Liputan6.com, New Delhi - Semerbak aroma adonan yang baru dimasak menggoda para pengunjung di luar kebun binatang Patna, India. Bau sedap ini datang dari warung Brij Bihari Rai, seorang penjaja kaki lima di tempat wisata kota tersebut.
Memanggang roti adalah spesialisasi Rai. Ia membuat litti chokha, penganan khas Negeri Taj Mahal berbentuk bola-bola, terbuat dari tepung terigu yang diisi ghee dan disajikan dengan terong tumbuk atau kentang sebagai makanan pendamping.
Namun, ada bahan lain yang membuat masakannya beraroma menggugah selera para pelanggan, yang sangat penting untuk rasa hidangan yang otentik.
Advertisement
Baca Juga
"Api, asap, dan abu yang berasal dari bakaran kotoran sapi. Ini bisa menambah rasa istimewa pada litti dan itulah sebabnya, orang-orang bergegas ke lapak saya untuk menikmati makanan tersebut," kata Rai, dikutip dari The Guardian, Sabtu (23/11/2019).
Akan tetapi, Rai adalah satu dari sekitar 5.000 pedagang kaki lima di Patna, ibu kota negara bagian Bihar, yang mengatakan mata pencaharian mereka terancam.
Setelah kualitas udara di Patna memburuk ke tingkat parah, pemerintah negara bagian ini melarang pembakaran domestik seperti dari kotoran sapi dan batu bara. Sebab menurut otoritas, bahan itu adalah sumber utama polusi.
Di satu sisi, tanpa asap dari kotoran sapi untuk memasak dan membumbui jajanan yang dibuat street vendor, para penjual mengklaim warung mereka bisa bangkrut dan merugi.
“Orang-orang mengunjungi booth kami hanya karena penasaran dengan aromanya yang istimewa. Kalau aturan itu dilenyapkan, tidak akan ada lagi yang datang," imbuh Rai yang telah melakukan bisnis makanan kecil sejak 2012.
Bahkan aktor Bollywood populer Aamir Khan pernah mampir pada tahun itu untuk mencicipi hidangan khas pedesaan India. Sebuah foto Khan yang sedang menjejalkan litti chokha ke dalam mulutnya, masih menggantung di kios Rai.
Tutup Lapak
Sementara itu, pemerintah berjanji untuk memasok kompor gas tabung kepada para pedagang kaki lima untuk menggantikan bahan bakar tradisional. Sayangnya, ini bukan pengganti yang pas. "Larangan terhadap batu bara dan kotoran sapi sama saja dengan kita harus menutup bisnis kita."
Pedagang kaki lima lainnya di Patna menyebut, mereka juga tidak bisa membuat makanan tanpa bahan bakar tradisional.
Fritter, makanan khas lain di India pun dibuat dengan adonan yang digoreng dalam minyak di atas kotoran sapi atau api batu bara, demi membuatnya renyah sebelum disajikan dengan chutney (saus pedas lokal).
Baban Sao, yang mengelola sebuah kios di luar rumah sakit pemerintah, mengatakan: "Saya datang ke Patna untuk mencari nafkah dan membuka toko fritter, tetapi sekarang sepertinya kami harus menutup toko kami setelah larangan itu."
Sao yang berusia 52 tahun menghasilkan sekitar 1.000 rupee dalam sehari dengan berdagang fritter dan sejumlah besar pendapatan itu dihabiskan untuk membeli batu bara. "Ini adalah batu bara yang menambah rasa pada makanan. Pecinta makanan suka memakan makanan yang dibakar atau digoreng dengan ini," ungkapnya.
Selain itu, Vishal Anand, koordinator program Asosiasi Pedagang Kaki Lima Nasional India, menyebut larangan itu akan memengaruhi lebih dari 5.000 pedagang kaki lima, karena mayoritas dari mereka amat bergantung pada kue kotoran sapi atau batu bara.
Advertisement
Takut Mencemari Taj Mahal
Patna bukan tempat pertama di India yang melarang pembakaran kotoran sapi. Pada 2015, juga dilarang di daerah sekitar Taj Mahal, di negara bagian Uttar Pradesh, karena khawatir asapnya menodai bangunan bersejarah tersebut dan mengubah marmer putihnya menjadi kuning.
Tahun lalu, Patna menjadi kota paling tercemar ketujuh di dunia, menurut Greenpeace. Sanjay Kumar Agarwal, seorang pejabat di Bihar, mengatakan larangan itu penting bagi lingkungan.
"Kami melarang pembakaran kotoran sapi dan batu bara dengan tetap memperhatikan meningkatnya polusi udara dan masalah lingkungan," katanya.