Aung San Suu Kyi: Jurnalis Reuters yang Dipenjara Telah Melanggar UU Rahasia Negara

Aung San Suu Kyi membeberkan hal yang mengejutkan tentang dua jurnalis Reuters yang dipenjara karena meliput Rohingya.

oleh Afra Augesti diperbarui 14 Sep 2018, 12:03 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2018, 12:03 WIB
(Kiri) Win Myint, Presiden Myanmar yang baru ditunjuk oleh Parlemen bersama Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi (AFP PHOTO via Myanmar Times)
(Kiri) Win Myint, Presiden Myanmar yang baru ditunjuk oleh Parlemen bersama Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi (AFP PHOTO via Myanmar Times)

Liputan6.com, Naypyidaw - Aung San Suu Kyi membela keputusan Myanmar untuk memenjarakan dua wartawan Reuters yang sedang menyelidiki pembunuhan Rohingya.

Sebelum ditangkap pada Desember 2017, kedua jurnalis yang bernama Wa Lone (32) dan Kyaw Soe Oo (28) sedang mengungkap dugaan pembunuhan terhadap 10 pria dan anak laki-laki.

Pengadilan tinggi Myanmar menjatuhkan hukuman penjara selama tujuh tahun atas tuduhan pembobolan rahasia negara. Dalam keterangannya, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo menampik tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa mereka telah dijebak.

Sejak kabar penahanan keduanya mendunia, kasus ini kemudian memicu kemarahan masyarakat global, termasuk jurnalis dari berbagai negara. Selain itu, penagkapan kedua wartawan kantor berita yang berbasis di London, Inggris tersebut juga dikritik oleh PBB, Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Akan tetapi, Aung San Suu Kyi membela penuntutan dan hukuman yang dilimpahkan oleh hakim.

"Kasus tersebut telah diproses di pengadilan terbuka," katanya saat tampil di pertemuan regional World Economic Forum di Hanoi.

"Jika ada orang yang merasa mendapatkan ketidakadilan, katakan pada saya. Mereka dipenjara bukan karena profesi mereka sebagai wartawan. Mereka dipenjara karena ... pengadilan memutuskan mereka telah melanggar Undang-undang Rahasia Negara (Official Secrets Act)," lanjut Sang Konselor Negara itu.

Seiring munculnya kecaman internasional, publik menganggap bahwa kasus ini adalah bukti bahwa reformasi demokratis di Myanmar telah terkikis oleh pemerintah Aung San Suu Kyi, yang telah berkuasa sejak 2016.

Namun, peraih Penghargaan Nobel Perdamaian tersebut menegaskan, kedua wartawan dapat mengajukan banding atas hukuman yang dijatuhkan kepada mereka.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Dituduh Menggali Informasi Ilegal

Tawa Ceria Anak Rohingya Bermain di Kamp Pengungsian
Anak-anak pengungsi Rohingya bergelantungan di tali saat bermain di taman bermain kamp pengungsi Thangkhali, dekat Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (9/8). (Ed JONES/AFP)

Sebelumnya, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo dituduh memperoleh informasi secara ilegal saat meliput krisis Rohingya di Rakhine State. Keduanya dianggap melanggar Undang-undang Rahasia Negara peninggalan era-kolonial.

Dikutip dari BBC pada Senin 9 Juli 2018), kantor berita Reuters telah menyerukan pembebasan mereka dan membela bahwa kedua anak buahnya itu melakukan tugas kerja sebagaimana mestinya, melaporkan tentang dugaan pembantaian oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya.

Ketika ditangkap tahun lalu, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo tengah dalam tugas menyelidiki eksekusi massal terhadap muslim Rohingya, yang diduga dilakukan oleh militer dan penduduk Myanmar.

Tim kuasa hukum keduanya telah meminta agar gugatan hukum tersebut dicabut karena kurangnya bukti. Namun hal itu ditolak oleh hakim karena muncul beberapa kesaksian yang menyebut kedua jurnalis terindikasi mengumpulkan informasi dari pejabat lokal tanpa izin.

Pasangan jurnalis itu telah ditahan, sementara sidang pra-peradilan berlangsung.

"Kami memiliki hak untuk membela. Pengadilan tidak memutuskan kami bersalah," kata Wa Lone pasca-pembacaan keputusan pada Senin siang, di Yangon.

Krisis di negara bagian Rakhine, terutama di wilayat barat laut Myanmar, telah menjadi berita utama dunia pada akhir tahun lalu, ketika ratusan ribu Muslim melarikan diri dari ancaman penumpasan militer yang mematikan.

Militer mengatakan operasi itu menargetkan gerilyawan Rohingya di Rakhine, tetapi kelompok-kelompok hak asasi mengatakan ribuan warga sipil telah tewas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya