Ahli: Proyek Nuklir Donald Trump Mahal, tapi Tak Ada Gunanya

Pakar dari firma analis menilai, rencana pemerintahan Presiden AS Donald Trump untuk meremajakan persenjataan nuklir milik mereka adalah proyek tak berguna dan berbahaya.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 17 Feb 2018, 09:12 WIB
Diterbitkan 17 Feb 2018, 09:12 WIB
Uji coba rudal AS, Minuteman III (AP)
Uji coba rudal Amerika Serikat, Minuteman III, yang mampu membawa hulu ledak nuklir (AP)

Liputan6.com, Washington DC - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump berencana memperbaharui dan meremajakan persenjataan nuklir milik mereka dalam waktu dekat. Hal itu tercantum dalam US Nuclear Posture Review Kementerian Pertahanan AS yang dirilis pada Februari 2018.

Proyek itu melibatkan peremajaan terhadap 460 model bom nuklir B61-12 -- 310 buah ada di dalam AS dan 150 sisanya tersebar di Eropa -- dengan total biaya yang mencapai US$ 10 miliar serta memicu bertambahnya anggaran militer tahunan Amerika Serikat.

Namun, menurut lapiran firma think-tank pemerhati isu ancaman persenjataan nuklir Nuclear Threat Initiative (NTI), rencana itu adalah sebuah proyek yang tiada berguna untuk penggentarjeraan dan justru memicu masalah keamanan lainnya. Demikian seperti dikutip dari The Guardian (16/2/2018).

Laporan NTI mengambil sampel prediksi dengan becermin pada situasi yang pernah terjadi pada pangkalan militer dan gudang senjata nuklir B61-12 AS di Incirlik, Turki, sebagai latar belakang penjelasan.

NTI memaparkan bagaimana pangkalan dan gudang nuklir Incirlik -- yang hanya berjarak sekitar 80 km dari perbatasan Suriah -- sempat membuat pemerintah dan militer AS ketar-ketir pada kala ISIS masih berjaya di sekitar kawasan, karena khawatir diserbu oleh Daesh yang masih marak beroperasi kala itu.

Bahkan, pemerintah AS memerintahkan untuk mengevakuasi personel militer beserta keluarganya keluar dari Incirlik ketika ISIS semakin mengancam kawasan pada Maret 2016.

Sementara itu, saat upaya kudeta Turki pada 2016, Incirlik sempat menjadi salah satu lokasi yang hendak direbut oleh para aktor kup -- meski pada akhirnya dapat dicegah.

Becermin dari hal masa lalu, serta dibenturkan dengan rencana AS yang saat ini hendak meremajakan persenjataan nuklirnya, maka NTI menulis, "Lihat seberapa cepat Amerika Serikat mengubah asumsi-nya terhadap situasi dan status persenjataan nuklir mereka di luar negeri."

Laporan NTI juga menulis, negara lain yang diketahui menampung bom nuklir AS; seperti Belanda, Jerman, dan Belgia, juga tak ayal akan mengalami ancaman gangguan keamanan, jika Washington nyata berniat untuk melakukan proyek peremajaan tersebut.

"Harus diasumsikan jika mereka akan menjadi target terorisme dan pencurian," tulis NTI mengomentari proyek nuklir Amerika Serikat.

Tiada Guna

Peluncuran rudal Tomahawk dari USS Barry saat intervensi militer Amerika Serikat terhadap Libya, 2011 (Wikimedia Commons)
Peluncuran rudal Tomahawk dari USS Barry saat intervensi militer Amerika Serikat terhadap Libya, 2011. Tomahawk menjadi salah satu opsi persenjataan AS yang mampu membawa hulu ledak nuklir (Wikimedia Commons)

Bom nuklir yang hendak diremajakan AS itu, terkhusus yang berada di Eropa, juga sebagian besar merupakan peninggalan masa Perang Dingin. Para kritikus mengatakan bahwa mereka tiada berguna untuk tujuan militer apa pun, terlebih untuk menghambat ancaman Rusia yang sama-sama memiliki senjata nuklir.

Selain itu, senjata nuklir itu juga tak dapat digunakan begitu saja secara leluasa oleh Amerika Serikat, karena membutuhkan persetujuan dari negara anggota NATO.

"Sulit untuk membayangkan keadaan di mana seorang Presiden AS akan memulai penggunaan nuklir untuk pertama kalinya dalam lebih dari 70 tahun dengan sebuah NATO yang diterbangkan oleh pilot non-AS yang mengirimkan bom B61 AS," kata Laporan NTI memaparkan kerumitan birokrasi dan diplomasi yang mungkin terjadi dalam pengoperasian bom nuklir B61-12 di Eropa.

Sejak perang dingin, B61 telah memainkan peran simbolis, sebagai jaminan bagi beberapa anggota NATO terhadap komitmen AS untuk membela Eropa. Mereka juga dianggap memiliki daya tawar-menawar potensial melawan persenjataan nuklir Rusia yang lebih besar, dengan hampir 2.000 senjata nuklir taktis.

Namun, laporan NTI berpendapat bahwa semua persenjataan itu, baik milik AS dan Rusia, memerlukan kebertanggungjawaban yang serius. Karena, jika terpengaruh ancaman terorisme atau kecelakaan, hal itu akan memicu permulaan konflik terbuka antara AS + NATO dengan Rusia.

"Senjata nuklir AS di Eropa meningkatkan risiko kecelakaan, kesalahan, atau bencana terorisme. Dengan adanya risiko tambahan ini, sudah saatnya melakukan peninjauan kembali apakah senjata semacam itu dibutuhkan untuk pencegahan militer dan kepastian politik," kata Menteri Energi Amerika Serikat pada masa kepresidenan Barack Obama, Ernest Moniz dan mantan Senator AS dari Partai Demokrat, Sam Nunn, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan NTI, dalam pengantar laporan NTI.

Firma itu juga menilai bahwa langkah AS untuk meremajakan persenjataan nuklirnya pada masa pemerintahan Presiden Trump adalah sebuah kemunduran atas proyek positif yang dilakukan oleh masa kepresidenan Barack Obama -- yang berupaya menekan, menghentikan, bahkan hendak mengurangi stok nuklir Negeri Paman Sam.

Namun, pada akhirnya, rencana Obama harus kehilangan dukungan setelah hubungan AS - Rusia memburuk dan meningkatnya ancaman seputar Korea Utara.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya