Kanada Sepakat Cabut Gelar Warga Kehormatan Aung San Suu Kyi

Atas krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar, pemerintah Kanada mempertimbangkan untuk mencabut gelar warga kehormatan.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 28 Sep 2018, 13:04 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2018, 13:04 WIB
Akhiri Masa Diam, Aung San Suu Kyi Angkat Bicara Soal Krisis Rohingya
Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menyampaikan pidato nasional terkait Rohingya di Naypyidaw (19/9). Dalam pidatonya, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Myanmar tidak lari dari tanggung jawab. (AFP Photo/Ye Aung Thu)

Liputan6.com, Ottawa - Anggota parlemen Kanada telah sepakat untuk mencabut status warga kehormatan pada pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi.

Mosi tersebut merupakan tanggapan atas kegagalan Suu Kyi dalam menghentikan aksi penganiayaan terhadap minoritas Rohingya di negaranya.

Dikutip dari BBC pada Jumat (28/9/2018), Aung San Suu Kyi memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991 atas usahanya untuk membawa demokrasi ke Myanmar --dulu bernama Burma-- yang saat itu berada di bawah kekuasaan junta militer.

Awal bulan ini, House of Commons dengan suara bulat mengadopsi gerakan untuk mengakui kejahatan terhadap Rohingya sebagai tindakan genosida. Sebuah laporan PBB bulan lalu menambahkan bahwa para pemimpin militer Myanmar harus diselidiki atas dugaan tersebut.

Setidaknya 700.000 orang etnis Rohingya melarikan diri dari kekerasan di negara itu dalam 12 bulan terakhir.

Langkah oleh anggota parlemen di House of Commons Kanada muncul sehari setelah Perdana Menteri Justin Trudeau mengatakan bahwa parlemen mempertimbangkan kembali apakah Suu Kyi masih pantas memegang status warga kehormatan.

Namun, PM Trudeau juga mengatakan langkah itu tidak akan mengakhiri penderitaan ratusan ribu orang Rohingya, yang merupakan minoritas muslim tanpa kewarganegaraan Myanmar yang mayoritas penganut Buddha.

Pada tahun 2007 Kanada memberikan gelar warga kehormatan kepada Aung San Suu Kyi, hanya satu dari enam orang yang diakui.

Gelar warga kehormatan telah diberikan di Kanada oleh resolusi gabungan kedua majelis parlemen. Pejabat setempat mengatakan kepada Reuters, bahwa penyematan status pada Suu Kyi harus secara resmi dihapus dengan cara yang sama ketika diberikan.

"Langkah selanjutnya masih belum dipastikan," anggota parlemen Liberal Andrew Leslie mengatakan kepada wartawan pada hari Kamis.

"Sekarang mesin pemerintah benar-benar akan menelaah rincian tentang apa saja hal khusus yang diperlukan untuk memberikan tindakan nyata padanya (Suu Kyi)," lanjut Leslie menjelaskan.

Aung San Suu Kyi telah menghadapi tekanan internasional untuk mengutuk dugaan perilaku brutal tentara Myanmar terhadap etnis Rohingya. Namun, dia menolak melakukannya.

 

Simak video pilihan berikut:

 

Norwegia Tak Akan Cabut Gelar Nobel Perdamaian

Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi pada Selasa 19 September 2017 akhirnya bicara ke dunia soal krisis di Rakhine yang memicu eksodus massal warga Rohingya ke Bangladesh
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi pada Selasa 19 September 2017 akhirnya bicara ke dunia soal krisis di Rakhine yang memicu eksodus massal warga Rohingya ke Bangladesh (AP Photo/Aung Shine Oo)

Sementara itu, Komite Nobel di Norwegia belum lama ini memastikan Aung San Suu Kyi tidak akan kehilangan nobel perdamaian yang diraihnya, meski PBB baru saja menyatakan bahwa militer Myanmar melakukan pembunuhan massal terhadap Rohingya.

Dikutip dari The Guardian, Aung San Suu Kyi, yang memimpin pemerintahan Myanmar dan meraih Nobel Perdamaian pada 1991 --untuk kampanye demokrasi-- dikritik dunia karena gagal menentang praktik penindasan di Negara Bagian Rakhine.

Olav Njoelstad, sekretaris Komite Nobel Norwegia, mengatakan: "Penting untuk diingat bahwa hadiah Nobel, baik dalam bidang fisika, sastra, atau perdamaian, diberikan untuk beberapa upaya atau pencapaian berharga dari masa lalu."

"Aung San Suu Kyi memenangi hadiah Nobel untuk perjuangannya demi demokrasi dan kebebasan hingga 1991, tahun ketika dia dianugerahi hadiah," Njoelstad menjelaskan.

Aturan yang mengatur pemberian Nobel tidak memungkinkan untuk ditarik kembali, termasuk pada kasus yang menyinggung Aung San Suu Kyi, katanya lagi.

Komite Nobel Norwegia terdiri dari panel lima warga terpilih Norwegia, sebagian besar merupakan mantan politikus dan akademisi setempat, yang mencerminkan kekuatan berbeda di parlemen Norwegia.

Pada 2017, ketua komite, Berit Reiss-Andersen, juga mengatakan tidak akan menghapus penghargaan itu, menyusul kritik sebelumnya terhadap peran Aung San Suu Kyi dalam krisis Rohingya.

"Kami tidak melakukannya. Bukan tugas kami untuk mengawasi atau menyensor apa yang dilakukan seorang pemenang setelah hadiah dimenangkan," kata Reiss-Andersen.

"Para pemenang harus menjaga reputasi mereka sendiri," dia menegaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya