Liputan6.com, Teheran - Salman Rushdie kemungkinan mengerti akan menimbulkan kontroversi ketika menerbitkan novel berjudul The Satanic Verses atau yang berarti Ayat-Ayat Setan. Buku itu mengejek atau setidaknya terindikasi mencela Nabi Muhammad dan aspek-aspek Islam lain, termasuk yang terkait dengan Syiah Iran.
Merespons buku tersebut, pada 14 Februari 1989, Pemimpin Tertinggi Iran dan Imam Besar Syiah, Ayatollah Ruhollah Khomeini mengeluarkan respons keras, menyerukan "semua Muslim yang berani" untuk membunuh Rushdie dan penerbitnya, demikian seperti dikutip dari History.com, Minggu (14/2/2021).
Meskipun banyak hal paling kontroversial yang dikatakan tentang Islam dan Muhammad dalam buku itu berasal dari mulut tokoh yang tidak jelas atau komik, tidak dapat disangkal bahwa buku tersebut sangat kritis dan menghina.
Advertisement
Judul buku itu sendiri mengacu pada petikan-petikan yang dikatakan telah dihapus dari Al-Qur'an di mana Nabi berbicara firman setan bukan Allah, dan banyak yang sangat marah dengan penggambaran rumah bordil di mana para pelacur berbagi nama-nama istri Muhammad.
Khomeini, tokoh pengkudeta monarki Iran yang didukung AS satu dekade sebelumnya, adalah pemimpin sekelompok ulama Syiah yang telah mengubah Iran menjadi sebuah anokrasi. Dengan demikian, ia mungkin adalah otoritas Islam Syiah yang paling menonjol di dunia.
Muslim di seluruh dunia telah mengutuk The Satanic Verse. Buku itu dibakar secara publik di Bolton, Inggris, memicu kerusuhan mematikan di Pakistan dan dilarang sepenuhnya di beberapa negara Muslim.
Tetapi, fatwa pemimpin tertinggi Iran itu membawa kontroversi ke level baru.
Penjual buku di seluruh dunia, termasuk toko buku Barnes & Noble di Amerika Serikat, menolak untuk menjual The Satanic Verses karena takut akan pembalasan.
Sebelumnya, banyak penjual buku itu diserang habis-habisan. Para pendukung kebebasan berbicara dan tokoh-tokoh anti-agama ramai-ramai membela Rushdie, tetapi banyak pemimpin Muslim dan bahkan tokoh-tokoh budaya Muslim moderat langsung mengutuknya atau setidaknya menyatakan bahwa Rushdie telah kelewat batas.
Simak video pilihan berikut:
Permohonan Maaf, Namun Kekerasan Terus Berlanjut
Rushdie sendiri meminta maaf kepada Ayatollah dan kepada umat Islam di seluruh dunia pada tahun 1989 dan 1990, tetapi protes dan kekerasan terus berlanjut.
Seorang penerjemah yang telah menerjemahkan buku tersebit dalam bahasa Jepang ditikam sampai mati pada tahun 1991. Penerjemah lain, yang mengubah buku itu ke bahasa Italia, terluka parah oleh seorang penyerang. Rushdie kemudian mengatakan dia menyesal dan meminta maaf.
Fatwa adalah penilaian yang dikeluarkan oleh seorang sarjana agama dan hanya dapat dicabut oleh ulama yang sama, yang berarti bahwa fatwa terhadap Rushdie tidak pernah dapat ditarik kembali setelah kematian Ayatollah pada Juni 1989.
Pada tahun 1998, pemerintah Iran menyatakan tidak akan "mendukung atau menghalangi" pembunuhan Rushdie, dan kelompok-kelompok swasta di dalam Iran dan di tempat lain terus mengumpulkan uang untuk memburunya.
Meskipun Rushdie harus mempekerjakan tim keamanan dan telah menerima ancaman yang tak terhitung jumlahnya sejak penerbitan buku itu, belum ada penjagal yang hampir membunuhnya. Penulis, yang diberi gelar kebangsawanan Inggris pada 2007, mengatakan pada tahun itu bahwa ia melihat fatwa itu sebagai "sepotong retorika daripada ancaman nyata."
Sementara Rushdie tetap tidak terluka, aksi kekerasan yang dipicu oleh penerbitan novel itu bertanggungjawab atas puluhan kematian dan cedera di seluruh dunia, salah satu yang paling mematikan — dan mungkin yang paling luas — kasus konflik antara fundamentalis agama dan aktivis kebebasan berbicara abad ke-20.
Advertisement