya sebagai sesama warga negara, namun sebagai ancaman.
Malam sebelum ia pergi, Rumana berpamitan pada beberapa rekan kerjanya, yang saat itu juga sudah berencana keluar, dan memberitahukan penasihat senior NSC Trump, Michael Anton, yang seruangan dengannya.
Michael merasa terkejut dan bertanya apakah Rumana akan berhenti selamanya, tanpa bertanya sebabnya.
"Aku berkata kepada Michael atasan saya bahwa ini merupakan penghinaan bagiku saat memasuki gedung paling bersejarah di negeri ini setiap hari di bawah pemerintahan yang berlawanan dan menghina semua nilai yang aku bela sebagai seorang warga Amerika dan Muslim," ujar Rumana.
Rumana menyatakan bahwa pemerintahan Donald Trump telah menyerang dasar-dasar demokrasi dan sebaiknya mereka dan anggota Kongres bersiap-siap untuk bertanggung jawab akan semua konsekwensi dari keputusan mereka. Michael Anton tidak berkata apa-apa kepada Rumana.
Setelah itu, Rumana mengetahui bahwa Michael menulis artikel dengan nama samaran yang memuji kelebihan pemerintahan otoriter dan menyerang keberagaman sebagai "kelemahan," dan Islam dianggap "tidak sesuai dengan kehidupan modern di Barat."
"Selama hidup saya dan seluruh hal yang aku pelajari, pendapat itu tidaklah benar, terbukti dari kehidupanku dan apa yang telah dipelajari," cetus satu-satunya muslimah di Gedung Putih itu.
9/11 Membuat AS Berubah
Orangtua Rumana berimigrasi ke Amerika Serikat dari Bangladesh pada tahun 1978 dan berjuang menciptakan kesempatan bagi anak-anak mereka yang lahir di negeri Paman Sam itu.
Ibunya bekerja sebagai kasir, lalu memulai bisnis penitipan anak.
Ayah Rumana bekerja hingga larut di Bank of America, sehingga akhirnya dipromosikan menjadi Wakil Direktur di salah satu kantor pusatnya.
Keluarga Rumana berhasil menggapai Mimpi Amerika atau American Dreams, seperti mengadakan barbekyu, berjalan-jalan ke Disney World, mengadakan pertandingan sepak bola atau sepak bola Amerika, dan menyelenggarakan program layanan masyarakat. Ayah Rumana memulai studi doktoral, namun meninggal dalam kecelakaan mobil pada tahun 1995.
Rumana mulai mengenakan hijab pada usia 12 tahun, pilihan pribadinya. Baginya, ini adalah masalah keimanan, identitas, dan kekuatan. Setelah 9/11, semuanya berubah.
"Aku takut berhadapan dengan anak lain. Mereka menatapku, mengutukku dan meludahiku. Di sekolah maupun di tempat umum," kenang Rumana sesaat setelah Menara Kembar WTC dihantam pesawat pada 11 September 2001.
"Orang memanggilku "teroris" dan mengatakan "pulang saja kau ke negaramu," ujarnya lagi.
Namun Rumana tetap tegar. Nasihat ayahnya yang mengutip pribahasa Bengal yang terinspirasi nilai Islam: "Saat ada yang menendangmu jatuh, bangkitlah kembali, ulurkan tanganmu dan sebut ia sebagai saudaramu."
Advertisement
Teror Kampanye Donald Trump
Situasi pada tahun 2016, bagi Rumana terasa seperti setelah 9/11. Yang membuatnya makin parah adalah bahwa ketakutan dan kebencian ini dikompori oleh mereka yang memiliki kekuasaan.
Murid-murid kelas lima di Sekolah Minggu yag diajar oleh Rumana menceritakan tentang pelecehan oleh teman sekelas dan guru mereka. Mereka merasa tidak lagi menjadi bagian dari masyarakat Amerika, dan bertanya apakah mereka akan diusir jika Trump menang.
Rumana sendiri nyaris ditabrak mobil yang dikendarai pria kulit putih yang tertawa-tawa di lapangan parkir supermarket Costco, dan pernah diikuti saat keluar dari kereta oleh seorang pria yang meneriakkan kata-kata kasar: "Bangsat kamu! Islam bangsat! Trump akan mengusir kamu!"
Pagi hari setelah pemilu, para staf berdiri di Pilar Barat atau West Collonade saat Obama berpidato di Rose Garden dan menyerukan persatuan nasional dan transisi yang mulus.
"Trump tampak seperti antitesis dari semua yang mereka perjuangkan. Aku merasa merasa kalut, belum dapat menerima bahwa Trump akan menggantikan Obama," tutur Rumana kala itu.
Rumana bergulat dengan pikiran untuk meninggalkan pekerjaannya. Meskipun ia ditunjuk bekerja di situ bukan karena kepentingan politik namun diterima langsung oleh NSC, Rumana berhak untuk tetap bekerja di situ.
Calon penasihat keamanan nasional, Michael Flynn, pernah membuat pernyataan seperti "ketakutan akan Muslim adalah hal yang rasional." Beberapa rekan kerja dan pemimpin komunitas mendukungnya untuk tetap tinggal, sementara ada pula yang mencemaskan keselamatannya.
Karena merasa optimis dan berkewajiban untuk membantu mereka meneruskan pekerjaan yang telah dilakukan dan agar dapat didengar, Rumana memutuskan bahwa NSC di bawah Trump dapat memetik keuntungan dari patriot Muslim Amerika wanita, yang non-kulit putih dan memakai hijab. Namun, semua berubah...
Advertisement
Akhirnya Memutuskan Hengkang...
Pada 23 Januari, Rumana memasuki Eisenhower Executive Office Building, dengan para staf baru yang berkantor di sana. Bukan antusiasme yang ditemukannya seperti saat pertama memasuki Gedung Putih di bawah pemerintahan Obama, namun para staf baru melihatnya dengan tatapan terkejut yang dingin.
Gedung Putih yang beragam tempatnya bekerja kini menjadi monokrom dan dikuasai kaum pria.
"Delapan hari terakhirnya di Gedung Putih terasa aneh bagiku," ujar Rumana.
"Salah satu staf yang bekerja sejak masa Reagan mengatakan, "Tempat ini sudah berantakan. Kacau! Saya tak pernah menyaksikan hal seperti ini," Ini bukan kepemimpinan partai Republik yang biasanya, atau pebisnis. Ini adalah usaha yang kacau untuk menjadi otoriter, dengan peraturan presiden yang secara legal dipertanyakan, menuduh media "palsu," dan pernyataan perwakilan Gedung Putih bahwa otoritas keamanan nasional yang dimiliki presiden "tidak boleh dipertanyakan,'"
Menurut staf tersebut, seluruh struktur pendukung presiden untuk bidang keamanan nasional dan para pakar hukum yang bersifat non-partisan tengah dilemahkan.
Otoritas pembuatan keputusan kini dipusatkan hanya ke beberapa orang di West Wing. Frustasi dan kecurigaan tumbuh karena beberapa staf merasa diabaikan dalam isu-isu yang menjadi keahlian mereka. Tidak ada struktur atau panduan yang jelas.
Lorong-lorong Gedung Putih terasa sunyi dan seram karena sejumlah posisi dan kantor utama yang bertanggung jawab akan keamanan nasional atau kerja sama dengan rakyat Amerika masih belum terisi.
"Saya mungkin akan bertahan lebih lama. Lalu tanggal 30 Januari terjadilah larangan masuk bagi warga 7 negara yang berpenduduk mayoritas Muslim yang menyebabkan kekacauan tanpa membuat Amerika menjadi lebih aman," ujar Rumana.
Diskriminasi yang berlangsung bertahun-tahun mendapat legitimasi di bandara, menimbulkan protes besar di mana-mana, sementara presiden menentang keputusan pengadilan yang menunda pelarangannya. Hal ini bukan saja diskriminatif dan bukan nilai Amerika, namun juga mengancam keamanan nasional dan sistem pengawasan dan keseimbangan.
Beberapa penulis Alt-right (organisasi neo-Nazi) yang kini menjadi staff Gedung Putih, telah mengklaim bahwa Islam dan Dunia Barat tengah saling berperang.
ISIS juga menyatakan hal yang sama untuk membenarkan serangan mereka, yang sebenarnya lebih banyak menargetkan para Muslim. Rencana pemerintah untuk memunculkan kembali program Countering Violent Extremism yang berfokus hanya pada Muslim dan menggunakan istilah "teroris Islami radikal," juga memberi legitimasi untuk propaganda ISIS dan membiarkan bahaya bangkitnya ekstremis supremasi kulit putih menjadi tak terawasi.
Menempatkan keamanan nasional AS di tangan orang-orang yang berpendapat bahwa keberagaman adalah "kelemahan" merupakan hal yang berbahaya.
"Itu jelas keliru," cetus Rumana.
Warga AS dari berbagai agama, ras, suku bangsa, orientasi seksual, gender, dan usia turun ke jalan dan bandara untuk membela hak sesama warga Amerika selama beberapa minggu terakhir membuktikan bahwa hal sebailknya lah yang benar: Keberagaman Amerika merupakan kekuatan, begitu pula komitmen Amerika untuk menjunjung keadilan dan kesamaan hak.
"Sejarah Amerika bukanlah tanpa sandungan, yang membuktikan bahwa negara itu menjadi makmur dan tangguh karena melalui perjuangan, kasih sayang, dan inklusi," beber Rumana.