Para Pemimpin Dunia Kumpul di New York, Ini 4 Isu yang Dibahas?

Pekan ini, para pemimpin dunia akan berkumpul di New York, AS, dalam rangka menghadiri Sidang Majelis Umum PBB.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 18 Sep 2017, 11:33 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2017, 11:33 WIB
Markas besar PBB di New York, Amerika Serikat
Markas besar PBB di New York, Amerika Serikat (AP)

Liputan6.com, New York - Sidang Majelis Umum PBB akan digelar pada 18-23 September di New York, Amerika Serikat. Sejumlah kepala negara, termasuk Donald Trump, dilaporkan akan menyampaikan pidato. Sementara itu, rangkaian pertemuan tingkat tinggi juga akan berlangsung.

Pidato pemimpin dunia dalam sidang Majelis Umum PBB akan menjadi fokus utama. Terlebih, jika disampaikan oleh sosok berpengaruh sekaliber Trump.

Apa yang Trump kemukakan, pihak mana yang akan ia singgung, tolong dan sebagainya, serta bagaimana reaksi pemimpin dunia lainnya atas pidato Presiden AS tersebut merupakan topik yang cenderung mendominasi di Markas Besar PBB.

Kali ini merupakan kunjungan pertama Trump ke Markas Besar PBB sebagai presiden. Pada Desember 2016, Trump sempat menunjukkan sentimen negatif terhadap PBB.

"Kepada PBB, segalanya akan berbeda setelah 20 Januari," kicau Trump pada 24 Desember 2017. Tanggal 20 Januari merujuk pada hari pelantikannya sebagai Presiden AS.

Lalu pada 27 Desember 2016 ia kembali berkicau, "PBB memiliki potensi yang begitu besar tapi saat ini hanyalah sebuah klub bagi orang untuk berkumpul, bicara, dan bersenang-senang. Sangat menyedihkan!".

Suami Melania tersebut juga pernah mengusulkan pengurangan sumbangan sukarela AS secara drastis ke PBB. Negeri Paman Sam sejauh ini merupakan pendonor terbesar organisasi internasional itu.

Tak hanya itu, dalam sejumlah isu, Trump juga mengambil sikap berseberangan dengan mayoritas negara anggota PBB. Salah satunya keluar dari Kesepakatan Iklim Paris.

Seperti dikutip dari The New York Times, Senin (18/9/2017), berikut empat isu yang diprediksi akan menjadi fokus dalam Sidang Majelis PBB tahun 2017.

1. Program Nuklir dan Rudal Korea Utara

Saat ini, pembangkangan Korea Utara terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB yang melarang uji coba rudal dan nuklir bak sebuah rutinitas. Meski dijatuhi berbagai sanksi, Korut tetap melanjutkan ambisinya menjadi kekuatan nuklir dunia.

Terbaru, pada Jumat 15 September, Pyongyang kembali menembakkan misil yang melintasi langit Jepang dan jatuh di Samudra Pasifik.

Menurut Kepala Staf Gabungan Korea Selatan, rudal Korut menempuh jarak sekitar 3.700 kilometer dan mencapai ketinggian maksimum 770 kilometer. Peluru kendali yang ditembakkan diketahui jenis rudal jarak menengah, Hwasong-12.

Uji coba rudal Korut tersebut terjadi hanya selang empat hari setelah sanksi terakhir DK PBB dan persiapan Sidang Majelis Umum berlangsung.

Pertanyaan besar pun menggelitik, apa yang akan dilakukan pemimpin Korut Kim Jong-un di saat para pemimpin dunia berkumpul di New York?

2. Krisis Rohingya

Sekretaris Jenderal PBB dan pejabat tinggi badan HAM menggambarkan pembunuhan dan penganiayaan yang terjadi terhadap warga Rohingya adalah pembersihan etnis. Nyaris setengah juta pengungsi Rohingya saat ini berada di Bangladesh dan jumlah mereka diperkirakan akan terus bertambah.

Terbaru, pada Jumat 15 September, tiga warga Rohingya tewas saat berebut bantuan berupa pakaian di dekat kamp pengungsian Rohingya di Kutupalong, Bangladesh.

Kematian tersebut dianggap merupakan peringatan nyata akan keputusasaan warga Rohingya yang saat ini mengungsi di kamp-kamp dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh. Diperkirakan 409 ribu pengungsi telah tiba di kawasan tersebut sejak 25 Agustus 2017. Angka ini dua kali lipat dari jumlah pengungsi Rohingya yang sudah ada sebelumnya.

Pemimpin de facto yang juga State Counsellor Myanmar, Aung San Suu Kyi, memutuskan tidak akan menghadiri Sidang Majelis Umum PBB. Menurut Juru Bicara Pemerintah Myanmar Zaw Htay, Suu Kyi memilih absen demi mengatasi krisis Rohingya.

Suu Kyi dijadwalkan akan menyampaikan pidato pertamanya terkait krisis di Rakhine pada Selasa, 19 September. Htay menyebut, dalam pidatonya, Suu Kyi akan bicara mengenai "rekonsiliasi nasional dan perdamaian".

China, salah satu anggota DK PBB yang juga sekutu Myanmar, sejauh ini belum mengeluarkan pernyataan untuk menyerukan diakhirinya operasi militer di Rakhine. Merespons krisis Rohingya, apa yang akan disampaikan oleh para pemimpin dunia? Akankah DK PBB tetap menunjukkan tanggapan ringan di tengah tekanan dunia untuk bertindak cepat?

3. Nuklir Iran

Presiden Donald Trump dan Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley selama ini bersikeras menyatakan bahwa Iran adalah sponsor terorisme. Keduanya mengusulkan agar AS meninggalkan kesepakatan nuklir tahun 2015 yang dinegosiasikan oleh pemerintahan Barack Obama dan lima negara lainnya demi membatasi aktivitas nuklir Iran.

Trump bahkan menggambarkan kesepakatan nuklir Iran sebagai salah satu perjanjian terburuk yang pernah dinegosiasikan. Dalam ajang Sidang Majelis Umum PBB, akankah Trump secara gamblang menyatakan penolakannya?

Sejumlah diplomat Barat telah mengungkapkan kekhawatiran mereka terkait dengan sikap permusuhan Trump terhadap kesepakatan nuklir tersebut. Menurut mereka, itu dapat menciptakan ketidakpastian yang mengkhawatirkan di tengah tantangan dunia menghadapi program nuklir dan rudal Korut.

Sebuah pertemuan yang menghadirkan pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan nuklir, di antaranya Inggris, China, Prancis, Jerman, Rusia, dan AS serta tentu saja Iran akan digelar di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB pada Rabu waktu setempat.

Namun, tidak ada harapan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif. Sama halnya dengan tidak ada harapan bagi Trump untuk bertatap muka dengan Presiden Hassan Rouhani.

4. Pemanasan Global dan Kesepakatan Iklim Paris

Sidang Majelis Umum PBB berlangsung ditengah bencana kekeringan, banjir, dan badai. Sejumlah wilayah di AS masih dalam masa pemulihan akibat terjangan badai Harvey dan Irma. Menarik untuk menyimak tentang apa yang akan disampaikan oleh para pemimpin dunia terkait persoalan lingkungan?

Trump sendiri telah mengulang skeptisisme perubahan iklimnya pasca-berkunjung ke Florida. Ia katakan, "Kami pernah mengalami badai yang lebih besar dari ini".

Namun teranyar, Menlu AS Rex Tillerson menekankan bahwa pihaknya akan tetap berada dalam Kesepakatan Iklim Paris, hanya saja dengan syarat-syarat tertentu.

Dalam program CBS "Face the Nation", Tillerson mengatakan bahwa Presiden Trump "terbuka untuk menemukan kondisi di mana kita dapat tetap terlibat dengan orang lain mengenai apa yang kita semua sepakati merupakan masalah yang menantang".

Lebih lanjut ia menambahkan, "Kami bersedia bekerja sama dengan mitra-mitra dalam Kesepakatan Iklim Paris, jika kita dapat merancang seperangkat ketentuan yang adil dan seimbang bagi rakyat Amerika dan menghargai ekonomi kami".

Namun, Tillerson mengatakan masalahnya masih terkait perbedaan komitmen antara AS dan China.

"Jika kita lihat target-target itu dalam kaitannya dengan Kesepakatan Iklim Paris, tampak benar-benar tidak seimbang untuk AS dan China, dua ekonomi terbesar di dunia," katanya.

Sebelumnya, pada Sabtu 16 September, Gedung Putih menegaskan, Trump tidak akan mengubah pikiran untuk menarik AS dari Kesepakatan Iklim Paris kecuali ada "ketentuan-ketentuan yang pro-Amerika".

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya