Transisi Pemerintahan Negeri Jiran Bawa Angin Segar Kebebasan Pers Malaysia

Pers Malaysia boleh dibilang sedikit lega usai Najib Razak kalah dari Mahathir Mohamad --dalam pemilihan umum Mei 2018.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 18 Feb 2019, 21:28 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2019, 21:28 WIB
Penasihat Eksekutif Editorial Sinar Harian, Abdul Jalil di kantor kumpulan media Karangkraf, Shah Alam. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)
Penasihat Eksekutif Editorial Sinar Harian, Abdul Jalil di kantor kumpulan media Karangkraf, Shah Alam. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)

Liputan6.com, Shah Alam - Indonesia dan Malaysia adalah negara serumpun, sedikit banyak ada kesamaan antara dua negara tersebut. Baik dari segi budaya maupun sejumlah hal lainnya. Bagaimana soal kebebasan pers di sana?

Dalam sebuah kesempatan yang diprakarsai oleh Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia - Indonesia (Iswami), rasa penasaran perihal tersebut pun akhirnya bisa terjawab. Dalam perbincangan singkat bersama Penasihat Eksekutif Editorial Sinar Harian, Abdul Jalil.

Di sela-sela sesi kunjungan ke kumpulan media cetak terbesar di Malaysia, Karangkraf, ia bercerita singkat tentang kebebasan pers di Negeri Jiran.

"Terus terang saja, kalau dibanding dengan Indonesia, kita tidak sebebas itu. Tetapi setelah Mahathir ambil alih, kelihatannya kita lebih liberal dari segi pers, tidak dikawal seperti dulu," kata Abdul di kantor Sinar Harian di Shah Alam, Kamis 14 Februari 2019 lalu. 

Abdul menjelaskan bahwa pers Malaysia boleh dibilang sedikit lega usai Najib Razak kalah dari Mahathir Mohamad --dalam pemilihan umum Mei 2018. Setelah itu, pers yang tadinya begitu dikendalikan pemerintahan Najib menjadi lebih bebas di bawah kepemimpinan Dr.M .

Menurut Abdul, meski pers menjadi lebih bebas di Malaysia, ia mengingatkan bahwa kondisi tersebut harus dimanfaatkan dengan baik dalam koridor positif.

"Sebagai wartawan senior, saya selalu mengingatkan bahwa kebebasan pers itu harus digunakan sebaik mungkin kebebasan itu bukan untuk menghantam apa saja tanpa alasan yang cukup."

Abdul menekankan bahwa tak hanya di Malaysia, pers di semua negara harus tetap menekankan pada kredibilitas dan juga berimbang atau cover both sides.

"Kalau bentuk korupsi kita lawan habis-habisan, tetapi kita tidak bisa menyebut seseorang itu koruptor... artinya kebebasan itu harus digunakan sebaik mungkin, supaya kita tak menyebarkan fitnah dan fake news," jelas dia.

"Saya selalu percaya kebebasan pers itu perlu untuk sebuah negara. Karena itu, publik boleh mengharapkan yang terbaik dari wartawan," imbuhnya.

 

Saksikan juga video berikut ini:

Generasi Milenial Mampu Memperkuat Hubungan Baik Malaysia - Indonesia

Forum diskusi jurnalis Malaysia - Indonesia di Hotel Everly, Putrajaya, 12 Februari 2019 malam. (Dokumentasi Iswami)
Forum diskusi jurnalis Malaysia - Indonesia di Hotel Everly, Putrajaya, 12 Februari 2019 malam. (Dokumentasi Iswami)

Sementara itu, hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia saat ini terjalin baik. Hal itu tentu tak lepas dari upaya saling menjaga kedua negara.

Salah satu yang melakukan upaya membina hubungan baik dengan Negeri Jiran dan Tanah Air adalah Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia - Indonesia (Iswami).

Iswami telah berkontribusi dalam menjaga hubungan baik kedua negara sejak 10 tahun terakhir. Saat masyarakat kedua negara bersitegang atas berbagai hal, termasuk soal budaya dan perbatasan wilayah.

Meski demikian menurut Ketua Iswami Indonesia, Asro Kamal Rokan, mengatakan bahwa hubungan di tingkat pemimpin Indonesia dan Malaysia masih berjalan baik sebagaimana mestinya.

Atas dasar rasa khawatir melihat guncangan terhadap masyarakat kedua negara, Asro dan sejumlah rekan jurnalis Indonesia dan Malaysia memutuskan berkumpul untuk mencari sebuah solusi. Pertemuan antar wartawan Indonesia dan Malaysia digelar di Hotel Mulia Jakarta.

Lalu terlahirlah Iswami, sebagai hasil dari rembuk dan saling bertukar pandangan.

Asro mengaku sejatinya tak mudah mewariskan semangat menjaga hubungan baik Indonesia dan Malaysia kepada generasi milenial. Mengapa? Alasannya karena para kaum milenial yang berusia 20 hingga 30-an cenderung bersikap individual.

"Mungkin adik-adik kita ini hanya menganggap Indonesia, ya Indonesia saja. Malaysia, ya Malaysia saja. Dua negara terpisah. Mereka tidak memahami ada akar hubungan kuat di balik itu," papar Asro pada forum diskusi jurnalis Malaysia - Indonesia di Hotel Everly, Putrajaya, 12 Februari 2019 malam.

Padahal menurutnya, kedua negara tersebut memiliki banyak sekali persamaan dan kedekatan historis. Meskipun ada gesekan dan perselisihan kerap terjadi antar Indonesia dan Malaysia, tapi jangan sampai hal tersebut merusak hubungan kedua negara.

"Indonesia dan Malaysia boleh-boleh saja bersaing, tapi tidak boleh ada pertentangan," kata Asro. "Suatu saat nanti kita pasti akan mati, tapi hubungan (Indonesia dan Malaysia) harus tetap abadi," papar dia.

Menurutnya, para kaum milenial dipandang sebagai generasi krusial untuk menjaga serta meningkatkan hubungan baik Malaysia dengan Indonesia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya