Liputan6.com, Moskow - Ajang Piala Dunia 2018 berakhir sudah. Dari 32 negara yang mengikuti pertandingan sepak bola paling bergengsi ini, Prancis keluar sebagai juara. Dalam babak final yang dilangsungkan pada Minggu malam 15 Juli 2018, di Luzhniki Stadium, timnas asuhan Didier Deschamps itu sukses membabat Kroasia dengan skor 4-2.
Namun di tengah jalannya laga malam itu, tepatnya menit ke-52 babak kedua, wasit Nestor Pitana terpaksa meniup peluit guna menghentikan pertandingan untuk sementara, sebab tiga wanita dan satu pria 'menggeruduk' lapangan dan mengganggu jalannya pertandingan.
Dalam tayangan langsung, mereka terlihat mengenakan seragam polisi Rusia -- celana panjang hitam, kemeja putih lengan panjang, sepatu pantofel, dasi hitam -- berlari dari pinggir lapangan menuju tengah arena dan menginvasi laga. Entah dari mana datangnya, tapi aksi nekat mereka terbilang sukses mengacaukan fokus para pemain dan wasit.
Advertisement
Di satu sisi, petugas keamanan yang berjaga di sekitar lapangan dengan sigap bertindak: menyeret keempatnya ke luar arena.
Bahkan salah satu pemain Kroasia, Dejan Lovren, sempat berusaha menggiring mereka keluar dari lapangan. Sementara satu wanita, sempat menyapa dan melakukan tos dengan striker Prancis Kylian Mbappe.
Setelah diselidiki, ternyata para pelaku merupakan anggota dari Pussy Riot --grup band asal Rusia beraliran punk rock dan kerap mengampanyekan feminisme dalam sejumlah aksi panggungnya. Demikian seperti dikutip dari The New Yorker, Senin (16/7/2018).
Situs berita Rusia, Mediazona melaporkan bahwa keempat orang itu dibawa ke kantor polisi terdekat setelahnya. Pasca-insiden, Pussy Riot merilis pernyataan terbuka lewat akun Twitter dan Facebook mereka, mengklaim bertanggung jawab atas kejadian penyusupan di final Piala Dunia 2018.
NEWS FLASH! Just a few minutes ago four Pussy Riot members performed in the FIFA World Cup final match — ”Policeman enters the Game”https://t.co/3jUi5rC8hh pic.twitter.com/W8Up9TTKMA
— 𝖕𝖚𝖘𝖘𝖞 𝖗𝖎𝖔𝖙 (@pussyrrriot) July 15, 2018
Jadi, tujuan mereka melakukan perecokan tersebut adalah untuk memprotes pemerintahan presiden mereka, Vladimir Putin, di samping mencari sensasi dan keisengan semata. Sebelumnya grup musik yang bermarkas di Moskow ini vokal menyuarakan isu-isu sosial, seperti LGBT, anti-Putin, kediktaktorannya, dan kondisi politik di Rusia.
Berikut cuplikan teks pernyataan Pussy Riot yang dikutip dari laman Facebook:
"Hari ini adalah 11 tahun sejak kematian penyair besar Rusia, Dmitriy Prigov. Prigov menciptakan citra seorang polisi, pembawa kebangsaan surgawi, dalam budaya Rusia.
"Polisi surgawi, menurut Prigov, berbicara secara dua arah dengan Tuhan. Polisi duniawi siap membubarkan unjuk rasa. Polisi surgawi dengan lembut menyentuh bunga di ladang dan menikmati kemenangan tim sepak bola Rusia, sementara polisi duniawi merasa tidak peduli dengan aksi mogok makan Oleg Sentsov. Polisi surgawi ada sebagai contoh kebangsaan, polisi duniawi melukai semua orang.
"Polisi surgawi melindungi tidur seorang bayi, polisi duniawi menganiaya tahanan politik, memenjarakan orang hanya karena "repost" (posting ulang) dan "like" (suka).
"Polisi surgawi menjadi penyelenggara Piala Dunia yang indah ini, polisi duniawi takut akan perayaan itu. Polisi surgawi dengan hati-hati mengawasi untuk mematuhi aturan permainan, polisi duniawi memasuki permainan tidak peduli tentang aturannya.
"Piala Dunia telah mengingatkan kita terhadap polisi surgawi di masa depan Rusia, tetapi polisi duniawi, memasuki pertandingan tanpa aturan itu menghancurkan dunia kita.
Ketika polisi duniawi memasuki pertandingan tersebut, kami menuntut:
1. Biarkan semua tahanan politik bebas.
2. Tidak memenjarakan orang yang mengklik "suka".
3. Hentikan penangkapan ilegal terhadap demonstran.
4. Biarkan persaingan politik di negara ini.
5. Tidak membuat tuduhan kriminal dan tidak membuat orang di penjara tanpa alasan.
6. Kembalikan polisi duniawi ke polisi surgawi."
Di era pemerintahan Putin, belasan orang berada di balik jeruji karena dituduh melakukan kejahatan politik hanya karena mengklik tombol "suka" (like) dan "berbagi" (share).
Sementara itu, mereka juga merujuk kasus Dmitry Aleksandrovich Prigov, penyair dan seniman Rusia kelahiran Moskow 5 November 1940 dan meninggal 16 Juli 2007. Ia adalah anggota seniman avant-garde Rusia dan gerakan konseptualisme di era 1970 dan 1980an. Teks-teksnya menumbangkan Realisme Sosialis dan diterbitkan di bawah tanah di era Uni Soviet.
Mereka juga menyinggung kasus Oleg Sentsov, seniman yang menentang pencaplokan Semenanjung Krimea dari Ukraina pada tahun 2014. Setsov dijatuhi hukuman 20 tahun penjara sejak 2015 lalu dengan tuduhan melakukan aksi teror.
Saksikan video detik-detik penyusupan final Piala Dunia 2018 berikut ini:
Kasus Pertama
Kasus pertama Pussy Riot mencuat ke publik karena sikap mereka yang terang-terangan menentang Presiden Vladimir Putin pada tahun 2012.
Kala itu, mereka menjalankan aksi yang disebut "punk prayer", di mana sekelompok wanita menyanyikan doa politik mereka sendiri di dalam gereja Cathedral of Christ the Savior, di Moskow, menjelang pemilihan presiden 2012. Pertunjukan itu dimaksudkan untuk memprotes simbiosis negara terhadap gereja dan negara.
Akibatnya dua personel band yang didirikan sejak 2011 ini dipenjara selama hampir dua tahun.
Kali ini, mereka kembali melakukan aksi nekat di Piala Dunia 2018 saat Putin sedang menonton pertandingan bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden FIFA Gianni Infantino.
"Piala Dunia telah mengingatkan kita tentang seorang Polisi Surgawi di masa depan Rusia yang indah, tapi polisi duniawi -- yang setiap hari ikut campur dalam permainan dan tidak mengenal aturan -- menghancurkan dunia kita," tulis pernyataan Pussy Riot.
Sejumlah orang menilai, grup musik tersebut sukses menciptakan citra otoritas yang tidak adil dan sewenang-wenang di Negeri Beruang Merah.
Advertisement