Liputan6.com, Varansi - Salah satu kota paling suci di dunia bagi umat Hindu sedang mengalami dampak parah dari gelombang kedua COVID-19 yang sedang menyerang India.
Dikutip dari BBC, Selasa (4/5/2021), warga wilayah di sekitar kota Varansi bertanya-tanya kemana perdana menteri mereka saat dibutuhkan.
Seorang pemilik restoran setempat mengatakan bahwa "Perdana menteri dan menteri utama bersembunyi, meninggalkan Varanasi dan rakyatnya pada nasib mereka sendiri."
Advertisement
Gelombang kedua yang sedang melanda India telah mendorong jumlah total infeksi negara tersebut menjadi 20 juta dengan jumlah kematian menjadi lebih dari 220.000.
Warga Tidak Punya Tempat Tujuan
Di Varanasi, pasien tidak dapat menemukan oksigen, ambulans, dan tempat tidur di rumah sakit. Bagi warga yang ingin melakukan tes COVID-19 juga harus menunggu hingga seminggu untuk mendapatkan hasil.
"Kami dibanjiri telepon yang mengatakan tolong kami mendapatkan tempat tidur atau oksigen," kata seorang profesional medis.
"Dengan kekurangan obat-obatan paling dasar, orang-orang bahkan menggunakan obat-obatan yang sudah kadaluwarsa, mereka bilang itu sedikit kurang efektif, tapi setidaknya itu sesuatu yang bisa digunakan."
Rumah sakit di Varanasi menjadi kewalahan meninggalkan banyak warga harus mengurus diri mereka sendiri saat jatuh sakit.
Sejauh ini, kota tersebut telah mencatat 70.612 kasus positif dengan 690 kematian. Tetapi, masih banyak di antara warga Varanasi yang menganggap angka tersebut adalah fiksi.
Tidak hanya di Varanasi, kota dan desa terpencil negara tersebut juga mengalami dampak yang parah karena gelombang kedua tersebut.
Sudhir Singh Pappu, kepala blok Chiraigaon yang memiliki 110 desa dengan populasi 230.000 di pinggiran Varanasi, melaporkan lima hingga sepuluh kematian dalam beberapa hari terkahir. Di beberapa desa, jumlah korban mencapai 15 hingga 30 orang.
"Tidak ada rumah sakit di blok itu, tidak ada oksigen dan tidak ada obat-obatan," katanya.
"Tidak ada ruang di rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta meminta uang muka 200.000 rupee (hampir 40 juta rupiah) hingga 500.000 rupee (hampir seratus juta rupiah) bahkan sebelum mereka memerika pasien. Kami tidak punya tempat tujuan."
Â
Reporter: Paquita Gadin
Advertisement