Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyerukan agar "semua pihak berkontribusi pada stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah". Hal itu disampaikannya saat menerima lawatan Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif di Jakarta, Jumat (6/9/2019).
"Menegaskan kembali posisi prinsip Indonesia, kami (RI) ingin melihat Timur Tengah sebagai kawasan yang damai, stabil dan sejahtera," kata Retno dalam konferensi pers bersama Zarif di Kemlu RI.
(BACA JUGA:Â Laporan PBB: Negara Barat dan Iran Lakukan Kejahatan Perang di Yaman)
Advertisement
Beberapa prinsip itu antara lain, "konsisten menjunjung tinggi penghormatan terhadap kedaulatan wilayah dan non-intervensi pada urusan dalam negeri negara lain."
"Indonesia meyakini bahwa tidak akan ada perdamaian dunia jika tidak ada perdamaian di Timur Tengah," jelasnya.
Retno juga mengatakan bahwa RI mengharapkan semua pihak ikut berkontribusi dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah dengan cara dialog.
"Berbagai perbedaan dan konflik di Timur Tengah penting untuk segera diselesaikan melalui dialog," kata Retno.
Seruan itu datang dalam konteks di mana sejumlah negara Timur Tengah terlibat dalam konflik proksi, seperti di Yaman dan Suriah.
Soal perang berlarut di Yaman, tim pelapor untuk Komisi Tinggi HAM PBB (OHCHR) menyebut bahwa Inggris, Amerika Serikat, Prancis dan Iran mungkin terlibat dalam kemungkinan kejahatan perang di Yaman atas dukungan mereka bagi pihak-pihak yang terlibat konflik di sana.
Sementara itu, mencuat pula tensi baru di perairan Teluk Persia, setelah AS dan sekutu Barat mengumumkan ingin membentuk "kelompok patroli maritim" di sana. Pembentukan patroli maritim itu ditujukan dalam merespons insiden penyanderaan kapal tanker minyak berbendera Inggris oleh Iran.
Penyanderaan kapal tersebut pun dilakukan oleh Iran demi merespons langkah Inggris yang menyandera kapal tanker Iran di perairan Gibraltar --teritori Inggris di Eropa barat daya.
Insiden saling sandera kapal tersebut merupakan ekses dari ketegangan perihal pakta multilateral limitasi nuklir Iran (JCPOA) yang dipicu oleh keluarnya AS --selaku penandatangan-- dari kesepakatan. Usai langkah itu, AS kembali menerapkan dan menambah sejumlah sanksi ekonomi kepada Iran.
Negeri Persia mengecam keras langkah AS, menyebutnya sebagai langkah unilateral yang disengaja demi melemahkan perekonomian Teheran.
Menlu Iran Mengafirmasi Seruan Dialog
Pada gilirannya, Menlu Zarif mengafirmasi pentingnya opsi dialog sebagai cara untuk menyelesaiakan "persoalan di kawasan Timur Tengah dan Teluk Persia."
"Saya sampaikan kepada beliau (Retno) bahwa kami telah mempertimbangkan opsi untuk dialog dan negosiasi yang inklusif ... dengan negara tetangga, negara se-kawasan, dan negara dari kawasan lain."
"Keamanan (di kawasan) hanya bisa dicapai melalui dialog dan kerja sama yang inklusif."
"Kami telah mengajukan hal (dialog dan negosiasi) tersebut dan menyerukan semua untuk terlibat di dalamnya."
Advertisement
Iran Minta Bantuan RI Dorong Pakta Nuklir Multilateral Kembali Efektif
Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif meminta Indonesia mendorong negara-negara penandatangan pakta limitasi nuklir Iran untuk kembali mematuhi perjanjian tersebut. Hal itu disampaikannya dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di Jakarta, Jumat 6 September.
Menimpali, Indonesia menyatakan keinginan agar pakta tersebut bisa kembali berjalan "secara penuh dan efektif."
Permintaan itu datang di tengah eskalasi perihal Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kesepakatan limitasi untuk mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklir --yang ditandatangani oleh Iran bersama Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, China, Jerman dan Uni Eropa pada 2015. Â
Awal ketegangan dipicu oleh langkah Amerika Serikat --selaku salah satu penandatangan-- yang menarik diri dari pakta tersebut pada pertengahan 2018.
Menjustifikasi langkah unilateralnya, AS menuduh bahwa Iran telah melanggar sejumlah klausul dalam JCPOA, seperti: menambah produksi uranium yang diperkaya (enriched uranium, bahan baku nuklir) hingga melewati persentase limitasi yang ditentukan pakta (ambang batas limitasi maksimum adalah 3,67), hingga tuduhan mensponsori terorisme dan kelompok bersenjata di sejumlah wilayah konflik di Timur Tengah.
Sebagaimana diatur dalam JCPOA, kepatuhan Iran dibalas dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan --di mana masing-masing dari mereka pernah memberlakukan sanksi ekonomi sebelum adanya pakta yang diteken pada 2015.
Namun, ketika AS keluar pada 2018, Washington DC kembali menerapkan dan menambah sejumlah sanksi baru kepada Iran.
Teheran mengecam langkah AS, sekaligus membantah segala tuduhan dari DC bahwa mereka telah melanggar JCPOA. Negeri Persia juga menuding bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump "mencari-cari alasan" agar bisa kembali menjatuhkan sanksi kepada Iran, sekaligus melemahkan perekonomiannya.
Menyikapi keluarnya AS dari JCPOA, Iran mengumumkan akan melakukan pengayaan uranium bertahap hingga melewati ambang batas 3,67. Pada Juli 2019, Iran menetapkan target peningkatan sampai 5 persen (bahkan lebih) jika AS tidak kembali ke perjanjian hingga tenggat waktu 60 hari yakni pada September 2019.
Tak ingin perjanjian itu hancur, Prancis dan Uni Eropa telah mengadakan sejumlah pembicaraan diplomatik dengan Iran untuk mengkaji ulang klausul JCPOA serta membantu Teheran meringankan dampak sanksi yang diberikan AS. Iran pun proaktif dan terbuka dalam melakukan langkah-langkah diplomasi tersebut.
Negeri Persia juga menekankan bahwa diplomasi masih menjadi pilihan, asalkan sanksi Amerika Serikat terhadap Iran dicabut dan DC kembali menjadi bagian dari JCPOA.
Sementara itu, Presiden Trump menyatakan kesediannya untuk berunding dengan Iran terkait JCPOA, namun, menyatakan ketidaksukaan atas langkah Teheran yang kembali melakukan pengayaan uranium bertahap --menganggapnya sebagai bentuk pemerasan.