Utusan AS: Perdamaian di Afghanistan Tergantung pada Iktikad Taliban

Utusan khusus AS untuk perdamaian Afghanistan sebut konflik berakhir tergantung pada gencatan senjata Taliban.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 29 Apr 2019, 11:34 WIB
Diterbitkan 29 Apr 2019, 11:34 WIB
Utusan khusus AS untuk perdamaian Afghanistan, Zalmay Khalilzad (AP/David Karp)
Utusan khusus AS untuk perdamaian Afghanistan, Zalmay Khalilzad (AP/David Karp)

Liputan6.com, Kabul - Utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk perdamaian Afghanistan, Zalmay Khalilzad mengatakan, berakhirnya konflik di negara Timur Tengah itu bergantung pada deklarasi gencatan senjata permanen oleh Taliban.

Dalam sebuah wawancara dengan Tolo News, stasiun televisi swasta terbesar Afghanistan pada Minggu 28 April, Khalilzad juga mengatakan bahwa tuntutan Taliban untuk gencatan senjata turut berfokus pada penarikan pasukan AS dari negara itu.

Namun, Khalilzad mengatakan, "Jika Taliban bersikeras untuk kembali ke sistem yang dulu mereka miliki, menurut pendapat pribadi saya, itu berarti kelanjutan perang, bukan perdamaian," ujarnya sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Senin (29/4/2019).

"Fokus kami adalah pada terorisme. Tidak ada kesepakatan yang akan dilakukan jika kami tidak melihat gencatan senjata permanen dan komitmen untuk mengakhiri perang," tambahnya.

"Kami mencari perdamaian dan penyelesaian politik ... Kami ingin perdamaian memberi kami (AS) kemungkinan untuk mundur."

Khalilzad telah mengisyaratkan kemajuan dalam pembicaraan yang diadakan di Doha, antara Taliban dan pemerintah AS.

Pembahasan tersebut berpusat pada Taliban, yang menjamin Afghanistan tidak akan pernah lagi dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk serangan terhadap tanah asing, sebagai imbalan atas penarikan pasukan asing pada akhirnya.

Tetapi perundingan tidak menyertakan anggota pemerintah Afghanistan, yang dipandang Taliban sebagai "rezim boneka".

Penting Berkomunikasi dalam Dialog Intra-Afghanistan

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov (dua dari kanan) menjadi mediator dalam pertemuan antara pejabat Taliban dengan para politikus Afghanistan di Moskow (AP/Pavel Golovkin)
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov (dua dari kanan) menjadi mediator dalam pertemuan antara pejabat Taliban dengan para politikus Afghanistan di Moskow (AP/Pavel Golovkin)

Utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk perdamaian Afghanistan, Zalmay Khalilzad tiba di ibu kota Kabul pada Sabtu 27 April, untuk bertemu Presiden Ashraf Ghani menjelang pertemuan berikutnya dengan Taliban di Qatar, dalam beberapa hari mendatang.

Ghani juga telah mengadakan pertemuan konsultatif akbar sesuai tradisi Afghanistan, yang dikenal sebagai Loya Jirga, pada Senin 29 April 2019.

Pertemuan tradisional para tetua, cendekiawan agama, dan warga Afghanistan terkemuka itu akan dihadiri oleh lebih dari 3.000 orang di tengah pengamanan ketat selama empat hari di Kabul.

Adpaun pokok pembahasannya adalah perdamaian di Afghanistan dan langkah-langkah selanjutnya dalam mendorong pembicaraan langsung dengan Taliban.

Khalilzad mengatakan sangat penting semua pihak berkomunikasi dalam "dialog intra-Afghanistan" tersebut. Pertemuan semacam itu seharusnya dilakukan di Doha bulan ini, tetapi gagal di tengah pertengkaran tentang daftar tamu.

Khalilzad, diplomat AS kelahiran Afghanistan itu menambahkan Washington "sediki tidak sabar" untuk mengakhiri perang, mengingat hal tersebut memicu biaya tahunan hingga US$ 45 miliar, atau setara Rp 638 triliun.

AS memiliki sekitar 14.000 tentara di Afghanistan sebagai bagian dari misi pimpinan NATO, yang dikenal sebagai Resolute Support, yang melatih dan membantu pasukan keamanan pemerintah Afghanistan dalam pertempuran melawan Taliban dan kelompok-kelompok bersenjata seperti ISIS dan Al Qaeda.

AS Ingin Segera Mengakhiri Perang Afghanistan

Pasukan keamanan Afghanistan berjibaku melawan serangan Taliban (AP/Mossoud Hossaini)
Pasukan keamanan Afghanistan berjibaku melawan serangan Taliban (AP/Mossoud Hossaini)

Presiden AS Donald Trump ingin mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perang di Afghanistan, yang merupakan terpanjang dalam sejarah negara itu, yakni selama hampir 20 tahun pasca-serangan 11 September 2001 di New York.

Pertempuran sporadis masih terjadi di seluruh wilayah Afghanistan, dan sementara Taliban sedang bernegosiasi, mereka sekarang mengendalikan dan memengaruhi lebih banyak wilayah di negara itu sejak kekuasaan mereka dipreteli AS pada 2001.

"AS ingin mengakhiri pengeluaran mereka di Afghanistan dan bahaya yang dihadapi pasukan, tetapi juga Washington memiliki tanggung jawab dan ingin mengakhiri perang ini secara bertanggung jawab dan meninggalkan warisan yang baik", kata Khalilzad.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya