Liputan6.com, Sittwe - Myanmar mengirimkan ratusan tentara untuk meningkatkan keamanan di negara bagian Rakhine, demikian menurut dua sumber militer negara tersebut.
Mereka mengatakan, langkah itu dilakukan setelah tujuh orang umat Buddha ditemukan tewas di pegunungan dekat Maungdaw pekan lalu.
Baca Juga
Sekitar 500 tentara telah dikerahkan ke beberapa kota yang di dekat perbatasan Bangladesh pada 10 Agustus 2017, termasuk Buthidaung dan Maungdaw.
Advertisement
"Kami harus meningkatkan operasi keamanan karena situasi telah memburuk, beberapa warga Muslim dan penganut ajaran Buddha tewas di tangan pemberontak," ujar Ketua Kepolisian Rakhine, Kolonel Sein Lwin.
Pemerintah menyalahkan kelompok ekstremis atas tewasnya tujuh umat Buddha itu. Sebuah sumber militer mengatakan, hal tersebut mendorong pasukan keamanan untuk memburu para pelaku dalam sebuah 'operasi pembersihan intensif'.
Sein Lwin menambahkan, pekan ini tentara telah memperketat keamanan dan kepolisian berada dalam siaga tinggi. Direktur departemen administrasi umum yang berbasis di Sittwe, Kyaw Swar Tun, mengatakan bahwa pasukan keamanan juga memperkuat pos penjagaan di wilayah tersebut.
Salah satu anggota ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), menyuarakan kekhawatiran tentang meningkatnya jumlah tentara di Rakhine.
"Aung San Suu Kyi harus memanggil semua pihak, termasuk tentara Myanmar, untuk mengambil langkah-langkah untuk meredakan konflik di Rakhine, dan bukan malah memperparah," ujar Eva Kusuma Sundari.
Langkah tersebut menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya gelombang kekerasan baru. Pada akhir tahun lalu, gelombang kekerasan pecah di Rakhine dan para pasukan Myanmar dituduh menembak, melakukan kekerasan seksual, dan membakar rumah-rumah warga sipil.
Namun Myanmar telah beberapa kali menyangkal tuduhan tersebut. Menurut hasil penyelidikan atas kekerasan di negara bagian Rakhine tahun lalu, pemerintah Myanmar menyimpulkan bahwa tidak adanya kejahatan kemanusiaan terhadap etnis tersebut.
Anggota senior komisi pemerintah Myanmar, Zaw Myint Pe, menuding bahwa laporan awal PBB dan Kantor Komisioner Tinggi HAM yang sempat dirilis pada Februari lalu, tidaklah 'objektif'.
Â
Simak video berikut ini: