Liputan6.com, Washington D.C. - Lebih dari dua minggu setelah Donald Trump menyatakan kemenangan atas ISIS di Suriah dan mengumumkan penarikan pasukan Amerika Serikat, perencana militer bersikeras bahwa penarikan itu didasarkan pada situasi di lapangan dan bukan berdasar batas waktu.
Baca Juga
Advertisement
"Setiap rencana yang kami laksanakan akan didasarkan pada situasi," ujar seorang pejabat pertahanan AS kepada VOA pada hari Jumat, 4 Januari 2019, seraya menegaskan bahwa penarikan diri dari Suriah dikoordinasikan dengan sekutu dan mitra AS. Demikian seperti dilansir dari VOA Indonesia, Minggu (5/1/2019).
Hanya beberapa jam sebelumnya, pejabat senior Departemen Luar Negeri mengatakan, terlepas dari arahan presiden, belum ada peta jalan untuk membawa pulang sekitar 2.000 tentara AS di Suriah.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Usai Rencana Tarik Pasukan Militer, AS Tingkatkan Pengeboman ke Wilayah ISIS
Setelah Donald Trump mengumumkan penarikan 2.000 tentara dari Suriah bulan lalu, militer Amerika Serikat (AS) menggenjot kampanye pengeboman terhadap wilayah yang masih dipegang oleh ISIS di bagian timur negara itu.
Serangan paling sengit dalam sepekan terakhir terjadi di Al Kashmah, sebuah desa di tepi Sungai Eufrat dekat perbatasan dengan Irak, menurut tiga sumber di Suriah timur.
Di tengah serangan udara AS dan tembakan artileri oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF), warga sipil dan anggota keluarga militan ISIS melarikan diri ke desa-desa di selatan, demikian sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Jumat, 4 Januari 2019.
Meski begitu, Al Kashmah belum sepenuhnya jatuh ke tangan militer AS, di mana kini tersisa beberapa kelompok yang telah menjadi garis depan perang melawan ISIS di provinsi Deir Az Zor.
Ada sekitar 50.000 hingga 60.000 orang militan yang tetap berada di daerah-daerah itu, menurut seorang aktivis sipil di Deir Az Zor, yang mendokumentasikan pelanggaran HAM.
"Warga sipil di daerah-daerah ini tidak memiliki tempat untuk pergi atau bersembunyi dari pemboman AS terhadap desa-desa mereka," kata aktivis itu, seraya mencatat bahwa warga telah dirugikan di tangan pemerintah Suriah, Amerika Serikat, dan ISIS.
Desa-desa yang dikuasai ISIS di sepanjang tepian Sungai Eufrat telah menjadi sasaran serangan bom AS sejak November lalu, sebagai bagian dari Operasi Roundup.
Selain target militer, Operasi Roundup mengebom area sipil, termasuk Rumah Sakit Yarmouk, The Intercept dan Al Jazeera melaporkan bulan lalu.
Seorang militan senior ISIS mengatakan Rumah Sakit Yarmouk adalah fasilitas kesehatan umum terakhir yang merawat warga sipil di daerah itu.
Dia juga mengakui bahwa ISIS mungkin menggunakannya untuk merawat para militannya jika perawatan tidak tersedia di fasilitas kesehatan miliknya sendiri.
Kevin Jon Heller, seorang sarjana hukum internasional, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Amerika Serikat tidak dapat menyerang rumah sakit secara legal, hanya karena percaya beberapa militan ISIS ada di sana.
Heller mengatakan pemboman sebuah rumah sakit di zona pertempuran tanpa mempertimbangkan korban sipil, atau mengeluarkan peringatan, adalah pelanggaran mendasar hukum humaniter, komponen hukum internasional yang mengatur pelaksanaan perang dan perlindungan warga sipil.
Advertisement