Kisah Batu Kuno Penyelamat Nyawa Manusia di Jepang

Gempa bumi menjadi keniscayaan bagi Jepang yang terletak di Cincin Api Pasifik. Nenek moyang memberikan peringatan.

oleh Tanti YulianingsihElin Yunita Kristanti diperbarui 02 Mar 2018, 10:03 WIB
Diterbitkan 02 Mar 2018, 10:03 WIB
Batu tsunami bukan sekedar peninggalan nenek moyang bagi warga Jepang, tapi juga sebuah peringatan (T.KISHIMOTO, via Wikimedia Commons)
Batu tsunami bukan sekedar peninggalan nenek moyang bagi warga Jepang, tapi juga sebuah peringatan (T.KISHIMOTO, via Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Tokyo - Gempa bumi menjadi keniscayaan bagi Jepang, negeri yang terletak di Cincin Api Pasifik. Tak jarang, lindu berskala besar diikuti terjangan gelombang gergasi alias tsunami.

Tak ada yang bisa memprediksi, kapan gempa akan mengguncang. Namun, warga Negeri Sakura punya cara untuk meminimalisasi dampak terjangan gelombang raksasa. Salah satunya, dengan mengindahkan saran nenek moyang yang terukir dalam 'batu tsunami'.

Kata tsunami berasal dari Bahasa Jepang. Tsu berarti pelabuhan, sementara nami adalah gelombang, atau secara harfiah gabungan kata tersebut memiliki makna ombak besar yang menerjang pelabuhan.

Seperti dikutip dari situs The Vintage News, Kamis (1/3/201), ada ratusan batu tsunami yang didirikan di sepanjang pesisir Jepang, selama berbagai periode. Konon, kebanyakan berasal dari 1896, tahun ketika gelombang raksasa menerjang dan menewaskan 22 ribu orang. Namun, ada juga yang jauh lebih tua.

Salah satunya adalah Prasasti Jogan, yang berisi peringatan tsunami. Tablet batu tersebut diyakini berasal dari tahun 869 Masehi. Sementara, insiden tersebut dikenal sebagai Jogan Jishin atau 'Gempa Sanriku 869' menerjang wilayah Honshu utara, memicu kerusakan dalam skala massif.

Sebuah catatan tertulis, dan juga batu tsunami, menjadi pengingat terjadinya malapetaka itu. Memastikan kisahnya tak hilang ditelan zaman.

Selama berabad-abad kemudian, warga Jepang melanjutkan tradisi menempatkan batu tsunami di wilayah pesisir. Pesan-pesan yang terkandung tak seragam. Misalnya yang ada di Kesennuma, Prefektur Miyagi, Honshu.

"Selalu bersiap menghadapi tsunami tak terduga. Utamakan nyawa daripada kepunyaan dan barang berharga milik Anda," demikian yang tertera dalam prasasti itu.

Inspirasi gempa Jepang dalam Inamura no Hi (www.gov-online.go.jp)

Ada juga batu tsunami yang tak memuat anjuran semacam itu. Didirikan sebagai tugu peringatan lengkap dengan angka yang mewakili jumlah korban tewas, atau penanda kuburan massal.

Seiring waktu, ketika ingatan orang mulai kabur, batu tsunami diangap sekedar relik masa lalu. Hanya butuh sekitar tiga generasi sebelum memori bencana mulai memudar.

"Seiring waktu berlalu, orang-orang akan lupa, hingga akhirnya tsunami lain menerjang dan menewaskan 10 ribu orang bahkan lebih," kata ahli Fumio Yamashita.

Untungnya, tak semua orang demikian. Banyak warga memperhatikan dan menganggap penting peringatan nenek moyang mereka, dan karena itu mampu menyelamatkan diri saat terjadi tsunami. Misalnya dalam kasus Aneyoshi, sebuah desa kecil di Prefektur Iwate, Honshu, Jepang.

 

 

Saksikan juga video berikut ini:

 

Selamat Berkat Petuah Nenek Moyang

Ilustrasi tsunami
Ilustrasi (iStock)

Di Aneyoshi, batu tsunami didirikan setelah desa tersebut hancur lebur akibat diterjang dua tsunami.

Tsunami pertama menerjang desa pada 1896, hanya menyisakan dua orang yang selamat. Sementara, hanya empat manusia yang lolos dari maut tatkala gelombang raksasa kedua datang pada 1933.

Kata-kata ini yang tertera dalam prasasti Aneyosi. "Tempat tinggal yang tinggi berarti kedamaian dan harmoni keturunan kita. Ingat dahsyatnya bencana akibat tsunami. Jangan membangun rumah di bawah titik ini."

Batu tersebut unik karena menjadi satu-satunya yang secara khusus memberi informasi tentang bagaimana cara membangun rumah yang aman bagi warga.

Warga desa Aneyoshi, yang menghormati nenek moyangnya, dan mengindahkan perintah tersebut.

Pasca-tsunami tahun 1933, penduduk desa memindahkan rumah mereka secara permanen ke atas bukit. Batu itu dianggap sebagai peringatan sekaligus penanda. 

Berkat itu, keturunan penduduk desa tersebut terselamatkan saat tsunami menerjang pada 1960. Saat gempa 9 SR dan gelombang raksasa menerjang pada tahun 2011, bah berhenti sekitar 90 meter (295,28 kaki) di bawah batu peringatan itu.

Wilayah Sukuiso yang terdampak tsunami Tohoku di Jepang pada 2011. (Sumber Library of Congress)

Meskipun batu-batu tsunami tersebut tampaknya hanya peninggalan masa lalu, mereka yang memperhatikan peringatan nenek moyangnya, berpotensi seamat dari bencana. 

"Batu tsunami adalah peringatan antar-generasi, cara orang pada masa lalu memperingatkan agar keturunan mereka tak mengalami penderitaan yang sama," kata Itoko Kitahara, ahli bencana alam di Ritsumeikan University, Kyoto kepada New York Times.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya