Cetakan Keju dari Zaman Neolitikum Ditemukan di Pantai Kroasia

Peneliti menemukan artefak pembuatan keju di sepanjang pantai Kroasia.

oleh Afra Augesti diperbarui 07 Sep 2018, 09:33 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2018, 09:33 WIB
Cetakan Keju
Penelitian baru menunjukkan, orang-orang yang hidup di Zaman Neolitikum Tengah dan tinggal di Mediterania, menggunakan tembikar rhyta untuk membuat keju pada 7.200 tahun yang lalu. (Foto oleh Sibenik City Museum)

Liputan6.com, Zagreb - Para ilmuwan telah menemukan bukti awal alat pembuat keju Zaman Neolitikum Tengah di sepanjang Dalmatian Coast, Kroasia. Artefak ini diduga digunakan oleh manusia pada zaman dahulu kala yang tinggal di sekitar Laut Mediterania.

Residu lemak yang tersisa di bagian dalam tembikar kuno itu menunjukkan, orang-orang dari Zaman Neolitikum Tengah sudah membuat keju sejak 7.200 tahun yang lalu.

Sebagaimana ditegaskan analisis baru tersebut, punahnya alat pembuatan keju itu berkaitan dengan pergeseran teknologi tembikar.

"Pada zaman itu, produksi keju adalah sesuatu yang cukup penting, sehingga orang-orang membuat peralatan dapur jenis baru. Kami melihat perubahan budaya itu," kata Sarah B McClure, profesor antropologi di Penn State University, sebagaimana dikutip dari UPI.com, Kamis (6/9/2018).

Selama Zaman Neolitik Awal, populasi di sepanjang Dalmatian Coast memproduksi tembikar dengan jenis dan kegunaan yang mengesankan. Akan tetapi, selama Zaman Neolitik Tengah, dari tahun 4700 hingga 3900 SM, orang-orang yang tinggal di sepanjang pantai Kroasia membuat dan menggunakan tembikar Danilo, di mana ada tiga subtipe.

Para ilmuwan percaya, dua dari subtipe itu --rhyta dan sieves-- digunakan untuk pembuatan keju. Arkeolog menganalisis residu lemak yang dikumpulkan dari potongan-potongan gerabah yang ditemukan di dua situs arkeologi penting di Dalmatian Coast, Pokrovnik dan Danilo Bitinj.

Analisis isotop karbon mengungkapkan adanya keju pada beberapa sampel tembikar. Selain itu, sisa-sisa radiokarbon yang terdapat di dalam tulang manusia dan biji yang dikumpulkan dari situs penggalian, mengonfirmasi usia potongan gerabah.

"Ini adalah bukti residu lipid (kelompok molekul alami yang meliputi lemak, lilin, sterol, vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K serta monogliserida, digliserida, trigliserida, fosfolipid, dan lain-lain) yang terdokumentasi paling awal untuk produk fermentasi susu di wilayah Mediterania," tulis para peneliti dalam studi mereka, yang diterbitkan minggu ini dalam jurnal PLOS One.

Studi DNA sebelumnya menunjukkan, orang dewasa di kawasan itu kebanyakan tidak toleran terhadap laktosa, tetapi anak-anak dapat dengan aman mengonsumsi susu hingga usia 10 tahun.

Dengan memfermentasi produk susu dan menghasilkan keju, para petani Zaman Neolitik Tengah mampu menghasilkan produk susu yang lebih stabil dan dapat disimpan dengan kandungan laktosa yang minim --sumber nutrisi yang aman bagi orang dewasa dan anak-anak.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Keju Mumi Berusia 3.300 Tahun Ditemukan di Makam Kuno Mesir

Keju Tertua di Dunia
Di kompleks pemakaman Saqqara, Mesir, para peneliti menemukan botol berisi bongkahan keju berusia 3.300 tahun. (Enrico Greco, University of Catania, Italia)

Sementara itu di Mesir, para peneliti baru saja menemukan keju tertua di dunia, di Saqqara. Penganan yang terbuat dari susu ini ditemukan di antara pecahan tembikar berukuran besar di dalam Makam Ptahmes (Tomb of Ptahmes),

Ptahmes memegang beberapa jabatan penting selama pemerintahan Firaun Seti I, antara lain Wali Kota Memphis, panglima militer, pengawas keuangan dan juru tulis kerajaan. Ketika kekuasaan digantikan anak laki-laki Seti I, Ramses II, Ptahmes naik jabatan menjadi Hight Priest of Amun atau Imam Besar Amun di Karnak.

Makam itu diduga dibangun pada Abad ke-13 Sebelum Masehi (SM), sehingga bangunan ini -- beserta keju di dalamnya -- berumur sekitar 3.300 tahun. Temuan itu telah dipublikasikan dalam jurnal Analytical Chemistry pada 25 Juli 2018.

Mengutip laman Live Science, Senin 20 Agustus 2018, potongan keju itu ditemukan secara tak sengaja oleh para peneliti dari University of Catania di Italia dan Cairo University di Mesir dari sebuah misi penggalian tahun 2013-2014.

Saat membuka salah satu serpihan guci, mereka menemukan sesuatu: massa padat berwarna kuning keputihan.

Di sekitar benda itu, ilmuwan juga menemukan secarik kain kanvas yang mungkin digunakan untuk melindungi dan menutup gumpalan tersebut. Tekstur kain kanvas ini menunjukkan bahwa keju itu masih sangat utuh saat disisipkan ke dalam Makam Ptahmes.

Untuk membuktikannya, para periset memotong keju dan membawanya ke laboratorium kimia untuk analisis. Di sana, tim mencairkan sampel ini dalam larutan khusus untuk mengisolasi protein tertentu yang terkandung di dalamnya.

Hasil mengungkapkan bahwa "keju mumi" itu mengandung lima protein terpisah yang biasa ditemukan dalam susu Bovidae (susu dari sapi, domba, kambing atau kerbau).

Para peneliti pun menyimpulkan, penganan tersebut mungkin adalah "produk seperti keju" yang terbuat dari campuran susu sapi dan susu kambing atau susu domba.

"Sampel ini mewakili keju padat tertua yang ditemukan sepanjang sejarah," tulis para peneliti dalam riset mereka.

Berisi Kutukan?

Banyak spekulasi muncul terkait "keju mumi" ini, terlebih dari golongan awam. Banyak orang menganggap bahwa keju tersebut telah dikutuk, sehingga siapa saja yang memakannya bisa celaka.

Tentu saja mitos salah kaprah itu bisa ditepis oleh para ilmuwan.

Bukan kutukan yang akan membunuh mereka yang bernyali mencicipinya. Ilmuwan mengatakan, apabila ada seseorang yang berani memakan keju itu dan kemudian dirinya terserang penyakit, ini disebabkan bakteri jahat yang terkandung di dalam keju.

Sebab, keju tersebut sudah terkubur selama ribuan tahun dan sudah mengalami reaksi kimia yang beragam.

Menurut analisis tim penelitian, keju itu mengandung protein yang terkait dengan Brucella melitensis, bakteri yang bisa menyebabkan penyakit menular brucellosis --penyakit infeksi bakteri Brucella yang disebarkan dari hewan ke manusia, umumnya melalui konsumsi susu, terutama susu yang tidak dipasteurisasi atau produk olahan lainnya.

Gejalanya meliputi demam berat, mual, muntah dan berbagai gangguan pencernaan lainnya yang lebih parah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya