Liputan6.com, Moskow - Pada akhir 1910-an hingga awal tahun 1920-an, banyak tentara Rusia yang menggunakan penawar rasa sakit berbasis morfin. Hal ini berujung pada tingginya jumlah pecandu narkoba di Rusia.
Meski begitu, popularitas narkoba dikalahkan oleh rasa cinta masyarakat Rusia terhadap alkohol.
Baca Juga
Dalam buku Morphine (1926), seorang penulis Rusia bernama Mikhail Bulgakov menggambarkan seorang dokter di rumah sakit provinsi yang menjadi pecandu narkoba, setelah sebelumnya jatuh sakit dan menyuntik diri sendiri dengan morfin.
Advertisement
Dikutip dari laman RBTH Indonesia, Rabu (23/8/2017), hidup sang dokter hancur sehingga ia tak bisa menguasai kecanduannya. Akhirnya ia menembak dirinya sendiri.
Bulgakov tahu betul apa yang ia tulis selama beberapa tahun sejak 1917. Ia sendiri adalah dokter yang memakai morfin. Dan apa yang terjadi di dirinya bukanlah hal yang jarang terjadi.
Perang dan Narkoba Terjadi Bersamaan
Menurut ahli narkotika Vladimir Gorovoy-Shaltan, selama tahun-tahun perang dan revolusi, sulit untuk menemukan rumah sakit tanpa pasien yang kecanduan morfin.
Morfin digunakan untuk mengobati luka tentara di medan perang saat Perang Dunia I (1914-1917). Para ilmuwan saat itu tak menganggapnya berbahaya, dan oleh karena itu, banyak tentara yang kecanduan setelah diberikan morfin.
Kekaisaran Rusia juga tanpa disadari membantu persebaran kecanduan narkoba, dengan melarang penjualan alkohol di toko hingga perang berakhir dengan kemenangan.
Banyak orang yang menemukan cara untuk menyiasati peraturan itu. Namun, tetap saja persediaan alkohol secara umum semakin berkurang. Jadi, mereka yang 'nakal' akan berpindah ke narkoba.
Kokain bahkan lebih populer dari pada morfin dan merupakan 'kaisarnya narkoba' di Rusia pada era perang dan sesudahnya. Tak lama sebelum itu, kokain telah dijual secara legal di toko obat, sehingga pelarangannya tidak begitu ketat.
Kokain dan Alkohol
Kokain untuk Seluruh Kalangan
Kokain mudah dicari dan digunakan pada masa itu. Tak butuh jarum atau pipa untuk menggunakannya, semua orang dapat menghirupnya dari tangan, kuku, atau secarik kertas.
Pada 1924, menurut penelitian yang diadakan di Saint Petersburg, sekitar 70 hingga 80 persen tunawisma menggunakan kokain.
Saking populernya, para kriminal punya delapan sinonim yang digunakan untuk menyebut kokain. Mulai dari sebutan marafet hingga white fairy.
Beberapa tokoh sejarah ternama juga akrab dengan kokain. Sebagai contoh, Alexander Vertinsky seniman dan penyanyi kabaret, yang pernah menjadi pecandu kokain sebelum perang. Ia menjelaskan mengenai kisahnya di Odessa pada akhir Perang Saudara Rusia (1918 – 1922).
Odessa adalah salah satu daerah pertahanan terakhir dari Gerakan Putih yang melawan Bolshevik. Suatu waktu, Vertinsky diminta bernyanyi di depan Jenderal Yakov Slashchov -- salah satu komandan Gerakan Putih paling terkenal.
Bahkan, Slashchov mendengar lagu sedih Vertinsky sambil menghirup kokain.
Tentu saja, kokain yang dibeli Slashchov berbeda dengan yang dibeli para tunawisma dari penyelundup. Hanya orang kaya yang mampu membeli kokain white fairy.
Yang lain hanya bisa menghirup bubuk yang dicampur dengan aspirin, kapur, dan pengganti murah lainnya yang membutuhkan dosis banyak untuk membuat mabuk.
Kembalinya Alkohol
Bolshevik melakukan berbagai cara untuk melawan kecanduan narkoba massal. Pada tahun 1924, pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa bandar narkoba akan dipenjara 10 tahun -- untuk membantu mengurangi perdagangan narkoba.
Meski begitu, sejarawan mengatakan bahwa langkah paling efektif untuk memerangi narkoba di Rusia adalah mengembalikan vodka ke masyarakat.
Lalu pada Agustus 1924, pemerintah secara resmi mengizinkan penjualan alkohol dan 10 tahun kemudian, konsumsi narkoba pun langsung menurun.
Bagi mereka yang ingin berkumpul, lebih mudah untuk membeli vodka legal dibanding mengambil risiko dengan membeli narkoba. Jadi, Rusia kembali ke situasi normal di mana alkoholisme adalah masalah yang lebih besar dibanding kecanduan narkoba.
Advertisement