Donald Trump Digugat 3.500 Perusahaan Akibat Perang Dagang AS - China

Mereka menantang apa yang mereka sebut eskalasi perang dagang AS dengan China yang melanggar hukum melalui pengenaan tarif.

oleh Hariz Barak diperbarui 27 Sep 2020, 08:02 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2020, 08:02 WIB
Presiden AS Donald Trump pidato di Sidang Umum PBB. Ia menyerang China dalam pidatonya.
Presiden AS Donald Trump pidato di Sidang Umum PBB. Ia menyerang China dalam pidatonya. Dok: Gedung Putih

Liputan6.com, D.C - Tesla Inc., Ford Motor Co., Target Corp, Walgreen Co., Home Depot, dan 3.500 perusahaan Amerika Serikat lainnya telah menggugat pemerintahan Presiden AS Donald Trump dalam dua pekan ini karena mengenakan tarif pada barang impor buatan China bernilai lebih dari $300 miliar.

Gugatan itu diajukan ke Pengadilan Perdagangan Internasional Amerika, menyebut nama Perwakilan Dagang Amerika Robert Lighthizer dan Dinas Cukai dan Perlindungan Perbatasan.

Dalam gugatan, mereka menyebut eskalasi tidak sah akibat perang dagang Amerika dengan China melalui penerapan tarif putaran ketiga dan keempat, Reuters mewartakan, seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (26/9/2020).

Tuntutan hukum dari berbagai perusahaan itu mengatakan, pemerintahan Trump gagal mengenakan tarif dalam periode 12 bulan yang disyaratkan dan tidak mematuhi prosedur administrasi.

Perusahaan-perusahaan itu menantang "perang dagang tak terikat dan tak terbatas yang dilakukan pemerintah, yang berimbas pada miliaran dolar barang yang diimpor dari Republik Rakyat China oleh importir di Amerika," menurut gugatan yang diajukan produsen suku cadang mobil Dana Corp.

Kantor Lighthizer belum menanggapi permintaan komentar.

Pemerintahan Trump mengatakan penerapan tarif atas barang-barang China dibenarkan karena China mencuri kekayaan intelektual dan memaksa perusahaan-perusahaan Amerika mengalihkan teknologi untuk akses ke pasar China.

Pada 15 September, Organisasi Perdagangan Dunia mendapati Amerika melanggar aturan perdagangan global karena menerapkan tarif miliaran dolar dalam perang perdagangan yang dilancarkan Trump terhadap China.

Simak video pilihan berikut:


Analis: Perang Dagang Memanaskan Situasi Pandemi COVID-19

Bendera AS dan China berkibar berdampingan (AP/Andy Wong)
Bendera AS dan China berkibar berdampingan (AP/Andy Wong)

Sengkarut konflik dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, dikhawatirkan lebih melukai ekonomi dunia dibandingkan pandemi Corona yang belum kunjung mereda hingga saat ini.

Hal itu diungkapkan oleh Ekonom Jeffrey Sachs. Sachs bilang, dunia akan menuju ke periode 'gangguan besar tanpa kepemimpinan' setelah pandemi Corona. Pertikaian tak berujung antara 2 negara itu dinilai memperparah kondisi ekonomi global.

Dikutip dari laman BBC, Senin (22/6/2020), Sachs menyalahkan pemerintah AS yang dinilai hanya menambah panas situasi.

"Kekuatan AS ditunjukkan hanya untuk kekuatan, bukan untuk kerja sama," ujarnya dalam sebuah wawancara dengan BBC Business Report.

Menurutnya, langkah ini dilakukan Amerika untuk menciptakan perang dingin babak baru dengan China.

"Jika benar itu terjadi, maka kita tidak akan kembali normal. Ini akan lebih kontroversial dan menimbulkan bahaya yang lebih besar dari kenyataannya," lanjutnya.

Apalagi seiring berjalannya waktu, konflik AS dan China melebar bukan hanya di sektor perdagangan saja. Pekan ini, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani UU yang mengesahkan sanksi terhadap pejabat China yang bertanggung jawab atau penindasan umat Muslim di Xinjiang.

Lalu, AS juga melarang perusahaan teknologi China, Huawei untuk menggunakan teknologi chip negaranya. Lalu, perusahaan teknologi China di'bidik' dan dicurigai sebagai mata-mata Pemerintah untuk melumpuhkan AS.

Namun, mantan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton bilang, bisa jadi langkah Trump ini merupakan bagian dari taktik politik agar dirinya bisa kembali memimpin AS.

"AS kehilangan kesempatannya untuk 5G, yang mana 5G itu sangat penting di era ekonomi digital. Dan Huawei mengambil bagian yang lebih besar di pasar global," ujar Sachs.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya