Liputan6.com, Wellington - Insiden pembantaian massal terjadi pada Jumat, 15 Maret 2019. Saat itu, dua masjid yang berdekatan di Kota Christchurch, Selandia Baru, menjadi target serangan teror. Seorang laki-laki warga negara Australia ditahan sebagai tersangka serangan yang menewaskan 50 korban jiwa tersebut.
Beberapa jemaah yang selamat dari tragedi menuturkan kesaksian kepada media. Salah satu dari mereka adalah Nathan Smith, seorang pria warga negara Inggris yang menjadi mualaf sejak 13 tahun lalu.
Advertisement
Baca Juga
Ayah tiga anak itu sebelumnya mengira ada bunyi petasan di luar Masjid Al Noor, atau sekedar permasalahan listrik saat imam mulai melantunkan bacaan.
"Kemudian, tiba-tiba, itu terdengar semakin keras dan kian kencang," kata Smith, mengutip BBC News pada Kamis (21/3/2019).
"Jendela (pecah) ke luar, saya dapat melihat orang-orang jatuh ke depan. Orang-orang yang berdiri tiba-tiba jatuh," lanjutnya.
Saat itu ia sadar bahwa sesuatu yang serius tengah terjadi.
Allahu Akbar
Menurut kesaksian Smith, para korban yang berjatuhan ke lantai lalu mengucap takbir. "Allahu Akbar" adalah kalimat yang diucapkan para jemaah saat ditembak oleh pelaku dengan sadis.
Ia segera melarikan diri ke bagian belakang masjid, menuju ke mobilnya di tempat parkir sambil menghubungi kepolisian dengan nomor 111.
Di tempat parkir ia melihat Farid Ahmed, seorang imam masjid yang baru-baru ini menjadi sorotan karena mengatakan telah memaafkan pelaku serangan masjid di Selandia Baru. Farid saat itu bersembunyi di bagian belakang sebuah mobil, duduk di kursi rodanya.
Smith juga melihat seorang laki-laki yang sering membantu di masjid justru kembali menuju ke arah dalam, dan ia tak pernah terlihat ke luar setelahnya.
Beberapa saat kemudian, ia mendengar seseorang mengatakan pelaku penembakan tengah keluar. Ia segera memanjat dinding, melarikan diri.
"Aku bukannya takut, itu hanya reaksi. Aku hanya pergi," katanya.
Setibanya di luar, ia melihat perempuan terbaring di jalan samping masjid.
"Saya tahu dia telah tertembak ... orang-orang ke luar dari masjid berteriak dan menangis, mereka ditembak. Saya mencopot baju saya, meletakkannya di perempuan itu," kata Smith. Saat itu ia tahu bahwa wanita itu telah meninggal.
Smith menambahkan bahwa orang-orang yang sudah ia anggap sebagai "keluarga kedua"-nya, juga turut terbunuh dalam serangan di masjid Christchurch, Selandia Baru.
Â
Simak pula video pilihan berikut:
Bayangan Selalu Terlintas
Smith mengatakan dirinya susah untuk tidur sejak tragedi yang terjadi pada Jumat, 15 Maret lalu. Ia selalu terbayang dengan ingatan tentang para korban, serta bau dan suara di tempat kejadian.
"Emosi itu selalu datang. Kamu baik-baik saja selama beberapa menit atau satu jam dan kemudian (ingatan) itu datang kembali dan kamu mengingat sesuatu yang kamu tidak ingat sebelumnya," tuturnya.
"Lima puluh orang meninggal. Dan jasad-jasad bertumpuk satu sama lain. Orang-orang jatuh. Jendela (pecah) ke luar. Saya tidak bisa menjelaskannya."
Ia juga mengaku tidak tahu, mengapa dirinya dapat selamat di saat puluhan jemaah lain tewas sebagai korban.
"Bagaimana saya bisa selamat saya tidak tahu. Semua teman saya meninggal dan saya tidak tergores," tuturnya.
Pada kesempatan itu, ia menyatakan bangga terhadap warga Selandia Baru yang merespons insiden.
"Orang-orang di sini telah sangat baik. Mereka telah menjaga kami," pungkasnya.
Advertisement