Liputan6.com, New Delhi - Majalah Time telah menempatkan PM India Narendra Modi pada halaman muka dari isu internasionalnya, serta memperdebatkan apakah pemerintahannya membawa manfaat untuk India.
Sebuah artikel yang kritis oleh Aatish Taseer mempertanyakan apakah "kualitas pada diri Modi" yang berhasil memenangkan dirinya pada pemilihan pada 2014 masih berlaku sekarang, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (12/5/2019).
Advertisement
Baca Juga
Katanya, pemilihan 2014 di India merupakan pemilihan yang sarat harapan, sementara pemilihan pada 2019 berlangsung diantara konstituen yang terobsesi oleh perbedaan di antara mereka.
Tulisan Taseer mengatakan, Modi gagal memenuhi janji-janjinya, tetapi Ian Bremmer, berpendapat lain dan menulis artikel lain dalam terbitan yang sama berjudul "Modi adalah Harapan Terbaik India bagi Reformasi Ekonomi."
Kata Bremmer, meskipun catatan kinerja ekonomi Modi tidak sepenuhnya sukses, dia adalah pribadi paling mampu untuk membawa perubahan di India. Dia memuji karya Modi dalam pembangunan domestik, dan diakui bahwa Modi berhasil memperbaiki kehidupan dan prospek dari jutaan rakyat India.
Selain itu menurutnya, Modi juga berhasil memperbaiki hubungan dengan China, Amerika dan Jepang.
Pemilu India jadi Sorotan
Sebelumnya, India jadi sorotan karena tengah menggelar pemilihan umum terbesar di dunia, di mana lebih dari 900 juta orang memenuhi syarat untuk memberikan suaranya pada 11 April hingga 19 Mei.
Meski pemilihan umum ini mengusung kebebasan politik, sebagian masyarakat India tidak diberi akses ke internet selama berhari-hari ketika mereka bersiap untuk memberikan suara, demikian sebagaimana dikutip dari CNN.
Sejak pemungutan suara dimulai bulan lalu, pemblokiran akses internet seluler telah dilaporkan terjadi di lebih dari 30 wilayah di negara bagian Rajasthan, Benggala Barat, dan Kashmir yang dikelola India, lapor Software Freedom Law Center (SFLC) yang berbasis di Delhi.
Menurut SFLC, pada 18 April, pihak berwenang di distrik Srinagar dan Udhampur, negara bagian Kashmir yang dikelola India, menangguhkan akses internet seluler selama pemungutan suara, "sebagai langkah untuk menjaga hukum dan ketertiban".
Ini sejalan dengan peningkatan besar-besaran penutupan internet --baik seluler maupun akses penuh-- di India dalam beberapa tahun terakhir. Jumlahnya meningkat dari 79 kali pada 2017, menjadi lebih dari 130 perintah tahun lalu.
Rakesh Maheshwari, juru bicara Kementerian Elektronika dan Teknologi Informasi India, mengatakan bahwa penutupan internet biasanya dilakukan oleh otoritas negara karena "skenario hukum dan ketertiban".
Tren ini menimbulkan kekhawatiran besar tentang komitmen India terhadap kebebasan internet, khususnya selama pemilihan umum, ketika akses masyarakat terhadap informasi bahkan lebih penting daripada biasanya.
"Penutupan Internet mengganggu kehidupan sehari-hari warga di daerah yang terkena dampak. Kebijakan itu menjadi penghalang bagi pelaksanaan hak asasi manusia," kata analis SFLC Sukarn Singh Maini.
"Demokrasi fungsional tergantung pada kemampuan warga negara untuk menggunakan kebebasan berbicara, termasuk kemampuan untuk secara bebas mengakses informasi," lanjutnya prihatin.
Sabotase akses internet juga disebut berisiko menyebabkan kerusakan ekonomi.
Menurut sebuah studi tahun 2018 oleh ICRIER, lembaga think tank yang berbasis di Delhi, gabungan 16.315 jam penutupan internet antara 2012 dan 2017 bisa membuat nilai ekonomi India naik hingga US$ 3 miliar.
"Ketika kehidupan kita mulai banyak bergerak secara online, maka bisnis, lembaga pendidikan dan pemerintah dengan sendirinya tumbuh bergantung pada internet, untuk pelaksanaan aktivitas sehari-hari," kata Maini.
Advertisement