Melbourne - Masa perkuliahan di Australia akan kembali dimulai pada bulan Juli. Kendati demikian, muncul perdebatan mengenai keamanan mahasiswa asing dan semakin menguat.
Kalangan mahasiswa asal China khususnya, memiliki pandangan yang beragam.
Baca Juga
Mayoritas mahasiswa China yang kuliah di luar negeri memilih Australia sebagai tempat menuntut ilmu. 73 persen dari mereka disalurkan oleh para agen pendidikan.
Advertisement
Menurut data Departemen Pendidikan Tinggi, seperti dikutip dari ABC Australia, Kamis (11/6/2020), sekitar 60 persen mahasiswa asing di delapan universitas ternama Australia atau 'Group of Eight' adalah mahasiswa asal China.
Kedelapan perguruan tinggi tersebut meliputi University of Adelaide, Australian National University (ANU), University of Melbourne, Monash University, University of New South Wales (UNSW), University of Queensland, University of Sydney, dan University of Western Australia.
Perinciannya, sekitar 69 persen mahasiswa asing di University of Sydney berasal dari China, 66 persen di UNSW, 56 persen di University of Melbourne dan 57 persen di Monash University.
Selain itu, di perguruan tinggi bidang teknologi seperti RMIT di Melbourne, 37 persen mahasiswa asing berasal dari China, serta 53 persen di University of Technology Sydney (UTS).
Data pendaftaran mahasiswa asing pada ke-10 perguruan tinggi tersebut di tahun 2018 menunjukkan ada sekitar 110.000 mahasiswa asing asal China dengan kontribusi SPP sekitar AU$3,1 miliar atau sekitar Rp31 triliun.
Total kontribusi SPP dari keseluruhan mahasiswa asing di 10 universitas ini saja mencapai AU$5,4 miliar di tahun 2018.
Sementara digabungkan dengan di universitas lain, data Departemen Pendidikan Tinggi menunjukkan sekitar 229.000 mahasiswa asal China tercatat menempuh pendidikan di Australia.
Jumlah tersebut mencakup hampir 30 persen dari seluruh mahasiswa asing di Australia pada tahun 2019.
Di awal penyebaran Virus Corona COVID-19 di Australia, media di Negeri Kanguru, termasuk ABC Indonesia banyak memberitakan kejadian serangan rasis yang dialami warga keturunan China dan negara Asia lainnya.
Selama periode Januari hingga April misalnya, terjadi 241 kasus diskriminasi rasis yang dilaporkan di negara bagian New South Wales.
Bahkan menurut laporan The Guardian, ada 178 kejadian rasis selama dua minggu pertama bulan April lalu.
Harian berbahasa Inggris Global Times yang merupakan corong pemerintah China mengutip kejadian-kejadian tersebut untuk menggambarkan "meningkatnya rasisme terhadap warga keturunan Asia di Australia".
Kejadian-kejadian itu pula yang menjadi dasar keluarnya peringatan Biro Pendidikan China agar warganya mempertimbangkan kembali untuk memilih Australia sebagai tempat kuliah.
Harian Sydney Morning Herald melaporkan, sejumlah agen pendidikan kini melirik negara lain, seperti Inggris untuk menyalurkan mahasiswa asal China, jika situasi di Australia "tidak membaik".
Salah satunya adalah Amy Mo yang sudah 15 tahun menjalankan bisnis sebagai agen pendidikan. Menurutnya, Australia akan alami kerugian ekonomi yang besar jika tidak mengubah sikapnya terhadap China.
"Jika suatu negara suka uang dari China tapi tidak suka orang China, tentu saja China tak mau berurusan dengan negara itu," kata Amy.
Â
Australia Lebih Atraktif
Namun sejumlah mahasiswa China yang kini sedang kuliah di Australia mengakui bahwa Australia justru aman-aman saja.
Selain itu, sebuah survei terhadap 400 agen pendidikan di 63 negara yang diadakan oleh penyedia jasa pendidikan Nativas, menyimpulkan bahwa keberhasilan Australia mengatasi penyebaran COVID-19 menjadikannya lebih aktraktif sebagai tempat kuliah.
Sebaliknya, negara-negara yang kondisinya terpuruk akibat COVID-19 seperti Amerika Serikat dan Inggris, kini menjadi kurang atraktif bagi calon-calon mahasiswa internasional.
ABC News mewawancarai Zheng (28) seorang mahasiswa S2 asal China yang sedang kuliah di University of Adelaide yang mengaku merasa aman-aman saja selama empat tahun berada di Australia.
Ia menilai peringatan dari Biro Pendidikan China tersebut lebih merupakan bagian dari pertikaian Canberra dan Beijing daripada kekhawatiran atas keamanan mahasiswa.
Zheng mengaku tetap merekomendasikan Australia sebagai tempat yang bagus untuk menempuh pendidikan bagi kalangan mahasiswa asal China.
Stephanie Tang, seorang agen pendidikan di Beijing yang dihubungi ABC menjelaskan, keberhasilan Australia mengatasi COVID-19 turut membantu meningkatnya minat mahasiswa China untuk kuliah di sini dibandingkan di AS atau Inggris.
Agen pendidikan lainnya, Kirk Yan, mengaku menerima pertanyaan dari sejumlah orang tua mahasiswa mengenai keamanan anak-anaknya di Australia.
Namun ia menjelaskan bahwa sejauh ini belum melihat adanya mahasiswa yang membatalkan kuliah karena pertimbangan keamanan.
Sementara itu, Menteri Kependudukan dan Infrastruktur Alan Tudge menyatakan, meski sejumlah serangan rasis terhadap warga keturunan Asia ramai diberitakan, namun negara ini dijamin aman bagi mahasiswa internasional.
"Banyak kejadian rasis terhadap warga keturunan Asia. Namun kejadian-kejadian itu merupakan perbuatan dari segelintir orang bodoh yang pengecut," katanya kepada media setempat.
"Mayoritas masyarakat Australia tidak akan menerima tindakan seperti itu dan mengecamnya," tambah Menteri Tudge.
Advertisement