Liputan6.com, Washington, DC - Menteri Pertahanan Arab Saudi yang juga Wakil Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman menyebutkan, Donald Trump adalah "teman sejati umat muslim". Ia tidak percaya bahwa kebijakan imigrasi kontroversial Trump menargetkan umat Islam.
Setelah ikut rombongan Raja Salman dalam tur ke sejumlah negara Asia, Pangeran Mohammed berkunjung ke Amerika Serikat. Oleh Trump, ia dijamu makan siang di Gedung Putih.
Baca Juga
Seorang penasihat senior Pangeran Mohammad bin Salman mengatakan, pertemuan itu menandai "titik balik bersejarah" dalam hubungan kedua negara yang sempat memburuk pada era pemerintahan Barack Obama.
Advertisement
Kondisi tersebut dipicu dukungan AS atas kesepakatan nuklir Iran.
Melalui sebuah pernyataan disebutkan, kunjungan Pangeran Mohammed telah menempatkan "sejumlah hal di jalur yang benar". Ini sekaligus menandai pergeseran signifikan di sejumlah bidang seperti politik, ekonomi, dan keamanan.
"Semua ini karena pemahaman luas Presiden Trump tentang pentingnya hubungan kedua negara dan pandangannya soal berbagai masalah di kawasan," demikian ungkap pernyataan tersebut seperti dilansir Bloomberg dan dikutip Independent, Kamis, (16/3/2017).
"Arab Saudi tidak percaya bahwa larangan imigran menargetkan negara-negara muslim atau pemeluk agama Islam. Langkah ini merupakan keputusan berdaulat yang bertujuan mencegah teroris masuk ke AS," sebut pernyataan itu.
Dalam kesempatan tersebut, Pangeran Mohammed juga menyampakan bahwa pihak intelijen Arab Saudi menerima informasi tentang plot teror terhadap AS. Namun tidak ada penjelasan rinci soal ini.
Seorang juru bicara pihak Saudi mengatakan, Pangeran Mohammed puas dengan sikap positif dan klarifikasi langsung dari Trump terkait posisinya terhadap Islam.
Sumber yang sama menambahkan, "Presiden Trump menunjukkan niat yang belum pernah ada sebelumnya dan serius untuk bekerja sama dengan dunia muslim demi mencapai kepentingannya. Pangeran Mohammed menilai ia adalah teman sejati umat muslim".
Perbincangan Trump dengan Pangeran Mohammed berlangsung di Ruang Oval. Dalam pertemuan tersebut, turut hadir sejumlah tokoh lainnya seperti Wapres Mike Pence, penasihat senior presiden yang juga menantu Trump, Jared Kushner, kepala staf Gedung Putih Reince Priebus, dan kepala strategis Steve Bannon.
Terpisah, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menerima kunjungan Menlu Arab Saudi Adel bin Ahmed Al-Jubeir. Keduanya disebut membahas sejumlah isu, seperti ekonomi, perang terhadap ekstremisme, serta perang di Suriah, Yaman, Libya, dan Irak.
Arab Saudi kali ini memiliki pandangan sama dengan Negeri Paman Sam, yaitu melihat Iran sebagai sebuah ancaman. Itulah kenapa Riyadh-Washington sempat tegang di era Obama karena presiden ke-44 itu mendukung "hubungan damai" dengan Teheran melalui sebuah kesepakatan nuklir pada 2015.
Selain itu, Saudi dan Iran terlibat perang proxy di Suriah. Keduanya ada di pihak yang berbeda. Di Suriah, Arab Saudi bersama AS pro-pemberontak. Sementara Iran, mendukung pemerintahan Bashar al-Assad.
Di Yaman, Saudi mendukung pemerintahan Abd Rabbuh Mansur Hadi. Sementara Iran menyokong pemberontak Houthi.
"Pangeran Mohammed bin Salman telah menekankan betapa buruk dan berbahaya kesepakatan nuklir tersebut. Presiden (Trump) dan wakil putra mahkota berbagi pandangan yang sama tentang ekspansionis Iran di kawasan. Iran tengah mencoba untuk mendapat legitimasi di dunia Islam dengan mendukung organisasi teroris," kata juru bicara pihak Saudi.
Adapun dalam pertemuan Trump dengan Pangeran Mohammed dibahas soal keberhasilan Saudi dalam mendirikan sistem perlindungan perbatasan antara negara itu dengan Irak yang mencegah migrasi dan penyelundupan.
Isu ini bukan tidak mungkin menarik perhatian Donald Trump menyusul kebijakannya untuk mendirikan tembok perbatasan AS-Meksiko.