Liputan6.com, Jakarta - Kelompok gerilyawan Houthi Yaman, yang berperang melawan koalisi Saudi-Uni Emirat Arab, mengklaim sebagai pelaku serangan kilang Minyak Arab Saudi. Serangan pada Sabtu 14 September itu berdampak pada berkurangnya produksi minyak dunia hingga 5 persen.
Inggris pun merespons serangan itu dengan berkoordinasi bersama mitra internasional mereka. Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyatakan akan melakukan balasan yang "paling dahsyat dan efektif" terhadap serangan fasilitas minyak Arab Saudi itu.
Baca Juga
Raab mencuit di akun Twitternya bahwa ia telah berbicara dengan mitra dari Arab Saudi, Jerman, Prancis dan juga Amerika Serkat pada Senin 16 September.
Advertisement
"Inggris mengecam serangan terhadap fasilitas minyak Aramco di Arab Saudi. Kami akan bekerja sama dengan mitra internasional kami untuk merancang balasan yang paling dahsyat dan efektif," kata dia seperti dilansir Antara, Selasa (17/9/2019).
Koalisi pimpinan Saudi menyebutkan serangan, yang menyebabkan produksi minyak Arab Saudi merosot drastis lebih dari setengahnya sekaligus merusak pabrik pemroses minyak mentah terbesar di dunia, dilakukan dengan menggunakan senjata buatan Iran.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Respons Amerika
Presiden Amerika Serikat Donald Trump, pada Minggu 15 September, menjelaskan bahwa AS telah menyiapkan serangan potensial kepada para penyerang kilang minyak Arab Saudi akhir pekan lalu.
Seruan itu datang usai ia melakukan sambungan telepon dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, berkenan dengan serangan terhadap kilang minyak Aramco di Abqaiq, timur Saudi.
"Ada alasan untuk percaya bahwa kita (AS) tahu pelakunya," kata Trump dalam Twitnya, seperti dikutip dari Channel News Asia, Senin 16 September.
AS, kata Trump, "telah mengunci dan mengokang (locked and loaded) para pelaku, tergantung pada verifikasi."
Di sisi lain, Pangeran Salman mengatakan bahwa Arab Saudi "bisa dan mampu" melakukan serangan balasan. Trump menambahkan dalam Twitnya bahwa aksi balasan AS pada akhirnya menunggu keputusan Saudi.
"Tetapi kami sedang menunggu untuk mendengar dari Kerajaan (Arab Saudi) siapa yang mereka percaya sebagai penyebab serangan ini, dan dengan ketentuan apa kita akan melanjutkan!" lanjut Trump di Twitter.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo melempar telunjuk kepada Iran sebagai dalang sesungguhnya dari serangan terhadap Aramco. Pompeo menuduh bahwa Houthi telah sejak lama menjadi proksi Negeri Persia sepanjang Perang Yaman.
Namun, tidak ada bukti konklusif yang disajikan oleh Amerika Serikat.
Di sisi lain, baik Houthi dan Iran membantah saling terhubung terkait Perang Yaman.
Analis berpendapat, jika memang Iran terbukti mendalangi serangan, hal tersebut merupakan dampak dari ketegangan Washington-Teheran akibat pakta multilateral limitasi nuklir Iran (JCPOA 2015).
Usai keluar dari JCPOA, AS kembali memberlakukan seperangkat sanksi ekonomi berat kepada individu dan entitas Iran.
Advertisement
Nama Irak Terseret
Tuduhan yang diutarakan oleh Menlu AS Mike Pompeo juga menyebut bahwa serangan terhadap Aramco Abqaiq berasal dari Irak. Beberapa pejabat komunitas pertahanan dan intelijen AS membenarkan.
Sementara itu, Saudi menambahkan bahwa serangan dilakukan dengan menggunakan rudal jelajah.
Namun lagi, tidak ada bukti konklusif yang dipaparkan oleh para pejabat AS dan Saudi.
Jika benar rudal jelajah digunakan dalams serangan itu, maka hal tersebut tidak sesuai dengan klaim Houthi, yang mengaku melancarkan serangan dengan 10 drone.
Di sisi lain, beberapa media Irak mengatakan bahwa sumber serangan terhadap Aramco Abqaiq memang berasal dari Negeri 1001 Malam.
Namun, Baghdad membantah hal itu pada hari Minggu dan bersumpah untuk menghukum siapa pun yang menggunakan Irak --yang juga menjadi rumah bagi sejumlah kelompok paramiliter proksi Iran-- sebagai landasan peluncuran serangan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutuk serangan hari Sabtu dan meminta semua pihak untuk menahan diri dan mencegah eskalasi. Uni Eropa memperingatkan bahwa serangan itu merupakan ancaman nyata bagi keamanan regional, dan beberapa negara mendesak untuk menahan diri.