AS - Tiongkok Akan Bahas Ketegangan di Selat Taiwan dan Laut China Selatan

AS dan Tiongkok akan berdialog di Washington DC pada Jumat 9 November 2018, membahas soal Selat Taiwan dan Laut China Selatan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 07 Nov 2018, 07:31 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2018, 07:31 WIB
Bendera AS dan China berkibar berdampingan (AP/Andy Wong)
Bendera AS dan China berkibar berdampingan (AP/Andy Wong)

Liputan6.com, Washington DC - Amerika Serikat dan Tiongkok akan berdialog di Washington DC pada Jumat 9 November 2018 untuk menunjukkan kesediaan kedua belah pihak guna melanjutkan komunikasi di tengah meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan dan Selat Taiwan.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Menteri Pertahanan James Mattis akan menjamu direktur dari Kantor Luar Negeri China dan Menteri Pertahanan Nasional Wei Fenghe untuk berdialog, bersama dengan delegasi dari kedua sisi, demikian seperti dikutip dari The South China Morning Post, Rabu (7/11/2018).

Pembicaraan itu terjadi ketika ketegangan antara kedua negara semakin tinggi. Sebuah diskusi sebelumnya yang dijadwalkan pada bulan September antara kedua menteri pertahanan dibatalkan karena kekecewaan Beijing atas sanksi Washington terhadap China karena membeli sistem senjata Rusia.

Pengumuman dialog baru menunjukkan bahwa kedua belah pihak telah bersedia untuk meredakan tensi tinggi di Laut China Selatan dan Selat Taiwan.

Dalam dua bulan terakhir, militer AS telah menerbangkan pesawat pengebom B-52 dan melakukan operasi "kebebasan navigasi" di sekitar Laut Cina Selatan, dan kapal perang AS berlayar melalui Selat Taiwan untuk mendukung Taiwan --langkah yang membuat geram China mengingat, Beijing mengklaim wilayah itu sebagai bagiannya sesuai kebijakan 'One China Policy'.

Hampir dua pekan lalu, Presiden China Xi Jinping mengatakan kepada bagian militer yang bertanggung jawab untuk memantau Taiwan dan Laut China Selatan untuk "bersiap untuk perang", sementara Menhan Wei Fenghe bersumpah bahwa Beijing tidak akan menyerahkan "satu inci" dari wilayahnya.

Merespons China, Kepala Staf Gabungan Militer AS Joseph Dunford mengatakan, "Kami mencoba untuk menjelaskan kepada mereka bahwa ada aturan berbasis internasional dan kami berbicara tentang Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka berdasarkan norma dan standar hukum internasional."

 

Simak video pilihan berikut:

Presiden Xi Jinping Pantau Ketat Taiwan dan Laut China Selatan

(ilustrasi) Kapal perang di Laut China Selatan (Intelligence Specialist 1st Class John J Torres)
(ilustrasi) Kapal perang di Laut China Selatan (Intelligence Specialist 1st Class John J Torres)

Presiden Tiongkok Xi Jinping, pekan lalu, memerintahkan Komando Wilayah Selatan Militer China, yang bertanggung jawab memantau Laut China Selatan dan Taiwan, meningkatkan kemampuan militernya guna mempersiapkan kemungkinan konflik, menurut laporan surat kabar Hong Kong.

Selama kunjungan ke wilayah itu pada Kamis 25 Oktober 2018, Xi Jinping mengatakan bahwa China perlu "berkonsentrasi dan bersiap untuk berperang," lapor South China Morning Post, mengutip transkrip pidato Xi Jinping dari televisi pemerintah China Central Television.

Kantor berita China Xinhua juga mencatat pidato itu, melaporkan bahwa Xi Jinping "menggarisbawahi pentingnya mempersiapkan perang dan pertempuran," demikian seperti dikutip dari Quartz, Selasa (30/10/2018).

Pada hari yang sama dengan pidato Xi Jinping, Menteri Pertahanan China Wei Fenghe mengatakan, negaranya tidak akan menyerahkan "satu bagian pun" dari wilayahnya dan memperingatkan bahwa "desakan berulang" dari Taiwan yang 'menagih' kedaulatannya dari China akan "menghasilkan tindakan militer langsung."

Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok semakin menegaskan kehadirannya di Laut China Selatan, dengan memiliterisasi pulau-pulau dan klaster terumbu karang, serta memperkuat titik-titik lain yang didudukinya.

Tiongkok mengklaim bahwa mereka memiliki hak kedaulatan yang tak terbantahkan atas kawasan Laut China Selatan dan pulau-pulau yang ada di dalamnya.

Beijing melandasi klaim kedaulatan sepihak itu dengan menggunakan konsep demarkasi 'the nine-dash line' atau sembilan garis putus, mencakup seluruh kawasan gugus kepulauan Spratly, Paracel, Pratas, Macclesfield Bank, dan Scarborough Shoal -- secara akumulatif membentuk sebagian besar kawasan Laut China Selatan.

Namun, klaim tersebut ditentang oleh banyak negara, meliputi, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, Indonesia, termasuk Amerika Serikat -- meski berada jauh dan berbeda kawasan.

Kritik itu berfokus pada pembangunan fasilitas militer China di pulau serta daratan reklamasi di kawasan. Sementara AS menyebut, infrastruktur itu akan membatasi juga membahayakan navigasi perairan internasional.

Pengadilan Arbitrase Internasional di The Hague telah membatalkan klaim sepihak tersebut pada Juli 2016, tetapi, Beijing mengabaikan keputusan itu, dengan terus memodernisasi dan meningkatkan kuantitas serta aktivitas angkatan lautnya di Laut China Selatan, menurut berbagai laporan analis dan organisasi pemantau.

Menanggapi hal itu, Laksamana AL-AS Philip Davidson, yang memimpin Komando Indo-Pasifik AS mengatakan kepada Senat AS pada sebuah rapat dengar pendapat awal tahun ini bahwa Tiongkok "sekarang mampu mengendalikan Laut China Selatan dalam semua skenario singkat perang dengan Amerika Serikat."

Retorika yang dilontarkan Xi Jinping pekan lalu itu tidak sepenuhnya baru. Pada bulan November 2017, misalnya, Xi Jinping mengatakan kepada militer bahwa mereka harus siap untuk "bertarung dan memenangkan perang."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya