Vietnam Berhasil Tangani Gelombang Kedua COVID-19, Apa yang Bisa Ditiru Indonesia?

Vietnam telah berhasil menangani gelombang kedua Virus Corona COVID-19.

diperbarui 24 Sep 2020, 14:32 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2020, 14:32 WIB
Vietnam Segera Buka Aktivitas Sekolah
Seorang guru membagikan masker kepada siswa di dalam kelas di sekolah Marie Curie di Hanoi, Senin (4/5/2020). Vietnam membuka kembali aktivitas sekolah yang ditutup selama tiga bulan setelah dilaporkan tidak ada kasus virus corona COVID-19 baru hingga Sabtu, 2 Mei 2020. (Manan VATSYAYANA/AFP)

Jakarta - Banyak negara yang masih berada di gelombang pertama COVID-19, seperti Indonesia, atau beberapa ada yang baru mengalami awal gelombang kedua. Namun, Vietnam dilaporkan telah berhasil mengatasi gelombang kedua Virus Corona.

Dalam dua minggu terakhir Vietnam tidak mencatat kasus Virus Corona sama sekali, artinya negara komunis tersebut berhasil mengalahkan virus untuk kedua kalinya, seperti mengutip laman ABC Indonesia, Kamis (24/9/2020).

Secara keseluruhan, Vietnam dengan penduduk lebih dari 95 juta orang, sejauh ini hanya memiliki 1.068 kasus dan 35 kasus kematian saat pandemi COVID-19.

Pembatasan yang diberlakukan di kota Da Nang, terkenal sebagai kota resor dan sempat ada 550 kasus di akhir Juli, sekarang sudah dicabut.

Bagaimana pihak berwenang bisa mengatasi penularan COVID-19 yang masih menjadi masalah di berbagai negara tersebut?

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Cepat Tangani Kasus Sejak Awal Pandemi

Vietnam Segera Buka Aktivitas Sekolah
Petugas kesehatan menyemprotkan desinfektan pada bus sekolah di sekolah Marie Curie di Hanoi, Senin (4/5/2020). Vietnam membuka kembali aktivitas sekolah yang ditutup selama tiga bulan setelah dilaporkan tidak ada kasus virus corona COVID-19 baru hingga Sabtu, 2 Mei 2020. (Manan VATSYAYANA/AFP)

Sejak awal pandemi, pemerintah Vietnam bergerak cepat guna menangani penyebarannya. Ketika kasus pertama sudah muncul di bulan Januari, penerbangan dari dan ke Wuhan dibatalkan.

Pada akhir Maret, praktis perbatasan negara itu ditutup sepenuhnya. Pengetesan dan penelusuran mereka yang pernah kontak dengan warga positif COVID-19 banyak dilakukan dan kampanye kesehatan publik juga dilakukan serentak di seluruh negeri.

"Kepercayaan publik terhadap pemerintah merupakan kunci sukses," kata Dana Moneter Internasional atau IMF pada Juni 2020.

"Sejak dari awal, komunikasi mengenai virus dan strategi untuk menanggulanginya jelas."Pemerintah menggunakan berbagai cara yang kreatif dalam menyampaikan pesan mengenai gejala, pencegahan dan tempat tes melalui media pemerintah, media sosial, SMS dan yang paling menarik perhatian adalah lagu yang kemudian viral mengenai pentingnya mencuci tangan.

Di pertengahan Maret, penggunaan masker menjadi wajib bagi warga yang keluar rumah.

"Vietnam sudah terbiasa menghadapi penyakit menular. Mereka sudah mengalami banyak wabah penyakit menular selama 20 tahun terakhir," kata Guy Thwaites, Direktur Penelitian Klinis Oxford University yang berbasis di Ho Chi Minh City kepada ABC.

"Ini bukan respon menggunakan teknologi tinggi, namun respons yang cepat dan terorganisir dengan baik."

'Lockdown' ketat di seluruh Vietnam diberlakukan antara tanggal 1 sampai 22 April.

"Setiap warga adalah prajurit, setiap rumah adalah desa, kawasan pemukiman adalah benteng dalam melawan pandemi," kata PM Vietnam Nguyen Xuan Phuc.

Ratusan ribu warga, bahkan mereka yang diduga terkena COVID-19 dipaksa menjalani karantina di rumah sakit dan di fasilitas milik pemerintah dan di rumah. Dan jumlah kasus rata-rata tetap rendah.

Rata-rata usia mereka yang terkena COVID-19 adalah usia 30 tahunan, itulah mengapa di Vietnam tidak ada kematian selama enam bulan terakhir karena virus corona.

Menurut lembaga survei Inggris YouGov, 97 persen warga Vietnam mendukung tindakan pemerintah mengatasi COVID-19. Namun di bulan Juli, virus ini secara misterius muncul di Da Nang.

Atasi Klaster di Da Nang

Seorang penjual berjalan melewati jalan sepi di tengah kekhawatiran tentang penyebaran Virus Corona COVID-19 di Hanoi Vietnam pada 26 Maret 2020. (Nhac Nguyen / AFP)
Seorang penjual berjalan melewati jalan sepi di tengah kekhawatiran tentang penyebaran Virus Corona COVID-19 di Hanoi Vietnam pada 26 Maret 2020. (Nhac Nguyen / AFP)

Kematian pertama di Vietnam akibat virus corona terjadi 31 Juli lalu, ketika seorang pria berusia 70 tahun meninggal di Da Nang. Ini terjadi enam hari setelah adanya klaster kasus baru di sebuah rumah sakit setempat.

Kasus ini kemudian meningkat menjadi lebih dari 550, hampir setengah dari keseluruhan kasus di Vietnam sejauh ini.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 98 persen dari kasus tersebut berhubungan dengan rumah sakit besar di kota Da Nang atau mereka yang pernah mengunjungi Da Nang. Kota tersebut kemudian ditutup dengan pembatasan ketat keluar dan masuk.

"Pihak berwenang melakukan hal yang sederhana, seperti yang sudah dilakukan sebelumnya, namun sekarang lockdown terbatas dan dilakukan dengan cepat," kata Profesor Thwaites.

Sama seperti yang dilakukan dengan tes massal di kota Wuhan, mereka menggunakan sistem sampel, dengan sampel dari lima atau enam orang dites bersama-sama.

Bila dari kelompok itu ada yang positif, maka seluruh sampel kemudian dites satu persatu.

"Seluruh orang dalam satu keluarga masuk dalam satu sampel," kata Profesor Thwaites sambil menambahkan jika prioritas mereka adalah kawasan perumahan yang memiliki kasus positif.

"Dengan cara ini, mereka bisa melakukan tes mencakup 100 ribu orang, dengan melakukan 20 ribu tes. Ini memungkinkan mereka menghemat waktu dan dana."WHO melaporkan 30 persen penduduk Da Nang sudah menjalani tes hanya dalam waktu sepekan antara 3 sampai 10 September.

"Lockdown kedua ini lebih ketat dibandingkan sebelumnya, dan reaksi warga bagus sekali, mereka menemukan satu kasus dan langsung lockdown," kata Jos Aguiar seorang warga Australia yang bekerja di sebuah perusahaan properti di Da Nang kepada ABC.

"Daerah pemukiman saya, mereka memasang barikade di kedua sisi jalan, memang menyusahkan namun saya senang dengan cara Vietnam menangani hal ini."

 

Ekonomi Berangsur Normal

Corona Mereda, Wisata Vietnam Kembali Menggeliat
Wisatawan domestik berpose untuk foto di atas kapal di tengah Ha Long Bay, Quang Ninh, Vietnam, (16/5/2020). Sempat terpukul akibat pandemi virus corona Covid-19, pariwisata Vietnam kembali menggeliat setelah otoritas setempat melonggarkan pembatasan perjalanan. (AFP/Manan Vatsyayana)

Pekan lalu, Perdana Menteri Vietnam mengumumkan jika penerbangan dari Vietnam ke Seoul, Guangzhou, Taipei dan Tokyo akan segera dibuka lagi.

Turis belum diperbolehkan datang ke Vietnam, namun pemulangan warga Vietnam dan kedatangan warga asing yang memiliki ketrampilan tinggi atau para investor akan menjadi prioritas.

Keterpurukan ekonomi Vietnam karena COVID-19 tidaklah akan seburuk negara-negara lain di kawasan.

"Vietnam masih akan menjadi salah satu dari sedikit negara yang ekonominya akan tumbuh di tahun 2020, sementara banyak negara lain akan mengalami resesi," kata laporan perusahaan konsultan internasional PricewaterhouseCoopers.

Bank Pembangunan Asia memperkirakan ekonomi Vietnasm akan tumbuh 1,8 persen tahun ini, membuatnya menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang pertumbuhannya tidak minus.

Sementara itu produk domestik bruto Thailand, negara yang sangat mengandalkan pada industri turisme, turun 8 persen.

Namun beberapa pengamat mengatakan pendekatan ketat yang dilakukan Vietnam juga menjadi kekhawatiran.

Beberapa pengamat menyampaikan adanya tekanan tambahan terhadap mereka yang melakukan kritik terhadap pemerintah di masa pandemi.

Laporan PBB mengatakan ratusan orang telah diinterogasi berkenaan unggahan mereka di Facebook mengenai COVID-19.

"Menjelang Kongres Partai Komunis Vietnam bulan Januari 2021, pihak berwenang semakin memperketat kebijakan represif terhadap pembangkang dan media," kata Direktur Eksekutif Asian Forum for Human Rights and Development, Shamini Darshni Kaliemuthu kepada ABC.

Ia mengatakan di tengah pandemi pemerintah Vietnam melipatgandakan tekanan dengan menggunakan alasan kesehatan publik.

"Keluarga dan sanak saudara tahanan politik tidak diizinkan untuk bertemu namun mereka mendapat tambahan makanan dan obat-obatan," katanya.

Para pakar mengatakan "kebanyakan warga menjaga diri mereka sendiri, sehingga hanya sedikit yang merasa terpaksa melakukan protokol kesehatan.

"Penggunaan masker, menjaga jarak, karantina, lockdown tidak dipolitisasi, murni menjadi alat dan ukuran untuk menjaga keamanan warga dan orang yang mereka cintai."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya