Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pekan lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama sejumlah pejabat yang merepresentasikan pemerintah Indonesia, bertandang ke Myanmar.
Agendanya, bertemu dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan berbagai pejabat tinggi Burma guna membahas krisis kemanusiaan Rohingya terkini, yang dipicu akibat konflik bersenjata yang terjadi di Rakhine pada 25 Agustus lalu.
Advertisement
Baca Juga
Kunjungan tersebut merupakan sebuah prestasi tersendiri bagi Merah Putih, mengingat Indonesia menjadi satu-satunya negara yang diterima oleh Myanmar dengan tangan terbuka, khususnya dalam membahas isu Rohingya.
Hasilnya, pemerintah Myanmar mengizinkan Indonesia untuk mengirim bantuan kemanusiaan untuk etnis Rohingya dan masyarakat yang terdampak konflik, termasuk pula di antaranya 300.000 warga sipil yang menjadi pengungsi.
Tentunya hal itu bisa dikatakan sebagai sebuah pencapaian positif, meski pascapertemuan tersebut, Myanmar belum juga menyebut rencana untuk meredakan tensi tinggi di Rakhine.
Salah satu figur yang turut mendampingi Menlu Retno kala bertemu dengan Suu Kyi dan pejabat Burma adalah Duta Besar RI untuk Myanmar, Ito Sumardi.
Melalui sebuah wawancara dengan Liputan6.com (11/9/2017), Dubes Ito menyampaikan pengalaman lawatan ke Myanmar, riwayat upaya yang dilakukan Indonesia, dan pandangannya terkait isu Rohingya.
Berikut, 5 aspek yang dibicarakan oleh Dubes Ito Sumardi terkait krisis kemanusiaan Rohingya.
1. Penyebab Konflik Bersenjata 25 Agustus
Menurut sang duta besar, konflik bersenjata yang terjadi di Rakhine pada 25 Agustus lalu diawali oleh penyerangan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata solidaritas Rohingya terhadap pos polisi Myanmar.
"Kelompok bersenjata yang mumpuni itu, ARSA dan AIA melakukan penyerangan sistematis ke 30 pos polisi dan desa yang dihuni penduduk yang di antaranya juga merupakan minoritas."
ARSA merupakan singkatan dari Arakan Rohingya Salvation Army. Sementara AIA merupakan singakatan dari Arakan Independence Alliance.
"Dan ada kemungkinan pula bahwa pengendalian massa yang dilakukan oleh militer Myanmar sebagai bentuk respons, juga di luar kendali dan berdampak bagi warga sipil."
"Menurut saya sebagai Dubes RI di sana, hingga mungkin ada bukti yang menyatakan sebaliknya, dapat dikatakan konflik bersenjata itu mungkin disulut oleh kedua belah pihak, yang pada akhirnya mengakibatkan pengungsi itu."
Advertisement
2. Bicara Peran Indonesia
Duta Besar RI untuk Myanmar itu turut menjelaskan mengenai riwayat upaya Tanah Air dalam menangani krisis kemanusiaan Rohingya.
"Masalah yang terjadi di Rakhine bukan sesuatu yang baru. Sudah lama. Dan sejak masalah itu muncul, Indonesia telah memberikan bantuan yang nyata tanpa gembar-gembor, lewat soft-diplomacy," jelas Ito.
"Pendekatan yang digunakan oleh Indonesia adalah dengan memberikan bantuan yang inklusif, berfokus pada kemanusiaan tanpa memedulikan etnis dan agama, termasuk salah satunya Rohingya," tambahnya.
Ia melanjutkan, langkah terbaru Indonesia adalah dengan mengirimkan bantuan langsung ke komunitas di Rakhine yang membutuhkan, pada Desember 2016. Sementara pada 2017, beberapa bulan sebelum konflik 25 Agustus pecah di Rakhine, pemerintah telah mendukung pembentukan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM).
"Mereka (AKIM), bekerjasama dengan pemerintah juga telah menggalang dana bantuan senilai US$ 2 juta, yang akan disalurkan menjadi berbagai bentuk, seperti kebutuhan hidup mendasar, penunjang kesehatan, hingga pembangunan sekolah," jelasnya.
"Dan sebagai tindak lanjut dari kunjungan Ibu Menlu beberapa hari lalu, dalam waktu dekat Indonesia akan memberikan bantuan kemanusiaan yang akan langsung menyentuh langsung ke warga sipil terdampak," tambah sang mantan Kabareskrim Polri itu.
3. Sentimen Agama yang Mencuat
Sementara itu, ketika ditanya mengenai mencuatnya sentimen agama yang mencuat di Tanah Air terkait isu Rohingya, Ito menjelaskan bahwa hal tersebut muncul akibat simpang siurnya informasi dan pemberitaan di media.
"Kita harus sadar akan fakta bahwa di sana memang ada kelompok bersenjata (ARSA) yang juga menebar teror dan melakukan penyerangan kepada warga sipil, baik etnis/agama mayoritas dan minoritas, termasuk kepada Rohingya juga."
"Fakta juga, bahwa sejumlah besar yang jadi pengungsi adalah kelompok etnis minoritas yang kebanyakan beragama Muslim. Tapi ada fakta lain yang patut diingat, bahwa ada juga Rohingya yang beragama selain muslim, seperti Budha misalnya, yang ikut terdampak."
Dubes RI untuk Myanmar itu mengimbau agar setiap pihak mencermati segala informasi dan pemberitaan serta tidak mudah terbawa arus atau tersulut sentimen yang belum dapat dipastikan kebenarannya.
"Banyak informasi dan berita yang beredar (tentang isu Rohingya). Semua itu tergantung bagaimana orang di Indonesia menginterpretasi informasi dan berita tentang isu itu."
Â
Advertisement
4. Aung San Suu Kyi dan Militer Myanmar
Sejumlah komunitas internasional sempat menyebut, sikap bergeming pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, semakin memperkeruh krisis Rohingya.
Sementara itu, beberapa pihak lain turut menduga, Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Min Aung Hlain -lah yang justru memegang peranan kunci yang lebih besar terkait Rohingya ketimbang Suu Kyi.
Ketika dimintai pendapat terkait hal tersebut, Dubes Ito mengatakan, "faktanya seperti ini, Aung San Suu Kyi adalah pemimpin de facto Myanmar, jadi semua kebijakan ada di tangannya."
"Tapi ada fakta lain juga, bahwa militer punya kehadiran yang sangat terasa di politik hingga parlemen. Mereka mengisi satu per-empat kursi Kongres dan Senat, serta yang paling vital, mereka punya hak veto."
Menurut sang dubes, wewenang itu-lah, yang mungkin membuat anggota kongres dan senat perwakilan partai Suu Kyi (NLD) sulit untuk merumuskan kebijakan untuk Rohingya.
"Kalau di Indonesia kan, keputusan parlemen itu bergantung pada suara terbanyak. Kalo di Myanmar, keputusan parlemen bergantung pada suara terbanyak dan penggunaan hak veto."
"Militer punya hak veto. Kalau mereka gunakan itu di parlemen, kebijakan yang diusulkan oleh pemerintah Suu Kyi, bisa batal."
5. Fokus Indonesia Selanjutnya
Dubes Ito menekankan, perhatian utama Indonesia terkait isu Rohingya adalah bantuan kemanusiaan dan penyelesaian melalui diplomasi halus.
"Jika tidak menggunakan soft diplomacy, nanti akan repot urusannya. Jika kita gegabah bertindak atau menyatakan sesuatu hal yang menyakiti mereka, seperti misalnya memutuskan hubungan diplomatik dengan Myanmar, justru akan memicu munculnya 'rasa sakit hati nasional' di Myanmar."
"Kalau sudah seperti itu, justru akan menyulitkan kita untuk memberikan bantuan kepada etnis Rohingya ke depannya."
Terakhir, Ito juga menegaskan bahwa Myanmar merupakan negara yang berdaulat, dan sudah sepatutnya bagi Indonesia untuk mempercayakan penuh penyelesaian krisis Rohingya kepada pemerintah setempat.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement