Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, mengkritik secara tersirat proposal terbaru yang ditawarkan Amerika Serikat untuk perdamaian Israel - Palestina.
Sementara, ia menegaskan kembali dukungan Iran pada proposal perdamaian yang telah lama diusulkan oleh mayoritas komunitas internasional, termasuk konsisten dikampanyekan oleh Indonesia, yakni; solusi dua negara atau Two-State Solution, serta Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina masa depan.
Pernyataan itu disampaikan saat konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, saat lawatannya ke Kemlu RI, Jakarta, pada Jumat 6 September 2019.
Advertisement
"Kami percaya, upaya terkini (soal perdamaian Israel-Palestina) adalah sebuah solusi 'real estate' (properti) terhadap Palestina," jelasnya, menyindir proposal 'Deal of the Century' dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump --di mana porsi ekonomi dari usulan tersebut telah dibahas di Manama, Bahrain pada Juni 2019, namun, tak membuahkan hasil realistis dan solutif.
Sementara aspek politik 'deal of the century' baru akan diungkap pada September 2019. Belum ada bocoran soal apa isinya.
(BACA JUGA:Â HEADLINE: Deal of the Century Ala Donald Trump, Solusi Atau Modus 'Membeli' Palestina?)
Kendati demikian, proposal yang digawangi oleh penasihat kepresidenan AS, Jared Kushner --menantu Trump sekaligus pebisnis properti-- tak hanya dikecam oleh Palestina, namun juga dikritik oleh sebagian besar komunitas internasional.
Mereka menilai bahwa Kushner bertendensi untuk mengupayakan perdamaian Israel-Palestina hanya dari segi ekonomi dan bisnis, sementara mengabaikan persoalan politik dan sosial yang telah lama mengakar, seperti: status Yerusalem, status pengungsi Palestina, hak untuk kembali (the Rights of Return) para pengungsi Palestina yang terusir akibat pendudukan Israel di tanah Palestina sejak Perang 1967, blokade Israel di Gaza, hingga permukiman ilegal Israel di Tepi Barat.
"(Proposal) itu rentan gagal," kata Zarif yang melanjutkan bahwa Palestina bukan sebuah properti, melainkan "tujuan dan aspirasi nasional bagi Dunia Muslim."
"Palestina bukan sebuah properti (real estate), tidak bisa dijual-belikan," jelasnya.
Aspirasi warga Palestina, lanjut Zarif, "tidak bisa dihapus oleh sebuah kesepakatan bisnis semata. Hak Palestina harus dihargai, termasuk untuk hak menentukan nasib sendiri, hak atas pendirian sebuah negara, dan hak atas Yerusalem sebagai ibu kota negara Palestina."
Kata Menlu Retno
Pada gilirannya, Menlu RI Retno Marsudi mengatakan bahwa isu Palestina "salah satu isu yang perlu terus menjadi perhatian dunia," termasuk oleh Iran dan Indonesia.
"Indonesia secara konsisten menekankan bahwa solusi dua negara merupakan satu-satunya solusi, jika kita ingin melihat perdamaian yang lestari."
Menimpali, Menlu Zarif mengatakan bahwa Iran dan Indonesia "selalu memiliki posisi yang sama" terkait isu Palestina.
Kesamaan sikap RI - Iran pada isu Palestina juga tercermin di sejumlah pembicaraan atas isu serupa di berbagai platform multilateral, seperti Organisasi Kerja Sama Negara-Negara Islam (OKI), Gerakan Non-Blok, dan PBB.
Advertisement
Sekilas Deal of the Century
Peace to Prosperity - The Economic Plan: A New Version of the Palestinian People merupakan nama resmi dari porsi ekonomi 'deal of the century' perdamaian Israel-Palestina yang digagas AS pada presidensi Donald Trump.
Proposal ekonomi yang ditawarkan AS berisi soal paket kebijakan bernilai sekitar US$ 50 miliar - US$ 60 miliar yang mayoritas akan mengalir ke Palestina dan sisanya ke negara-negara yang berbatasan langsung, seperti Mesir, Lebanon dan Yordania.
Dana itu akan digunakan untuk berbagai proyek pengembangan ekonomi hingga infrastruktur. Jalan-jalan akan dibangun, pun dengan pembangkit listrik dan pariwisata. Wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza yang kini terpencar, bakal dijembatani. Satu juta lapangan kerja konon akan dibuka.
Meski terdengar menggiurkan, Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza tak sudi menerima.
Alasannya, iming-iming itu dianggap konspirasi Donald Trump dan Israel untuk "membeli Palestina" dan membuat mereka tunduk pada berbagai negosiasi politik yang pasti jadi buntutnya.
"Amerika membelokkan penyebab semua ini, dari masalah politik menjadi masalah ekonomi. Kami tidak dapat menerimanya," kata Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Di sisi lain, beberapa pihak di Israel juga tak menyambut hangat aspek ekonomi dalam proposal yang diajukan AS. Dalih mereka, itu tak memenuhi persyaratan yang mereka ajukan, seperti 'hak' untuk menganeksasi Tepi Barat dan memperluas proyek permukiman mereka di wilayah-wilayah Palestina yang diduduki.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberikan tanggapan samar atas usulan yang diajukan Amerika, mengatakan bahwa Tel Aviv "akan mendengarkan secara adil dan terbuka."
Namun, ia turut mengkritik penolakan pihak Palestina. Kata Netanyahu, itu adalah tanda bahwa mereka tidak serius dengan perdamaian.
"Saya tidak mengerti mengapa orang-orang Palestina menolak rencana itu bahkan sebelum mengetahui apa isinya," lanjut Netanyahu.
Sementara itu, beberapa kritikus telah mendiskreditkan konferensi Bahrain atau proposal perdamaian usulan AS secara keseluruhan, dengan mengatakan bahwa sulit untuk mencapai kesepakatan ekonomi tanpa dibarengi konsolidasi politik dari para pihak yang terlibat konflik Israel-Palestina.
Bahkan ada yang menyebut, Donald Trump melakukan pendekatan ala 'kolonial' untuk menyelesaikan konflik dua negara yang tak kunjung tamat.
Sejak presiden Trump menjabat, trio Jared Kushner, Jason Greenblatt, dan Friedman menjadi otak utama untuk mengerjakan proposal kesepakatan itu. Kementerian Luar Negeri AS tidak dilibatkan.
Mereka beretorika tentang niatan untuk merancang kesepakatan tentang berbagai isu seputar konflik Israel-Palestina, seperti status final yang harus disepakati antara kedua pihak dalam konflik, Yerusalem, pengungsi, permukiman, perbatasan, juga perkara keamanan.
Namun, menurut analis Timur Tengah, Muriel Asseburg dari German Institute for International and Security Affairs, "tim Trump tampak hanya berfokus terutama pada kerja sama ekonomi dan pembangunan di wilayah Palestina --yang seakan memenuhi keinginan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu."
Hal itu tercermin dari komentar Kushner pertengahan Juni ini, yang secara tersirat sengaja mengabaikan prinsip Solusi Dua Negara atau Two State Solution yang telah lama diadvokasi Amerika Serikat pada masa lalu dan negara-negara anggota PBB untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.
Kushner menjelaskan bahwa "Ada perbedaan antara keinginan para teknokrat dan ada perbedaan di antara keinginan orang-orang. Para teknokrat berfokus pada hal-hal yang sangat teknokratis dan ketika saya berbicara dengan orang-orang Palestina, yang mereka inginkan adalah kesempatan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, kesempatan untuk membayar hipotek mereka," ujarnya seperti dikutip dari Vox.
Saat ditekan apakah orang-orang Palestina bisa merdeka dari pemerintahan dan campur tangan militer Israel, Kushner mengatakan, "itu tujuan utamanya."
Kushner juga urung mengatakan apakah Palestina harus memiliki negara merdeka sendiri dengan ibukota di Yerusalem Timur. Dan tampaknya, suami Ivanka Trump itu ingin membuat tujuan akhir dari proposal perdamaian yang ditawarkan AS hanyalah tentang investasi asing di Israel, Palestina dan Timur Tengah secara umum.
"Saya pikir ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintah Palestina saat ini dengan baik dan ada beberapa hal yang kurang. Dan saya sungguh berpikir bahwa agar daerah tersebut menarik bagi investor untuk datang dan ingin berinvestasi di industri dan infrastruktur yang berbeda, guna menciptakan lapangan kerja. Perlu ada sistem peradilan yang adil, kebebasan pers, kebebasan berekspresi, toleransi untuk semua agama, dan sebagainya," kata taipan real estate AS itu.