Liputan6.com, Tokyo - Pada 9 Maret 1945 malam, pesawat tempur Amerika Serikat melancarkan serangan bom ke wilayah Jepang. Mereka menjatuhkan 2.000 ton bom pembakar di Tokyo selama 48 jam.
Hampir 16 mil persegi di dalam dan sekitar ibu kota Jepang terbakar, dan antara 80.000 dan 130.000 warga sipil Jepang tewas akibat badai api terburuk dalam sejarah itu.
Baca Juga
Pada awal 9 Maret, awak Angkatan Udara bertemu di Kepulauan Mariana di Tinian dan Saipan untuk mendapatkan pengarahan militer.
Advertisement
Mereka merencanakan serangan bom tingkat rendah di Tokyo yang dimulai malam itu.
Â
Â
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Berikut Ini:
Warga Sipil Jadi Korban
Shitamachi, wilayah pinggiran Tokyo itu menjadi target pemboman. Wilayah itu terdiri dari sekitar 750.000 orang yang tinggal di tempat sempit di bangunan berbingkai kayu.
Membakar "kota kertas" ini adalah semacam eksperimen efek pengeboman; itu juga akan menghancurkan industri ringan, yang disebut "pabrik bayangan". Industri itu memproduksi bahan perang prefabrikasi yang ditujukan untuk pabrik pesawat Jepang.
Penghuni Shitamachi tidak pernah memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Brigade pemadam kebakaran mereka kekurangan tenaga, kurang terlatih, dan perlengkapannya buruk.
Sekitar Pukul 17.34, pesawat pembom Superfortress B-29 lepas landas dari Saipan dan Tinian, mencapai target mereka pada pukul 12.15 pada 10 Maret.
Sebanyak 334 pesawat pembom terbang dengan ketinggian hanya 500 kaki, menjatuhkan muatan mereka, menciptakan api unggun raksasa yang dipicu angin 30 knot yang membantu menghancurkan Shitamachi dan menyebarkan api ke seluruh Tokyo.
Massa warga sipil Jepang yang panik dan ketakutan bergegas melarikan diri dari neraka, namun tidak berhasil.
"Di Sungai Sumida yang hitam, banyak sekali tubuh yang mengapung, ada berpakaian, telanjang, semuanya hitam seperti arang. Itu seperti tidak nyata," kata seorang dokter di tempat kejadian.
Hanya 243 awak pesawat Amerika yang hilang — dianggap sebagai kerugian yang dapat diterima.
Â
Reporter: Veronica Gita
Advertisement