Juli 2017, Uruguay Mulai Jual Ganja di Apotek

Uruguay menjadi negara pertama di dunia yang melegalkan penjualan ganja untuk konsumsi kesehatan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 07 Apr 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2017, 19:00 WIB
Ilustrasi pengemasan daun ganja untuk pengobatan medis
Ilustrasi pengemasan daun ganja untuk pengobatan medis

Liputan6.com, Montevideo - Uruguay akan memulai penjualan ganja di apotek pada Juli 2017 mendatang. Negara yang terletak di Amerika Selatan itu akan menjadi yang pertama di dunia dalam melegalkan perdagangan obat-obatan terlarang untuk konsumsi kesehatan.

Langkah regularisasi dimulai pada tahun 2013 di mana sebuah produk hukum sudah mengesahkan jual beli ganja. Namun butuh waktu cukup lama untuk merealisasikannya.

"Ganja akan diedarkan di apotek pada Juli mendatang," ujar Kepala Dewan Obat Nasional Juan Andres Roballo dalam sebuah konferensi pers seperti dilansir BBC, Jumat, (7/4/2017).

Undang-undang mengharuskan para pembeli untuk mendaftar terlebih dulu. Lebih lanjut Roballo menjelaskan, pendaftaran akan dibuka pada 2 Mei mendatang. Sementara itu untuk per gramnya, ganja akan dihargai US$ 1,3.

Persyaratan pendaftaran adalah harus warga negara Uruguay atau penduduk tetap dan mampu membeli hingga maksimal 40 gram setiap bulannya. Perdagangan ganja ini akan dipantau oleh badan pengawas pemerintah.

Undang-undang tersebut juga memungkinkan pengguna untuk menumbuhkan ganja di rumah mereka atau bergabung dengan koperasi.

Di lain sisi, banyak apoteker yang meragukan keuntungan dari penjualan produk yang dikontrol. Beberapa pembeli juga enggan mendaftarkan diri, mereka mengeluh soal privasi dan batas bulanan yang disyaratkan.

Sejauh ini, pemerintah sudah bekerja sama dengan 16 apotek. Namun diharapkan akan ada lebih banyak lagi yang bergabung.

Kampanye kesehatan akan digelar lebih dulu sebelum pendaftaran dibuka. Roballo menegaskan, pemerintah tidak akan menutup-nutupi angka permintaan, meski ia sendiri meyakini tidak akan ada pengguna ganja dalam jumlah tinggi yang mendaftar.

Banyak yang berpikir Belanda merupakan negara yang melegalkan ganja pertama di dunia. Namun dugaan tersebut keliru karena penjualan mariyuana di sana ilegal, namun tidak dihukum jika mengikuti aturan yang berlaku.

Sementara itu, Amerika Serikat, melarang kepemilikan atau penjualan ganja untuk tujuan apapun.

Kontroversi

Beberapa waktu lalu, penggunaan ganja untuk konsumsi kesehatan heboh di Indonesia. Pria asal Sanggau, Kalimantan Barat, bernama Fidelis Ari Sudarwoto ditangkap dan dibui gara-gara menanam ganja untuk pengobatan sang istri.

Yeni Riawati, istri Fidelis mengidap penyakit langka Syringomyelia atau munculnya kista di sumsum tulang belakang.

Pria itu pun mencoba mencari di internet dan menemukan salah satu pengobatan untuk Syringomyelia di luar negeri dengan menggunakan ekstrak ganja. Inilah yang membuatnya berani menanam ganja.

Usai mengonsumsi ekstrak ganja, Yeni dinilai menunjukkan tanda-tanda kepulihan.

Badan Narkotika Nasional (BNN) pun mengendus kepemilikan ganja tersebut. Fidelis ditangkap Minggu, 19 Februari 2017 pukul 10.30 WIB. Aparat BNN Kabupaten Sanggau menyita 39 batang pohon ganja di kediaman Fidelis yang berada di Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan Bunut, Kabupaten Sanggau.

Kasus ini menjadi viral ketika, Fidel melayat sang istri yang meninggal dunia. Di rumah duka, ia memeluk anaknya dan peristiwa itu diabadikan oleh seseorang sebelum akhirnya menyebar di dunia maya.

Meski dengan alasan untuk pengobatan sang istri, namun kini Fidelis harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Besar Sulistiandriatmoko membantah jika disebut kematian Yeni akibat dihentikannya asupan ganja. Ditegaskannya, tidak ada ahli medis atau pihak terkait yang mengungkapkan hal tersebut sehingga dugaan itu tidak berdasar.

Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 111 dinyatakan, setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya