Liputan6.com, Washington, D.C - Banyak orang yang telah menderita efek jangka panjang dari virus COVID-19 melaporkan bahwa mereka merasa jauh lebih baik setelah diberikan suntikan vaksin.
Seorang wanita berusia 34 tahun bernama Arianna Eisenberg dari Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa dia tidak mengalami gejala setelah menerima dosis kedua vaksin bulan lalu. Sebelum vaksinasi, dia menderita berbagai gejala, termasuk kelelahan parah, insomnia, nyeri otot, dan kabut otak selama delapan bulan setelah pulih dari COVID-19 pada awal tahun 2020.
Baca Juga
"Saya benar-benar merasa kembali ke diri saya sendiri, ke cara yang saya pikir tidak mungkin dilakukan ketika saya benar-benar sakit," kata Eisenberg yang gembira, yang melaporkan bahwa masalah tersebut hilang kira-kira 36 jam setelah menerima dosis lanjutan dari vaksin.
Advertisement
Dilansir dari Mashable, Minggu (21/3/2021), Eisenberg ternyata bukan satu-satunya yang mengalami hasil serupa. Ada banyak cerita tentang orang lain yang mengklaim pengalaman serupa, termasuk seorang dokter penyakit menular yang melaporkan bahwa sepertiga pasiennya merasa lebih baik setelah menerima vaksin COVID-19.
Meski sudah sembuh total, banyak penyintas COVID-19 mengeluh mengalami efek samping fisik, seperti yang disebutkan--termasuk kelelahan parah, nyeri otot, kesulitan bernapas, dan kabut otak.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa para profesional perawatan kesehatan masih belum sepenuhnya memahami gejala jangka panjang yang timbul dari gejala jangka panjang COVID-19 dan bagaimana gejala itu muncul.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Berikut Ini:
Vaksin COVID-19, Solusi atau Plasebo?
Meskipun statistik menunjukkan bahwa gejala kebanyakan muncul pada wanita, dokter dan peneliti masih belum sepakat tentang apa yang mendefinisikan gejala jangka panjang COVID-19. Mereka juga belum memahami kelompok mana yang sebenarnya berisiko mengalami gejala.
Namun, berita terbaru ini dapat menggerakkan para profesional perawatan kesehatan untuk mempertimbangkan vaksin sebagai pengobatan untuk gejala-gejala tersebut dan mungkin juga memberikan informasi yang lebih berguna mengenai bagaimana virus mempengaruhi kesehatan manusia dalam jangka panjang.
Sebuah studi kecil non-peer-review yang dilakukan di Inggris mengambil hasil pemberian vaksin kepada sekelompok penderita gejala jangka panjang COVID-19 dan membandingkannya dengan kelompok lain yang tidak menerima vaksin.
Hasil dari perbandingan ini menunjukkan bahwa kelompok yang menerima vaksin mengalami perbedaan kecil, tetapi positif terhadap gejala pasca-COVID mereka secara keseluruhan.
Penulis penelitian, bagaimana pun, memperingatkan bahwa perubahan positif mungkin merupakan hasil dari efek plasebo.
Seorang ahli imunologi dari Universitas Yale bernama Akiko Iwasaki menyarankan tiga alasan mengapa vaksin dapat membantu beberapa orang menghilangkan gejala jangka panjang COVID-19:
- Sel-T yang dikuatkan oleh vaksin bisa bekerja untuk menghilangkan reservoir virus.
- Vaksin menciptakan respon imun yang tinggi, mengakibatkan fragmen virus yang tertinggal dimusnahkan.
- Jika gejala COVID panjang disebabkan oleh respons autoimun yang tidak tepat, vaksin mungkin telah bekerja untuk "mengalihkan sel autoimun".
Namun, semua ini masih merupakan hipotesis kerja.
Tetapi apakah berkurangnya gejala jangka panjang COVID-19 disebabkan oleh efek plasebo, perkembangan ini memang memberikan beberapa hal positif sejauh menyangkut vaksinasi COVID-19, dan mungkin akan semakin memperdebatkan perdebatan mengenai pro dan kontra dari inokulasi yang meluas.
Dengan laporan dari banyak pemerintah yang bergerak untuk menghentikan administrasi vaksin dari produsen tertentu karena masalah kesehatan, ketidakpastian yang meluas mengenai keamanan dan kelangsungan hidup vaksin telah meningkat, mungkin memicu teori konspirasi yang sudah ada seputar masalah tersebut.
Secara keseluruhan, sikap terhadap menerima vaksin apa pun telah menjadi hal yang cukup beragam, dan dilihat dari cara kerjanya, tampaknya tidak akan ada kekurangan kontroversi dan penemuan baru seputar vaksin COVID-19, setidaknya di bulan-bulan yang akan datang.
Reporter: Lianna Leticia
Advertisement