Liputan6.com, Jakarta - Hingga kini penyebab pasti kecelakaan Lion Air JT 610 belum diketahui. Penyelidikan masih dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang dibantu para investigator asing. Masih butuh waktu lama sebelum keputusan final dibuat.
Alat perekam suara kokpit atau cockpit voice recorder (CVR) dan perekam data penerbangan atau flight data recorder (FDR) dijadikan penunjuk untuk menguak misteri penyebab kecelakaan yang menewaskan 189 orang pada Senin 29 Oktober 2018.
Apa isinya, belum dikuak secara resmi. Namun tiga sumber yang mengaku mengetahui isi instrumen perekam suara kokpit kepada Reuters menguak soal isi bocoran VCR. Namun, Reuters tak mendapatkan akses ke transkrip percakapan tersebut.
Advertisement
Seperti dikutip dari NDTV, Rabu (20/3/2019), pilot dan kopilot pesawat dengan nomor registrasi PK-LQP itu diduga sempat membuka-buka buku panduan. Mereka berjuang keras untuk memahami mengapa kapal terbang itu meluncur ke bawah. Terjun bebas.
Namun, mereka kehabisan waktu. Boeing 737 MAX 8 itu terlanjur menghantam air dan berakhir di Laut Jawa. Ini adalah kali pertamanya informasi terkait VCR Lion Air JT 610 terekspos ke publik.
Kabar soal proses penyelidikan Lion Air JT 610 muncul pada momentum di mana regulator penerbangan sipil Amerika Serikat atau Federal Aviation Administration (FAA) dari badan-badan sejenis mengandangkan MAX 8 pekan lalu, pascakecelakaan yang menimpa Ethiopian Airlines.
Baca Juga
Para penyelidik yang sedang menginvestigasi kecelakaan JT 610 sedang mencari tahu bagaimana sistem komputer yang ada dalam produk terlaris besutan Boeing itu memerintahkan pesawat untuk menurun (to dive) untuk merespons data dari sensor yang keliru.
Para penyelidik juga sedang mencari tahu faktor lain, termasuk apakah para pilot mendapatkan pelatihan yang cukup untuk merespons kondisi darurat semacam itu.
Para sumber terkait isi perekam suara kokpit penerbangan Lion Air meminta identitasnya dianonimkan.
Pihak maskapai Lion Air sejauh ini belum berkomentar terkait informasi tersebut. "Semua data dan informasi telah diberikan kepada penyelidik," itu yang mereka katakan pada Reuters.
Simak pula video pilihan berikut:
Saat-Saat Terakhir
Kapten pilot, Bhavje Suneja memegang kendali saat Lion Air Penerbanan JT610 lepas landas dari Jakarta. Sementara, sang kopilot, Harvino menangani komunikasi radio, demikian berdasarkan hasil laporan awal yang dikeluarkan November lalu.
Baru dua menit terbang, kopilot melaporkan terjadinya masalah dalam kendali pesawat ke pihak pengatur lalu lintas udara atau air traffic control (ATC). Ia juga mengatakan, pilot berupaya memertahankan ketinggian pesawat di 5.000 kaki.
Kopilot tak menyebut detil masalah apa yang mereka hadapi. Namun, salah satu sumber mengatakan, soal airspeed muncul dalam CVR.
Sementara, sumber kedua mengatakan, indikator menunjukkan masalah pada display di sisi kapten penerbang, bukan di sisi kopilot. Airspeed indicator berfungsi menunjukkan kecepatan gerak pesawat terhadap udara di sekelilingnya.
Kapten kemudian meminta kopilot memeriksa buku panduan, yang berisi petunjuk apa yang harus dilakukan dalam situasi abnormal, tambah sumber pertama.
Dalam sembilan menit berikutnya, sistem dalam pesawat memperingatkan pilot akan terjadinya stall, dan meresponnya dengan menurunkan hidung pesawat.
Stall adalah kondisi saat gaya angkat sayap tiba-tiba turun secara drastis dan drag meningkat ekstrem.
Kapten penerbang berjuang keras untuk meningkatkan ketinggian pesawat (climb). Namun, komputer -- yang terus salah mengartikan adanya stall -- terus menurunkan hidung pesawat menggunakan sistem trim (trim system).
Normalnya, trim menyesuaikan kendali permukaan pesawat untuk memastikannya terbang lurus dan datar.
"Mereka sepertinya tak tahu bahwa trim bergerak turun," kata sumber ketiga. "Mereka hanya fokus memikirkan airspeed dan altitude (ketinggian). Hanya itu yang mereka bicarakan.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari pihak Boeing Co, produsen pesawat MAX 8. Alasannya, penyelidikan masih berlangsung.
Advertisement
Allahu Akbar!
Pilot JT 610 dilaporkan tenang selama menit-menit penerbangan terakhirnya. Demikian menurut ketiga sumber. Ia bahkan meminta kopilot mengecek manual untuk menemukan solusi.
Sekitar semenit sebelum pesawat menghilang dari radar, kapten meminta pada pihak ATC untuk memastikan lalu lintas kapal terbang lain di bawah 3.000 kaki clear alias bersih. Ia juga meminta ke ketinggian 'five thou' atau 5.000 kaki, yang diizinkan pihak ATC.
Ketika kapten berusia 31 tahun itu berupaya keras menemukan prosedur yang tepat di buku panduan, kopilot yang berusia 41 tahun tak kuasa mengendalikan pesawat -- demikian menurut dua dari tiga sumber.
Perekam data penerbangan (FDR) menunjukkan, input kolom kendali akhir kopilot lebih lemah daripada yang dibuat sebelumnya oleh kapten.
"Ini seperti ujian di mana ada 100 pertanyaan, Namun, ketika waktu habis Anda hanya bisa menjawab 75," kata sumber ketiga. "Jadi, Anda panik. Itu kondisi time-out."
Menurut tiga sumber, kapten yang berkewarganegaraan India hanya diam. Sementara, kopilot menyerukan takbir, Allahu Akbar. Tak lama kemudian, pesawat menghantam air.
Sebelumnya, badan penyelidik kecelakaan Prancis atau BEA mengatakan, apa yang ada pada CVR Ethiopian Airlines yang celaka dan menewaskan 157 orang menunjukkan 'kesamaan yang jelas' dengan tragedi yang menimpa Lion Air.
Sejak kecelakaan Lion Air, Boeing berupaya memperbarui perangkat lunak atau software untuk mengubah level otoritas yang diberikan pada Manoeuvring Characteristics Augmentation System atau MCAS, sistem anti-stall yang dikembangkan untuk 737 MAX.
Di pesawat yang sama, malam sebelum PK-LQP dipakai dalam penerbangan JT 610, seorang kapten Batik Air, sister carrier Lion Air, berada di kokpit dan berhasil mengatasi masalah serupa, demikian diungkap dua sumber.
Kehadirannya dalam penerbangan itu kali pertama diungkap Bloomberg. Informasi tersebut sama sekali tak diungkap dalam laporan awal yang dirilis KNKT -- yang juga dilaporkan belum memasukkan data dari CVR yang ditemukan Januari 2019 lalu