Liputan6.com, Jakarta - China disebut menjadi "penyedia solusi" untuk berbagai bidang pembangunan bagi Indonesia dan negara Asia, sebagai pengaruh pertumbuhan Tiongkok dari segi ekonomi, infrastruktur dan teknologi, serta berkembangnya pengaruh geo-politik Beijing di kawasan.
Hal itu disampaikan oleh mantan wakil Menteri Luar Negeri RI, Dino Patti Djalal (24/1/2019), yang merefleksikan hasil lawatannya ke Tiongkok bersama China Policy Group (CPG) dalam koridor track 2 diplomacy akhir 2018 lalu.
Dino, yang kini berkutat sebagai board of trustee organisasi think-tank Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), menjelaskan bahwa tujuan lawatan itu "bertujuan untuk memberikan sudut pandang objektif" dengan "persepsi terbuka" atas proses 40 tahun reformasi Tiongkok dan bagaimana hal tersebut berkontribusi pada berkembangnya pengaruh China di dunia.
Advertisement
Namun, pada saat yang sama, Negeri Tirai Bambu tengah menghadapi masalahnya sendiri, di mana pertumbuhan ekonomi mereka hanya mencapai 6,6 persen pada 2018 atau yang terendah sejak tiga dekade terakhir, catat The Diplomat.
Baca Juga
Analis memproyeksikan, Beijing akan mengatasi masalah itu dengan membuat kredit lebih murah, meningkatkan pengeluaran pemerintah, dan mengadopsi langkah-langkah untuk mendorong peningkatan konsumsi domestik negara berpenduduk terbanyak di dunia itu --terutama pada automotif, teknologi dan barang-barang konsumen lainnya.
Para pemimpin komunis China mengarahkan Tiongkok ke arah pertumbuhan yang lebih lambat dan mandiri namun berkelanjutan, yang didorong oleh pengeluaran konsumen, bukan perdagangan dan investasi. Tetapi perlambatan tersebut lebih tajam dari yang diperkirakan, mendorong Beijing untuk meningkatkan pengeluaran untuk pembangunan jalan dan jembatan dan memerintahkan bank untuk memberikan lebih banyak pinjaman, terutama kepada pengusaha yang menghasilkan sebagian besar pekerjaan dan usaha baru Tiongkok.
"6,6 persen sama sekali tidak rendah," kata Wakil Presiden China, Wang Qishan saat berpidato di World Economic Forum di Davos pada Rabu 23 Januari 2019, menepis tudingan Barat bahwa ekonomi Tiongkok mulai menunjukkan tanda-tanda surut, yang salah satunya disebabkan oleh efek berkelanjutan dari Perang Dagang-nya dengan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
"Satu hal yang pasti, pertumbuhan (ekonomi) China akan berlanjut dan berkelanjutan," tambah Wan Qishan, seperti dikutip dari The South China Morning Post.
Dino mencatat, "6,6 persen itu jelas tidak kecil karena jika dikomparasi, pertumbuhan ekonomi China dari tahun lalu dengan dua tahun sebelumnya, hampir sama dengan total GDP Argentina tahun 2018" yang berkisar di angka US$ 630 miliar.
"China ingin memanfaatkan ini untuk berfokus pada upaya mengurangi koefisien Gini soal kesenjangan ekonomi di dalam negeri," kata Dino.
"Mereka memiliki koefisien Gini yang cukup besar," kata Dino.
Dalam tulisannya untuk blog yang dikelola oleh laman resmi International Monetry Fund pada September 2018, Kepala Deputi IMF Divisi Asia dan Pasifik, Sonali Jain-Chandra menunjukkan bahwa koefisien Gini China mencapai 50 --lebih tinggi dari seluruh negara ASEAN 5 (RI, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam) dan Amerika Latin.
Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan mulai dari 0 hingga 100, di mana 0 menandakan bahwa setiap orang memiliki pendapatan yang sama (distribusi yang sangat sama) dan 100 menyiratkan bahwa orang atau rumah tangga terkaya memiliki semua pendapatan (distribusi yang sangat tidak setara).
Di World Economic Forum 2019, Wakil Presiden China, Wang Qishan mengatakan bahwa dengan melambatnya pertumbuhan China, "kami pasti dapat mencapai target kami untuk memberikan 'kemakmuran sederhana' untuk semua orang Tiongkok pada tahun 2020," katanya. "Tidak ada pertanyaan tentang itu. Kami pasti bisa melakukannya."
"Ada analis yang mengatakan bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi berkorelasi dengan pertumbuhan koefisien Gini. Sebaliknya, melambatnya pertumbuhan ekonomi berkorelasi pada berkurangnya koefisien Gini. Dan saya rasa China membaca hal ini," kata Dino Patti Djalal.
Simak video pilihan berikut:
China Sudah di Jalur yang Benar
"Apapun masalah yang mereka hadapi sekarang, China sudah di jalur yang benar. Sekitar 40 tahun lalu, dunia mungkin tidak akan yang mengira China akan semaju ini. Sekarang mereka jadi kekuatan serta akan membuat dampak di kawasan dan dunia," nilai Dino Patti Djalal di FPCI Jakarta, Kamis 24 Januari 2019.
China, lanjut Dino, juga tengah memasuki tonggak sejarah. "Presiden Xi Jinping merasa percaya diri dalam banyak sektor, meski ekonomi mereka melambat. Sekrang mereka memang sedikit sulit, tapi China terus berlanjut. Kita sudah banyak melihat negara Komunis hancur, Soviet dan Eropa Timur misalnya. Tetapi, China telah melakukannya dengan benar."
Dino juga menggarisbawahi berkembangnya teknologi China --yang "telah mampu bersaing dengan produsen besar" di Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan negara-negara Barat-- menjadi salah satu indikator argumennya.
"Tengok bagaimana perusahaan telekomunikasi mereka, Huawei dan ZTE menyediakan tower BTS di Indonesia yang cost-effective, kereta cepat, produksi ponsel pintar yang berhasil menyaingi Apple dan Samsung," lanjutnya.
"Pertumbuhan mereka mungkin melambat, tapi itu adalah bagian dari proses. Mereka tidak akan berjalan 'pada kecepatan penuh' sepanjang waktu, itu akan fluktuatif. Tapi selama ini kepemimpin Xi Jinping akan membuat ini terus berjalan."
Dino: Indonesia Harus Memanfaatkan Berkembangnya China
Dino Patti Djalal menjelaskan, Indonesia dan negara sekitar Tiongkok harus memanfaatkan kesempatan berkembangya China untuk kepentingan pertumbuhan dalam negeri.
"Misalnya proyek infrastruktur yang digarap China, mereka mengerjakannya dengan cepat dan cost-effective ... mungkin saat ini mereka belum terpincut untuk melakukan transfer teknologi, tapi melihat perkembangan mereka di sektor itu, bukan tidak mungkin jika Tiongkok akan membaginya ke Indonesia," lanjut Dino.
Indonesia juga diimbau untuk mendorong ASEAN agar segera merampungkan negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), skema perdagangan bebas regional antara ASEAN dengan enam negara Asia-Pasifik (China, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru).
RCEP adalah blok ekonomi terbesar di dunia, mencakup hampir setengah dari ekonomi global. Menurut perkiraan oleh lembaga analis PricewaterhouseCoopers (PwC), Produk Domestik Bruto (PDB, PPP) dari negara-negara anggota RCEP kemungkinan berjumlah hampir US$ 250 triliun pada tahun 2050, atau seperempat dari empat miliar dolar, dengan gabungan PDB China dan India lebih dari 75 persen dari jumlah. Bagian RCEP dari ekonomi global dapat mencapai setengah dari PDB global (PPP) diperkirakan US$ 0,5 kuadriliun pada tahun 2050.
"Terlepas dari masalah ekonomi domestik mereka, terlepas dari persengketaan mereka dengan negara lain atas berbagai isu, China adalah salah satu penyedia solusi untuk negara-negara di kawasan sekitarnya, untuk perdagangan hingga pendidikan," lanjut Dino.
"Kita harus mengakui bahwa China memang 'sebuah penyedia solusi' dan kita harus adil melihat perkembangan pesat mereka selama ini."
Advertisement