Liputan6.com, Washington DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah memerintahkan pengusiran terhadap 60 diplomat Rusia yang berdinas di AS.
Ke-60 diplomat itu terdiri dari 48 orang yang berdinas di Kedutaan Rusia di Washington DC dan 12 orang yang berdinas di Markas PBB di New York.
Pengusiran itu merupakan bentuk respons atas kasus peracunan mantan mata-mata Rusia, Sergei Skripal dan anak perempuannya, Yulia Skripal oleh racun saraf.
Advertisement
Washington menuduh Moskow sebagai dalang di balik peracunan itu. Di sisi lain, Negeri Beruang Merah berkali-kali membantah tudingan tersebut.
Baca Juga
Tak sekadar mengusir, AS juga berencana untuk menutup Konsulat Rusia di Seattle, seperti dikutip dari BBC (26/3/2018).
Dalam sebuah pernyataan tertulis, Kementerian Luar Negeri AS menjelaskan, "Pada 4 Maret, Rusia menggunakan racun saraf taraf militer untuk melakukan percobaan pembunuhan terhadap warga negara Inggris dan anak perempuannya di Salisbury."
"Serangan terhadap sekutu kami, Inggris, mengakibatkan tiga orang terluka, termasuk seorang polisi, dan banyaknya nyawa yang terancam. Tindakan itu juga merupakan pelanggaran terhadap Chemical Weapons Convention dan hukum internasional," lanjut Kemlu AS.
Uni Eropa Mengikuti Jejak AS
Langkah Washington juga diikuti oleh berbagai negara anggota Uni Eropa, meliputi Jerman, Prancis, dan Ukraina.
Presiden Ukraina Petro Poroshenko mengatakan, keputusan untuk mengusir 13 diplomat Rusia dari Kiev merupakan 'sebuah bentuk solidaritas terhadap para sekutu kami, Inggris dan negara-negara trans-atlantik, serta berkoordinasi dengan Uni Eropa'.
Pekan lalu, para pemimpin Uni Eropa turut menuding bahwa Rusia bertanggung jawab atas kasus peracunan itu.
Sementara itu, pada Senin 26 Maret pagi, Latvia, Lithuania, Estonia, dan Polandia, turut memanggil Duta Besar Rusia yang berdinas di negara masing-masing -- sebuah langkah yang mungkin merupakan efek domino dari langkah AS dan beberapa anggota Uni Eropa.
Inggris Jadi yang Pertama
Kabar pengusiran itu hanya berjarak hampir dua pekan usai Inggris mengumumkan langkah serupa.
Rencana pengusiran itu diutarakan oleh Perdana Menteri Theresa May di Parlemen Inggris, dalam sebuah sesi yang digelar khusus untuk merespons kasus tersebut, pada Rabu 14 Maret 2018 waktu setempat, seperti dikutip dari Business Insider 14 Maret 2018.
May juga menuduh seluruh 23 diplomat tersebut sebagai 'agen inteligen yang tak terdaftar yang berdinas di Inggris'.
Sang PM juga mengatakan bahwa pemerintahannya akan membekukan aset pejabat Rusia yang 'mengancam Inggris', sambil mengatakan, "Tak ada tempat bagi uang para pejabat Rusia di Inggris."
Tak hanya itu, sebagai bentuk protes atas kasus peracunan tersebut, PM May mengatakan bahwa Keluarga Kerajaan Inggris tak akan menghadiri Piala Dunia 2018 di Rusia.
Advertisement