Dipicu Veto AS soal Yerusalem, PBB Gelar Sidang Darurat

Sidang darurat Majelis Umum PBB dijadwalkan akan dilakukan pada Kamis, 21 Desember 2017.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 20 Des 2017, 09:47 WIB
Diterbitkan 20 Des 2017, 09:47 WIB
Yerusalem Ibu Kota Israel
Pria Palestina menyapu jalan di Hebron di Tepi Barat yang diduduki Israel (7/12). Otoritas Palestina menyerukan demonstrasi di kota Ramallah di Tepi Barat menyusul keputusan Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. (AFP Photo/Hazem Bader)

Liputan6.com, New York - Terkait dengan isu Yerusalem, Majelis Umum PBB akan menggelar sidang darurat pada hari Kamis, 21 Desember 2017. Pertemuan luar biasa ini diadakan menyusul permintaan dari negara-negara Arab dan muslim.

Seperti dikutip dari Russia Today pada Rabu (19/12/2017), Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour menjelaskan, dalam kesempatan itu, Majelis Umum PBB akan melakukan pemungutan suara terkait rancangan resolusi yang menolak pengakuan Donald Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Rancangan resolusi yang sama sebelumnya telah diajukan ke Dewan Keamanan PBB. Namun, gagal karena Amerika Serikat menggunakan hak vetonya.

Negeri Paman Sam bersama dengan Rusia, China, Inggris dan Prancis merupakan negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Ini berarti, resolusi tidak dapat lolos jika salah satu negara menggunakan hak vetonya.

Sementara, empat negara anggota tetap DK PBB dan 10 negara anggota tidak tetap DK PBB mendukung resolusi tersebut.

Voting yang akan digelar dalam sidang darurat ini sesuai dengan Resolusi PBB 377 yang dikenal sebagai prinsip "Uniting for Peace". Di dalam ketentuan itu disebutkan bahwa Majelis Umum PBB berhak bersidang demi menyelesaikan perkara yang gagal ditangani di DK PBB.

Sepanjang sejarahnya, sidang darurat hanya digelar 10 kali dan terakhir kali terjadi pada tahun 2009. Saat itu Majelis Umum PBB juga bersidang terkait konflik Palestina-Israel.

Resolusi yang kelak dihasilkan Majelis Umum PBB tidak mengikat secara hukum, berbeda dengan yang disahkan oleh DK PBB. Namun, bagaimanapun, resolusi Majelis Umum PBB dianggap memiliki "nilai politik".

Presiden Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Rabu, 6 Desember 2017. Kebijakannya tersebut memicu demonstrasi yang diwarnai kekerasan di berbagai belahan dunia. Adapun sekutu AS, Inggris dan Prancis, menentang kebijakan Trump.

AS Veto Rancangan Resolusi DK PBB

Yerusalem Ibu Kota Israel
Warga Palestina saat bentrok dengan petugas Israel di kota Bethlehem, Tepi Barat, (7/12). Donald Trump juga menyerukan agar kedubes AS di Tel Aviv segera dipindah ke Yerusalem. (AP Photo/Nasser Shiyoukhi)

Donald Trump bergeming dengan keputusannya untuk mengakui Yerusalem ibu kota Israel. AS bahkan menggunakan hak veto untuk menggagalkan rancangan resolusi DK PBB yang menolak kebijakan Trump.

Dalam rancangan resolusi itu disebutkan bahwa setiap keputusan mengenai status Yerusalem "tidak memiliki efek hukum, tidak sah dan harus dibatalkan".

Nikki Haley, Duta Besar AS untuk PBB, menggambarkan rancangan resolusi tersebut sebagai "penghinaan". Haley memperingatkan bahwa langkah itu tidak akan terlupakan.

"Ini satu lagi contoh yang ditunjukkan PBB yang lebih banyak ruginya ketimbang baiknya dalam menangani konflik Palestina-Israel," tutur Haley.

"Hari ini, karena tindakan sederhana untuk menentukan di mana kami harus menempatkan kedutaan besar kami, AS dipaksa untuk mempertahankan kedaulatannya. Catatan akan mencerminkan bahwa kami melakukannya dengan bangga," imbuh diplomat AS berusia 45 tahun tersebut.

Status Yerusalem selama ini dianggap sebagai jantung konflik Palestina-Israel. Pada 1967, Israel menduduki bagian timur kota, wilayah yang sebelumnya dikuasai Yordania. Sejak saat itu, mereka mengklaim seluruh Yerusalem adalah ibu kota negaranya yang tak bisa dibagi-bagi.

Sementara, Palestina mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Statusnya kelak akan dibahas dalam tahap akhir perundingan damai antardua negara.

Kedaulatan Israel atas Yerusalem tidak pernah diakui secara internasional dan seluruh negara hingga saat ini mempertahankan kedutaan besar mereka di Tel Aviv. Namun, menyusul pengakuan Trump atas Yerusalem, Presiden ke-45 AS itu telah memerintahkan Kementerian Luar Negeri AS untuk memulai proses pemindahan misi diplomatik ke Yerusalem.

Merespons sikap AS yang memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengucapkan terima kasih pada Dubes Haley. Hal tersebut diungkapkannya via Twitter.

"Terima kasih, Dubes Haley. Pada perayaan Hanukkah, Anda bicara seperti seorang Makabi. Anda menyalakan lilin kebenaran. Anda menghilangkan kegelapan. Satu mengalahkan banyak orang. Kebenaran mengalahkan kebohongan. Terima kasih, Presiden Trump. Terima kasih, Nikki Haley," kicau Netanyahu di akun Twitter-nya, @netanyahu pada 19 Desember.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya