Mengapa Negara Barat Lebih Terdampak Corona COVID-19 dari Asia? Ini Kata Ahli

Amerika Serikat, Italia, Spanyol, Perancis, dan Britania Raya telah mengambil alih posisi China dengan jumlah kasus dan angka kematian akibat Virus Corona COVID-19 tertinggi dunia.

diperbarui 29 Apr 2020, 11:56 WIB
Diterbitkan 29 Apr 2020, 11:56 WIB
Gambar ilustrasi diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Food and Drug Administration AS menunjukkan Virus Corona COVID-19. (US Food and Drug Administration/AFP)
Gambar ilustrasi diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Food and Drug Administration AS menunjukkan Virus Corona COVID-19. (US Food and Drug Administration/AFP)

Melbourne - Sejumlah negara barat kini berada dalam lingkaran kasus tertinggi infeksi Virus Corona COVID-19. Jumlahnya bahkan telah melebihi China, pusat wabah Virus SARS-CoV-2 bermula.

Amerika Serikat, Italia, Spanyol, Perancis, dan Britania Raya telah mengambil alih posisi China dengan jumlah kasus dan angka kematian akibat Virus Corona COVID-19 tertinggi dunia. Hingga akhir pekan kemarin telah merengut nyawa lebih dari 100.000 orang di Eropa dan hampir 55.000 di Amerika Serikat.

Selain China, tidak ada lagi negara Asia yang menempati daftar 15 negara dengan kasus terbanyak, menurut catatan John Hopkins University.

Namun, beberapa pihak juga meragukan keakuratan data angka kematian di China, terutama sejak Pemerintah China merevisi angka kematian akibat Corona COVID-19 di kota Wuhan sebesar kira-kira 50 persen, menjadi 3.869 orang pekan lalu.

Kebanyakan negara-negara Barat telah dianggap tidak mengantisipasi seberapa parah Virus Corona COVID-19 bisa menyerang mereka. Inilah beberapa alasannya.

Negara Barat Tidak Menduga Akan Ada Krisis

Para ahli kesehatan mengatakan, cara sebuah negara dan penduduknya merespons pandemi dibentuk oleh beberapa faktor, yakni faktor budaya, bentuk pemerintahan, dan pengalaman sebelumnya.

China, Taiwan, dan Singapura telah berpengalaman berhadapan dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome atau Penyakit Sistem Pernafasan Akut) pada tahun 2003, sementara Korea Selatan sudah pernah mengalami wabah MERS (Middle East Respiratory Syndrome) pada taun 2015.

Gary Slutkin, ahli epidemiologi asal Amerika Serikat dan mantan staf organisasi kesehatan dunia WHO mengatakan kepada ABC bahwa negara-negara di Asia sangat berorientasi dan belajar dari pengalaman, sehingga mereka telah mempersiapkan diri untuk merespon kemungkinan virus yang serius di masa mendatang.

Sebagai perbandingan, Dr Gary mengatakan, meskipun Amerika Serikat berpengalaman menangani kasus Ebola dan SARS, mereka belum pernah mengalami epidemi yang serius dalam beberapa tahun terakhir.

"Amerika Serikat telah terbiasa menyaksikan kejadian yang mengerikan di luar Amerika Serikat yang tidak berpengaruh langsung, baik itu perang atau wabah," kata Dr Gary seperti dikutip dari ABC Australia, Rabu (29/4/2020).

"Ditambah jarak Amerika yang cukup jauh sehingga [Amerika] memandang dirinya lebih baik dan tidak terjangkau masalah-masalah tersebut."

Laporan New York Times awal bulan ini mengungkapkan jika Presiden AS Donald Trump juga menyia-nyiakan waktu yang berharga di bulan-bulan awal terjadinya wabah, dengan berulang kali meremehkan keparahan virus ketika beberapa pejabat pemerintah mulai memberikan peringatan.

Sebagai perbandingan, Ooi Eng Eong, seorang profesor penyakit menular dari National University of Singapore, mengatakan di Singapura upaya meredam wabah diberlakukan segera, setelah kasus pertama ditemukan dan dievaluasi secara berkala.

"Ketika pertama kali ada pemberitaan sesuatu terjadi di China, perencanaan segera dibuat, sehingga jika kasus yang sama menimpa Singapura kami sudah tahu bagaimana meresponnya.

 

Pengetesan yang Luas, Teknologi Digital dan Komunikasi

Ilustrasi Covid-19, virus corona
Ilustrasi Covid-19, virus corona. Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Korea Selatan, Singapura dan Hong Kong, yang sempat sukses dianggap memerangi penyebaran COVID-19, memiliki satu kesamaan: pengujian yang ketat dan penelusuran kontak.

Ada satu tahap di mana Korea Selatan memiliki jumlah kasus tertinggi di luar China, tetapi negara itu berhasil mengendalikan penyebaran dan sedang menguji hampir 20.000 orang per hari pada pertengahan Maret.

Korea Selatan juga telah mendirikan pusat pengujian dengan metode drive-through dan memberlakukan teknologi pelacakan digital, termasuk rekaman CCTV, transaksi kartu kredit, dan data lokasi smartphone, untuk memantau pasien yang potensial terjangkit.

Serupa dengan Korea Selatan, strategi peredaman wabah di Singapura juga melibatkan pengujian kontak orang yang terinfeksi, yang memungkinkan negara pulau itu untuk mengidentifikasi banyak kasus tanpa gejala.

Tingkat kematian Singapura juga berkisar 0,1 persen, yang menurut Profesor Ooi disebabkan oleh proses penyaringannya.

"Alasan mengapa tingkat fatality di Singapura rendah bukan karena kami lebih sehat atau bugar ... tetapi faktanya adalah kami mendeteksi lebih banyak kasus," jelasnya.Namun, ia juga mengakui bahwa "Singapura tidak melakukan segalanya dengan benar", karena kasus-kasus di negara ini baru-baru ini meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi sekitar 11.200, dengan banyak dari mereka yang baru terinfeksi adalah pekerja migran yang tinggal di asrama.

Sebaliknya, Inggris memiliki tingkat pengujian yang relatif rendah yaitu 8.200 per juta populasi atau kira-kira setengah dari Singapura yang melakukan 16.203 tes per sejuta orang, menurut Worldometer, sebuah situs web yang mengumpulkan statistik coronavirus.

Menurut BBC, pengujian juga belum tersedia bagi kebanyakan orang. Kriteria kelayakan dites hanya baru-baru ini saja diperluas di luar pekerja kesehatan menjadi pekerja garis depan lainnya seperti polisi, petugas pemadam kebakaran dan petugas penjara.

'Rela Menyerahkan Diri pada Pemimpin'

[Fimela] ilustrasi obat corona
ilustrasi obat corona | pexels.com/@edward-jenner

Ada juga faktor lain mengapa banyak negara Asia bisa menangani pandemi secara lebih efektif, seperti faktor budaya dan politik.

Lee Sung-yoon, seorang profesor hubungan internasional di Tufts University, mengatakan tradisi Konfusianisme di negara-negara, seperti China, Korea Selatan, dan Singapura memberi "tangan yang lebih bebas dalam menjalankan otoritas sebagai negara paternalistik" selama keadaan darurat.

"Dalam peradaban Konfusianisme … penghormatan terhadap otoritas, stabilitas sosial, konformitas, kebaikan masyarakat dan bangsa yang ada di atas individualisme … adalah faktor perbaikan dalam masa krisis nasional," katanya

"Kebanyakan orang rela menyerahkan diri pada pemimpin dan sedikit mengeluh."Lee mengatakan penggunaan gelang pelacak untuk mengontrol karantina Virus Corona COVID-19 di Hong Kong dan Korea Selatan kemungkinan tidak akan diterima di negara-negara barat, seperti di Italia atau Swedia.

"Dalam demokrasi yang maju, yang belum dialami satupun negara Konfusianisme termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, melakukan tindakan paksaan pada fase awal epidemi, seperti larangan keluar di Diamond Princess saat infeksi virus menyebar, atau lockdown puluhan juta orang di Wuhan dan sekitarnya … tidak akan ditoleransi," katanya.

 Di seluruh Amerika Serikat, pengunjuk rasa telah turun ke jalan untuk memprotes perintah lockdown, dengan demonstrasi terbaru terjadi di Texas, Indiana dan Wisconsin akhir pekan lalu.

Profesor Hunter mengatakan dia menduga budaya juga berperan dalam cara penyebaran virus.

"Di Jepang, kamu membungkuk di kejauhan, dan kamu tidak benar-benar berjabat tangan," ujarnya, "orang-orang tampaknya menjaga diri mereka sedikit lebih tertutup di Jepang daripada di negara-negara lainnya."

Adakah Pemerintah yang Lebih Baik dalam Menangani Pandemi?

Ilustrasi gambar SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Corona COVID-19, diisolasi dari seorang pasien di AS. Diperoleh 27 Februari 2020 milik National Institutes of Health yang diambil dengan mikroskop elektron transmisi.(AFP/National Institutes Of Health)

Beberapa orang mempertanyakan apakah pemerintah otoriter seperti China memiliki amunisi lebih baik untuk menangani pandemi, meski ada kelemahan dalam menyembunyikan informasi kritis saat awal terjadinya wabah.

Negara-negara dengan satu partai, seperti Korea Utara dan Laos, masing-masing memang mengklaim memiliki nol dan 19 kasus yang dikonfirmasi, namun budaya penyensoran di kedua negara mempersulit untuk mengetahui dengan pasti seberapa baik kinerja kedua negara tersebut.

Indonesia, yang baru saja mengumumkan dua kasus pertama yang dikonfirmasi pada awal Maret, sekarang memiliki angka kematian yang paling tinggi terkait dengan Virus Corona COVID-19 di Asia selain China.

Lee percaya keberhasilan peredaman penyakit menular tidak terlalu bergantung pada jenis pemerintahan (demokrasi versus otoriter) atau budaya (Protestan versus Konfusian), tetapi lebih pada pengalaman, seperti pengalaman China saat tangani SARS.

"Di masa depan, saya percaya AS dan negara-negara Eropa akan jauh lebih siap dalam alokasi dana, sumber daya medis, tempat tidur rumah sakit, perlengkapan, fasilitas pengujian, dan lain-lain," katanya.Sementara itu, Australia dan Selandia Baru dianggap sebagai negara Barat, meskipun lebih dekat ke Asia, dan telah dianggap mencapai keberhasilan awal dengan tingkat kematian yang relatif rendah.

Perdana Menteri Australia, Scott Morrison mengatakan walaupun jumlah kematian di negaranya "tidak pernah dianggap sebagai kabar baik", tapi angka kematian Virus Corona COVID-19 Australia lebih rendah daripada beberapa negara lain.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya