Singgah di Indonesia, Misi Pegasus 2018 Prancis Kirim Pesan Khusus untuk China

Sekelompok alutsista Angkatan Udara Prancis, yang terdiri dari tiga jet tempur dan satu pesawat kargo heavy-airlift, singgah di Indonesia pekan ini.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 21 Agu 2018, 18:51 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2018, 18:51 WIB
(Dari kiri ke kanan) Airbus A400M dan tiga Dassault Rafale milik AU Prancis di Halim Perdanakusuma (21/8) (Liputan6.com / Rizki Akbar Hasan)
(Dari kiri ke kanan) Airbus A400M dan tiga Dassault Rafale milik AU Prancis di Halim Perdanakusuma (21/8) (Liputan6.com / Rizki Akbar Hasan)

Liputan6.com, Jakarta - Sekelompok alutsista Angkatan Udara Prancis, yang terdiri dari tiga jet tempur dan satu pesawat kargo heavy-airlift, singgah di Indonesia pekan ini, dan akan melanjutkan misi terbang ke beberapa negara Asia Tenggara dan Asia Selatan pada hari-hari mendatang.

Rangkaian lawatan itu --yang dilaksanakan selepas latihan multilateral 'Pitch Black 2018' di Australia bersama negara tuan rumah, serta sejumlah dari Pasifik dan Asia pada Juli-Agustus-- dideskripsikan oleh perwira tinggi militer Prancis sebagai upaya untuk mempertegas prinsip kebebasan beraviasi dan bernavigasi di kawasan Asia Pasifik. Termasuk, di Laut China Selatan, wilayah maritim yang disengketakan oleh banyak negara di kawasan.

Misi terbang-dan-singgah yang diberi nama 'Pegasus 2018' itu dimulai sejak beberapa bulan lalu, dengan menyertakan lebih dari 100 personel militer, 3 jet tempur, satu pesawat heavy-airlift Airbus dan Antonov, satu pesawat tanker, dan 40 ton kargo.

Bertolak dari Prancis, detasemen 'Pegasus 2018' singgah pertama kali di Singapura dan kemudian ke Australia untuk mengikuti Pitch Black 2018 sepanjang Juli-Agustus. Selepas itu, mereka singgah ke Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Vietnam --di Asia Tenggara-- kemudian India dan Uni Emirat Arab, hingga kembali pulang ke tanah air.

"Ini merupakan cara bagi Angkatan Udara Prancis untuk mempertegas bahwa wilayah udara internasional dan kebebasan menjelajah di area tersebut, yang dilakukan dalam koridor hukum internasional, merupakan suatu hal yang bisa dikerjakan oleh semua negara," kata Kepala Misi Pegasus 2018, Letnan Jenderal Patrick Charaix di Halim Perdanakusuma, Selasa (21/8/2018).

Hukum internasional yang dimaksud Charaix merujuk pada United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS.

Proyeksi kekuatan udara ini, sebagaimana analis mendeskripsikannya, mengikuti berbagai misi yang rutin dilakukan oleh Angkatan Laut Prancis di Laut China Selatan.

Angkatan Laut Prancis juga memiliki budaya institusional untuk menegakkan interpretasinya terhadap UNCLOS, terutama pada dua poin yang diperdebatkan: prinsip 'Innocent Passage' kapal yang melintas di perairan negara asing dan hak untuk mempertahankan kehadiran angkatan laut di semua zona ekonomi eksklusif.

Pada kuartal pertama 2015, misi tahunan Jeanne d’Arc --pelatihan untuk calon perwira angkatan laut-- yang dilakukan oleh satu kapal serbu amfibi kelas Mistral dan satu fregat, telah secara sistematis berlayar melalui Laut China Selatan. The South China Morning Post melaporkan, seperti dikutip pada Selasa 21 Agustus 2018.

Kapal AL Prancis Mistral MG 6102 (Wikimedia Commons)

Selain itu, perairan yang disengketakan tersebut telah dilintasi Vendemiaire, fregat pengintai AL Prancis pada 2014, 2015 dan 2018. Sementara itu tahun lalu, kapal pengintai AL Prancis yang berbasis di Polinesia, Prairial; dan dua fregat anti-kapal selam FREMM Provence dan Auvergne telah berlayar di Laut China Selatan pada 2016 dan 2018.

"Mereka membawa banyak misi, berlayar dekat dengan sejumlah pulau yang populer muncul di media sebagai sentral persengketaan di Laut China Selatan," kata Letjen Charaix menggarisbawahi misi pelayaran berbagai kapal tersebut.

Mathieu Duchatel, analis dan deputi direktur Asia and China Programme di European Council of Foreign Relations, menjelaskan bahwa keputusan Prancis untuk secara teratur mengerahkan aset militer ke Laut China Selatan, "Harus dimaknai sebagai upaya untuk memberi sinyal, terutama, kepada Beijing," jelasnya dalam sebuah artikel opini yang dirilis di The South China Morning Post pada awal Agustus 2018 lalu.

"Sinyal yang diarahkan ke China, dapat dirangkum dalam satu kata: 'kontra-intimidasi'," lanjut Duchatel.

"Di tengah upaya Beijing yang ingin menciptakan 'fakta baru' atas presensinya di Laut China Selatan, Prancis berusaha mengirim pesan bahwa mereka akan beroperasi di ruang yang diizinkan oleh hukum internasional - tanpa campur tangan dari Tiongkok," tambahnya.

Letnan Jendel Charaix pun, kurang-lebih, mendeskripsikannya demikian.

"Kami ingin memberikan gambaran kepada China, kami melakukannya," ujar Charaix menggarisbawahi bahwa misi Pegasus 2018 dilakukan di wilayah udara internasional serta tetap patuh terhadap hukum internasional dan PBB.

"Namun, bukan berarti kami hendak mengikuti seperti apa yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat beberapa waktu lalu," tambahnya merujuk pada berbagai aktivitas sejumlah alutsista AS yang terbang dan berlayar dekat dengan berbagai gugus pulau dan karang di Laut China Selatan, yang direklamasi dan dimiliterisasi oleh Beijing sejak beberapa waktu terakhir.

Pesawat Airbus A400M (tengah, terjauh) yang mampu mengangkut kargo bermuatan maksimal 37 ton. Pesawat milik AU Prancis itu tengah singgah di Halim Perdanakusuma usai mengikuti latihan gabungan di Australia (21/8) (Liputan6.com / Rizki Akbar Hasan)

Lebih lanjut, Charaix mengatakan, "Kami tidak melakukannya untuk 'melihat lebih dekat' pulau-pulau 'populer' itu, sebagaimana yang dilakukan oleh AS, tidak. Jangan diartikan bahwa kami akan terbang di atas pulau-pulau 'populer' tersebut, yang kemudian meningkatkan tensi diplomatik antara Prancis dengan China."

Mathieu Duchatel, analis dan deputi direktur Asia and China Programme di European Council of Foreign Relations mengomentari, "Seharusnya tidak mengejutkan jika Prancis meningkatkan kehadirannya di Laut China Selatan. Sejauh ini, komitmen Prancis yang serius dan berkepanjangan terhadap tatanan maritim berbasis aturan tampaknya dipahami juga di Beijing."

"Meskipun ada sedikit bukti bahwa hal tersebut dapat secara radikal mengubah cara Tiongkok menyikapi isu Laut China Selatan, ini bukan intinya. Yang penting adalah bahwa ini harus dilakukan bersama dengan tindakan lain untuk mendukung tatanan keamanan maritim berdasarkan aturan dan norma bersama," tambah Duchatel.

Menimpali, Letjen Charaix mengatakan, "Saya rasa China juga menyadari apa yang kami lakukan. Selepas dari Indonesia, kami akan terbang ke Singapura, ke Malaysia, dan ke Vietnam, tapi semua itu dilakukan dalam koridor internasional."

Tiga jet tempur Dassault Rafale dan satu pesawat heavy-airlift Airbus A400M milik AU Prancis berhanggar di Halim Perdanakusuma hingga Jumat pekan ini --yang kemudian dimanfaatkan oleh Angkatan Udara RI untuk berhubungan lebih dekat dengan militer Prancis, negara yang memiliki hubungan kemitraan strategis dengan Indonesia.

Penerbang AURI pun diberi kesempatan menjadi ko-pilot untuk menerbangkan empat burung besi andalan Prancis tersebut.

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

Simak video pilihan berikut:

Inggris Menaruh Perhatian pada Asia, Laut China Selatan, dan Indo-Pasifik

Kapal Perang HMS Albion Bersandar di Jakarta
Kapal perang HMS Albion tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (22/4). Kedatangan kapal HMS Albion beserta awak AL Kerajaan Inggris tersebut dalam rangka penguatan kerjasama antara militer Inggris dan Indonesia. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Selain Prancis, Inggris juga meningkatkan kehadiran militer mereka di lautan Asia Pasifik sepanjang awal tahun 2018, menunjukkan keseriusan Britania Raya untuk memperluas cakupan pengaruh militer dan geo-politik mereka di salah satu kawasan yang kerap menjadi panggung unjuk kekuatan maritim antarnegara dan rute pelayaran tersibuk di dunia.

Hal itu dibuktikan dengan pengiriman tiga kapal perang ke kawasan tersebut dalam rentang waktu Februari - April, antara lain, fregat HMS Sutherland (telah di kawasan sejak Februari), transport-amfibi HMS Albion (baru tiba pada April), dan fregat HMS Argyll (masih dalam perjalanan).

Rencana misi pelayaran ketiga kapal itu telah diungkapkan awal tahun ini, ketika Menteri Pertahanan Inggris, Gavin Williamson, melakukan kunjungan kerja ke salah satu negara sekutu terdekat Britania di Asia Pasifik, Australia.

Dalam keterangan pers di Sydney, Williamson menjelaskan bahwa salah satu misi pelayaran HMS Sutherland ke Asia Pasifik dan Australia adalah demi menegaskan status kebebasan bernavigasi di kawasan Laut China Selatan.

Dua bulan berlalu, misi dan kapal armada AL Inggris di Asia Pasifik semakin bertambah. Kapal transport-amfibi HMS Albion, yang membawa sekitar 300 Royal Navy dan 200 Royal Marines Commando Inggris, turut merapat ke kawasan tersebut.

Tak hanya sebagai simbolisasi penegasan prinsip kebebasan bernavigasi di Asia Pasifik serta terkhusus Laut China Selatan, kapal-kapal tersebut kini berperan sebagai perpanjangan tangan Inggris untuk mempertegas Resolusi Dewan Keamanan PBB seputar sanksi Korea Utara.

"Sampai Korea Utara memenuhi janji-janji mereka untuk mematuhi sanksi internasional dengan melakukan aksi nyata (menghentikan serta melucuti program rudal dan nuklir), Inggris akan terus bekerja erat dengan mitra di kawasan untuk menekan dan memaksa pematuhan sanksi, demi menjamin keamanan di kawasan dan Inggris sendiri," kata Menhan Williamson mengomentari pengerahan HMS Albion ke Asia Pasifik, seperti dilansir The Independent, 11 April 2018 lalu.

Komentar senada juga diutarakan oleh Kapten HMS Albion (Kol. AL) Tim Neild.

"Pengerahan HMS Albion dalam operasi maritim ini, serta kolaborasi kami dengan sekutu kunci di kawasan, termasuk Indonesia, menunjukkan komitmen kami untuk meneggakkan sanksi-sanksi Resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut (terhadap Korea Utara)," kata Kapten HMS Albion (Kol. AL) Tim Neild di Tanjung Priok, Minggu, 22 April 2018.

Beberapa waktu terakhir, sejumlah negara kerap menangkap basah sejumlah kapal yang melakukan ship-to-ship cargo transfer dengan kapal terafiliasi Korea Utara di kawasan Asia Pasifik.

Aktivitas itu dituding berkontribusi sebagai suplai ekonomi dan komoditas alternatif bagi domestik Korea Utara -- yang mengalami keterbatasan transaksi ekonomi dengan komunitas internasional akibat sanksi yang diterapkan oleh DK PBB. Bahkan, transaksi ilegal itu juga disebut-sebut mendanai proyek rudal dan nuklir Korea Utara.

"Ke mana pun kami pergi dan berlayar, kami punya tanggung jawab untuk menegakkan hukum dan resolusi internasional," tambah Kapten AL Inggris tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya