Liputan6.com, Dhaka - Menteri Luar Negeri Bangladesh AH Mahmood Ali mengatakan bahwa "genosida" yang tengah dilancarkan di negara bagian Rakhine, Myanmar, telah memicu eksodus nyaris 300 ribu warga Rohingya ke negaranya.
"Komunitas internasional mengatakan bahwa ini adalah genosida. Kami pun menyebut bahwa ini adalah genosida," kata AH Mahmood Ali usai memberikan pengarahan pada sejumlah diplomat di Dhaka, seperti dikutip dari Al Jazeera pada Senin (11/9/2017).
Pada hari Minggu waktu setempat, Ali dilaporkan bertemu dengan sejumlah diplomat Barat dan negara-negara Arab serta pejabat PBB yang bertugas di Bangladesh demi mencari dukungan atas solusi politik dan bantuan kemanusiaan bagi warga Rohingya.
Advertisement
Di hadapan para diplomat, Ali mengatakan bahwa dalam dua pekan terakhir, nyaris 300 ribu warga Rohingya telah melarikan diri ke negaranya. Dan hingga kini, jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh diperkirakan mencapai lebih dari 700 ribu jiwa.
"Sekarang ini menjadi masalah nasional," kata Ali.
Sementara itu, dua diplomat yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa Menlu Ali menjelaskan, terdapatnya setidaknya 3.000 orang yang tewas dalam kekerasan terakhir di Rakhine. Jumlah tersebut lebih tinggi dibanding perkiraan PBB.
Sebelumnya, PBB mengatakan bahwa 294 ribu pengungsi Rohingya telah tiba di Bangladesh pasca-serangan kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) ke sejumlah pos keamanan Myanmar pada 25 Agustus memicu aksi balasan masif oleh militer.
Baca Juga
Adapun Ketua Komisi HAM Bangladesh Kazi Reazul Hoque mengatakan bahwa pemimpin Myanmar dapat diadili di sebuah pengadilan internasional atas kasus genosida.
"Bagaimana genosida diterapkan di Myanmar, bagaimana orang-orang terbunuh dalam serangan pembakaran...kami berpikir untuk mendesak persidangan melawan Myanmar di sebuah pengadilan internasional," kata Hoque saat berkunjung ke kamp pengungsi di dekat perbatasan pada Minggu kemarin.
"Kami akan mengambil keputusan setelah menilai langkah-langkah apa yang akan diambil. Dan pada saat bersamaan, kami mendesak masyarakat internasional untuk memberikan bantuan," imbuhnya.
Bantuan yang Belum Memadai
Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi serta pihak militer negara itu telah dihujani kecaman internasional atas perlakuan terhadap warga Rohingya.
Warga minoritas muslim yang tinggal di Rakhine tersebut tidak diakui sebagai bagian dari warga negara Myanmar, meski telah bermukim di sana selama beberapa generasi. Alhasil, mereka berstatus "stateless" atau tidak tercatat sebagai warga negara mana pun.
Oleh etnis mayoritas di Myanmar, Rohingya dianggap sebagai orang Bengali.
Menlu Bangladesh AH Mahmood Ali menuding Myanmar menjalankan kampanye "propaganda jahat" dengan menyebut Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan kelompok militan di Rakhine sebagai teroris Bengali.
"Haruskah semua orang dibunuh? Haruskah semua desa dibakar? Ini tidak dapat diterima," tegas Ali seraya menambahkan bahwa pihaknya mencari solusi damai bukannya 'perang' melawan Myanmar.
Ia juga mengungkapkan, "Kami tidak menciptakan masalah. Kami telah sampaikan bahwa kami akan membantu mereka".
Pernyataan tegas Ali dinilai penting, mengingat akan berdampak pada upaya pemberian bantuan kemanusiaan yang lebih banyak lagi. Pasalnya, berbagai laporan menyebut bahwa bantuan di kamp pengungsian di Cox's Bazar tidak memadai.
Di lain sisi, Bangladesh juga menghadapi kritikan karena menghalau para pengungsi Rohingya di perbatasan.
Pada awal tahun ini, muncul sebuah gagasan untuk memindahkan puluhan ribu pengungsi Rohingya ke sebuah pulau terpencil yang rawan banjir. Rencana tersebut menuai kecaman.
Sebuah komisi yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, mengatakan bahwa Myanmar harus segera memberikan kewarganegaraan dan mencabut pembatasan pergerakan bagi warga Rohingya jika mereka ingin membawa perdamaian ke Rakhine. Dan Menlu Ali meminta masyarakat internasional untuk mendesak pemerintah Myanmar agar segera melaksanakan rekomendasi laporan komisi tersebut secara keseluruhan.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: